Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kontras Surati Jokowi Desak Perbaikan Kinerja Kasus Paniai

Setelah 8 tahun berlalu, kata Fatia, seharusnya penanganan kasus Paniai bisa membuktikan kesungguhan Jokowi memberi keadilan bagi warga Papua.

16 Juli 2022 | 16.18 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivis saat membuat tulisan 'No Justice, No Peace' saat aksi kamisan ke-714 di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 20 Januari 2021. Aksi yang sudah digelar selama 15 tahun tersebut mengangkat tema #15TahunAksiKamisan: Keadilan Korban Digadaikan. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyurati Presiden Joko Widodo untuk mendesak perbaikan kinerja Pemerintah dalam proses penuntasan pelanggaran HAM berat di kasus Paniai 7-8 Desember 2014.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Pada 27 Desember 2014, saat Bapak menjabat kurang dari dua bulan, di hadapan rakyat Papua Bapak berkomitmen untuk secepatnya membawa mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan,” kata Koordinator Badan Pekerja Kontras Fatia Maulidiyanti dalam surat tersebut, Jumat, 15 Juli 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah 8 tahun berlalu, kata Fatia, seharusnya kualitas pengadilan HAM atas Peristiwa Paniai bisa membuktikan kesungguhan Jokowi memberi keadilan bagi masyarakat Papua, serta membuktikan janji.

“Namun faktanya, terdapat sejumlah catatan dari proses peradilan selama ini yang membuat publik, juga para penyintas, dan keluarga korban meragukan terungkapnya kebenaran dan terwujudnya keadilan dari kasus yang mengakibatkan 4 warga tewas dan puluhan warga terluka ini,” katanya.

Dalam kasus ini, Kontras menyampaikan beberapa catatan. Pertama, Kejaksaan Agung hanya menetapkan satu orang tersangka tunggal. Padahal Komnas HAM sebagai penyelidik telah menyebutkan beberapa kategori pelaku yang perlu diusut, yaitu komando pembuat kebijakan, komando efektif di lapangan, pelaku lapangan, dan pelaku pembiaran.

Kedua, dilimpahkannya berkas perkara oleh Kejaksaan Agung ke Pengadilan Negeri Makassar sebagai lokasi Pengadilan HAM. Padahal, kata Fatia, pelanggaran HAM berat di wilayah Papua harus diadili oleh pengadilan HAM yang juga berlokasi di Papua.

Pemilihan lokasi, ujar Fatia, sangat penting untuk memberikan akses bagi para korban, saksi dan warga Papua secara luas dapat mengikuti persidangan secara langsung. Kendala jarak dan akses dari kasus yang terjadi di Papua dan diadili di Makassar terbukti menghambat proses Pengadilan HAM atas Peristiwa Abepura 2000.

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Mutia Yuantisya

Mutia Yuantisya

Alumnus Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Padang ini memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2022. Ia mengawalinya dengan menulis isu ekonomi bisnis, politik nasional, perkotaan, dan saat ini menulis isu hukum dan kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus