JOHANSYAH Hasibuan tewas dianiaya. Penduduk Desa Janji Lobi, di Kecamatan Barumun, Tapanuli Selatan, kini sedang berkabung. Almarhum, yang berusia 44 tahun, selain pimpinan adat dan kepala desa di situ, juga dikenal sebagai salah seorang keturunan raja yang membuka desa itu ratusan tahun silam. Ayah empat anak itu bersimbah darah yang mulai membeku ketika ditemukan penduduk pada Kamis pagi, 22 Desember 1983, di pondok sawahnya, tidak jauh dari rumahnya yang berbentuk bagas godang, rumah adat khas Tapanuli Selatan. Sayatan di batang lehernya sedalam 2,5 cm dan sepanjang 7 cm. Dl samping jenazah yang teramaya itu, tergeletak sebilah parang sepanjang 40 cm. "Kami masih mengusut kematiannya secara intensif," cuma itu ujar kepala kepolisian Tapanuli Selatan, Mayor Drs. Ansyar Roem, di Padangsidempuan. Dua pekan sebelum musibah itu, penduduk Desa Hasahatan Julu, yang bertetangga dengan Janji Lobi, lebih dulu gempar. Badullah, penduduk di situ, tewas dibacok dengan parang oleh tujuh penduduk Janji Lobi. Peristiwa di bendungan air Aek Sinadoras itu dipimpin Samsul alias Bucul. Kecuali Samsul yang buron, keenam pelaku tadi kini ditahan polisi. Pembantaian terhadap Badullah itu, menurut polisi, direncanakan. Beberapa di antara yang tujuh tadi sudah sering mengingatkan Badullah agar dia tak membuka air bendungan ke kolam ikannya. Almarhum, yang sudah berkeluarga itu, tetap bandel hingga akhirnya, 7 Desember itu, dia dibunuh. Gara-gara itu, hampir timbul perkelahian massal antara penduduk dua desa itu kalau tidak cepat sepasukan tentara dan polisi turun ke sana. Bagi Ansyar, kematian Johan diduga ada kaitannya dengan tewasnya Badullah. Tapi perwira itu belum memastlkan apakahJohan "dieksekusi" kelompok Hasahatan Julu, atau oleh kelompok tujuh orang tadi. Sebuah sumber TEMPO menduga, kematian kepala desa itu ada hubungannya dengan kepentingan air sawah d desanya. Ternyata, bukan Johan saja yang bernasib malang seperti itu. Pada 20 September, terjadi pembunuhan terhadap kepala desa Siraga di Kecamatan Dolok, Tapanuli Selatan. Kepala desa itu, Haji Sutan Maratua Dongoran, 65, bersama istrinya, dinihari itu dijumpai berlumuran darah di gubuk ladang mereka. Haji Dongoran dikenal sebagai orang terkaya di sana. Seorang adiknya, Jainuddin, 32, menjabat kepala desa Gunungselamat, yang bertetangga dengan Desa Siraga. Keduanya sudah lama tidak akur. Mereka saling mengaku pemilik 2 hektar tanah di perbatasan desa. Karena dianggap gawat, terpaksa tripida Kecamatan Dolok turun tangan, melarang keduanya mengolah tanah itu. Tapi Dongoran tak peduli. Jainuddin, yang sudah sempat menanam pohon petai dan pandan (bahan baku tikar) di sebagian tanah tadi, berang melihat tingkah saudaranya yang dianggapnya loba harta itu. Tahu Dongoran dan istrinya, Maryam Rambe, 55, tidur di gubuk menjaga padi di sawah yang sedang menguning, Jainuddin mengajak seorang adiknya, Aminuddin, 27, mendatangi laki bini itu. Malam itu, ketika Dongoran turun hendak buang air, kedua adik beradik tadi memarangi batang leher abangnya. Dongoran tersungkur. Ketika Maryam muncul, ibu itu juga jadi umpan bacokan. Ada 11 tusukan di tubuh Dongoran dan 18 liang di seputar badan Maryam. Kedua tangan suami-istri itu juga bukan saja disayat, tapi dipenggal hingga putus. Besoknya, sebelum mengebumikan kedua mayat itu, Jainuddin sempat ikut mengetam peti mati abang dan kakak iparnya. Tapi ketika 10 kepala desa yang melayat ke situ memaksa Jainuddin melihat terakhir kalinya wajah Almarhum, ayah empat anak yang sudah lima tahun sebagai kepala desa itu pucat pasi. Usai penguburan, Jainuddin, yang sudah diintip polisi, segera dibekuk. Kini dia dan Aminuddln mendekam dl penjara Gunungtua, 70 km dari Padangsidempuan, menunggu diadili, untuk membuktikan kebenaran cerita di atas. Menyusul kematian Haji Dongoran adalah giliran Ajidan Hutagalung. Kepala desa Sialang di Kecamatan Batangangkola, Tapanuli Selatan, itu pada malam Kamis, 7 Oktober, diparang K. Hasibuan ketika mereka bertemu di jalan desa. Dengan parang terhunus, Hasibuan merobek dada dan perut mangsanya hingga tewas di tempat. Si pembunuh, yang masih buron hingga kini, dendam pada Ajidan, 38, karena kepala desanya itu melaporkan ke polisi setempat mengenai perbuatan ibu kandungnya yang menggugurkan kandungan seorang wanita di situ. Sebelum dibunuh, Ajidan, yang baru empat bulan sebagai kepala desa Sialang, digelari penduduk di desanya sebagai kibus (kaki busuk) karena sering melaporkan ulah penduduk di sana kepada yang berwajib. Sebelumnya, Ajidan bermarga Hasibuan. Setelah diangkat sebagai kepala desa, dia menukar marganya menjadi Hutagalung. Dengan kematian beruntun tiga kepala desa itu, sementara pejabat penting di Kabupaten Tapanuli Selatan mengamatinya tak sekadar soal pribadi saja. Apalagi, untuk menjadi kepala desa di sana ada yang memaksa dirinya "bermodal", misalnya dengan menjual sawah dan kerbaunya. Belajar dari kasus Dongoran dan Ajidan, menurut Mayor Ansyar Roem, "Bukan karena dendam saja. Tap.i juga diri mereka diliputi kecongkakan karena berkuasa dan punya pengaruh sebagai kepala desa," Sedangkan untuk kasus Johan, kini pihak kantor bupati Tapanuli Selatan sedang sibuk menyibak di lapangan. Latar belakang kematiar Johan belum terungkap dan polisi belum berhasil membekuk pelakunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini