Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, JEMBER — Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Choirul Anam, meminta Jaksa Agung memberikan kewenangan penggeledahan dan penyitaan kepada Komnas HAM. Dengan kewenangan ini, maka Komnas HAM dapat melengkapi 12 berkas penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu seperti yang diminta oleh Kejaksaan Agung.
Dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Komnas HAM hanya memiliki kewenangan sebagai penyelidik. Sedangkan kewenangan penyidikan berada di Kejaksaan Agung. Meski begitu pada Pasal 19 ayat 1 huruf g, kewenangan penggeledahan dan penyitaan bisa dilakukan oleh Komnas HAM asalkan ada perintah dari penyidik.
“Komnas HAM sudah memberikan semua bukti ke Jaksa Agung. Kalau dianggap ada bukti yang kurang, Jaksa Agung seharusnya yang bekerja sebagai penyidik. Kalau mereka gak berani, ya kasih kewenangan itu ke Komnas HAM,” kata Choirul Anam dalam diskusi Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu pada Periode Kedua Presiden Jokowi, bagian dari Festival HAM di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Rabu 20 November 2019.
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin membeberkan kendala penyelesaian 12 kasus HAM berat masa lalu di depan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, 7 November 2019. Seperti Jaksa Agung sebelumnya M. Prasetyo, Burhanuddin menyebut berkas penyelidikan Komnas HAM ihwal kasus HAM berat masa lalu itu belum lengkap secara formil dan materiil.
Dua belas kasus itu yakni peristiwa 1965, peristiwa penembakan misterius, peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, penculikan dan penghilangan orang secara paksa, peristiwa Talangsari, peristiwa Simpang KKA, peristiwa Rumah Gedong tahun 1989, serta peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila Banyuwangi 1998. Kemudian peristiwa Wasior, peristiwa Wamena, peristiwa Jambo Keupok, dan peristiwa Paniai 2014.
Choirul mengatakan, selama ini Komnas HAM sudah berulangkali meminta agar Jaksa Agung memberikan kewenangan penindakan dan penyitaan tersebut. Akan tetapi permintaan itu tidak pernah ditanggapi. “Kalau surat perintahnya tidak ada, ya kami tidak bisa bergerak,” keluhnya.
Komnas HAM mencatat, pengembalian beberapa berkas penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dari Kejaksaan Agung, terjadi antara 4 hingga 5 kali. Komnas HAM menilai, tindakan Kejaksaan Agung tersebut sebagai bagian politik impunitas untuk menutup kemungkinan pembuktian yang presisi. “Padahal pembuktian yang presisi penting bagi pengungkapan kebenaran,” kata dia.
Salah satu korban pelanggaran HAM berat, Mugiyanto, dalam diskusi tersebut mengatakan, ada dua hal yang menjadi tantangan berat dalam upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di periode kedua pemerintahan Jokowi.
Pertama, Pemerintahan Jokowi saat ini lebih disibukkan dengan agenda untuk melawan radikalisme, terorisme dan ektremisme. Agenda tersebut dianggap pemerintah lebih urgent daripada menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Kedua, masuknya orang yang terkait dengan pelanggaran HAM berat dalam Kabinet Indonesia Maju. “Padahal orang ini yang paling bertanggung jawab terhadap kasus penculikan aktivis di masa lalu,” kata Mugiyanto, yang juga Senior program officer human rights and democracy department INFID.
Dengan dua tantangan itu, Mugiyanto menambahkan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat tidak bisa dilakukan dengan satu jalan. Akan tetapi perlu elaborasi pada aspek judicial dan nonjudicial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini