Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Supriyani, guru honorer di Konawe Selatan, terancam mendekam di dalam penjara karena laporan orang tua siswanya.
Dia dituding memukul meskipun tak ada saksi yang melihat kejadian itu.
Aparat penegak hukum diminta menerapkan keadilan restoratif.
KRIMINALISASI terhadap mereka yang menegakkan hukum juga terjadi di ranah pendidikan. Supriyani, seorang gURU honorer di Sekolah Dasar Negeri 4 Baito, Desa Wonua Raya, Kecamatan Baito, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, terancam mendekam di penjara karena menegur seorang muridnya, anak seorang anggota polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala SDN 4 Baito Sanaali menceritakan Supriyani dilaporkan orang tua siswa yang ditegur itu ke Kepolisian Sektor Baito pada 26 April 2024. Orang tua siswa itu, anggota Polsek Baito, menuding Supriyani memukul anaknya hingga memar di paha. Padahal, menurut Sanaali, memar itu karena siswa tersebut terjatuh ke selokan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sanaali mengatakan polisi telah memeriksa sejumlah guru dan siswa lain di sekolah itu. Menurut dia, tak ada satu pun saksi yang melihat Supriyani memukul siswa itu. Para saksi mengatakan Supriyani hanya menegur siswa itu karena kurang disiplin. “Tidak ada kejadian Ibu Supriyani menganiaya siswa. Guru-guru lain juga sudah memberi kesaksian. Kenapa tiba-tiba ditangkap?” kata Sanaali seperti dilansir Antara, Rabu, 23 Oktober 2024.
Kepala Polsek Baito Inspektur Dua Muhammad Idris menyatakan polisi telah menangani kasus ini sesuai prosedur operasional standar. Dalam versi Idris, kasus ini bermula saat ibu siswa itu menemukan bekas memar di bagian paha belakang anaknya. Kepada ibunya, siswa mengaku memar itu karena terjatuh dari sepeda motor bersama ayahnya di sawah. "Namun ibunya tidak percaya, lalu menanyakan ke suaminya. Suaminya kaget, lalu menanyakan ke anaknya. Korban menjawab bahwa dia habis dipukul oleh gurunya berinisial SP," ujarnya.
Ayah siswa itu, Kepala Unit Intelijen Polsek Baito Ajun Inspektur Polisi Dua Wibowo Hasyim, lantas membuat laporan ke Polsek Baito. Menurut Idris, polisi telah memediasi kedua pihak dengan melibatkan pemerintah desa setempat. Dalam pertemuan itu, menurut Idris, pemerintah desa menyarankan Supriyani mengakui perbuatannya agar kasus ini selesai secara kekeluargaan. Namun Supriyani, yang merasa tak memukul siswanya, tidak mau menolak permintaan itu. Walhasil, Polsek Baito meneruskan laporan tersebut.
Beberapa hari kemudian, Supriyani mendatangi rumah orang tua siswa itu untuk meminta maaf. Saat itu, orang tua siswa menerima permintaan maaf Supriyani. Namun ayah siswa itu mendapat kabar bahwa Supriyani meminta maaf karena terpaksa. "Jadi ayah korban tersinggung dan melanjutkan laporan itu," ujar Idris.
Setelah menyelidiki, kata Idris, polisi berkesimpulan Supriyani telah melakukan tindak pidana. Mereka kemudian memutuskan menaikkan kasus ini ke tahap penyidikan.
Sebelum menaikkan ke penyidikan, Idris mengklaim sekali lagi memediasi kedua belah pihak dengan melibatkan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan. Namun, mediasi itu kembali tak mencapai titik temu. Polsek Baito akhirnya menerbitkan surat penetapan tersangka pada 10 Juli 2024. “Namun, karena kebijaksanaan Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Konawe Selatan, tersangka tidak ditahan,” tutur Idris.
Kasus ini telah bergulir ke pengadilan. Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri Konawe Selatan pun membantarkan Supriyani berdasarkan surat penetapan PN Andoolo Nomor 110/Pen.Pid.Sus-Han/2024/PN.Ad tertanggal 22 Oktober 2024.
Wakil Kapolda Sulawesi Tenggara Brigjen Amur Chandra Juli Buana memberikan keterangan dugaan pelanggaran prosedur yang dilakukan Polsek Baito. ANTARA/La Ode Muh Deden Saputra.
Sekretaris Jenderal Persatuan Guru Indonesia (PGRI) Dudung Abdul Qodir menyayangkan peristiwa tersebut. Pasalnya, tindakan Supriyani menegur siswa itu masih dalam koridor pendidikan soal disiplin. “Dalam pendidikan, disiplin itu penting. Bagaimana anak-anak kita mentalnya akan kuat kalau hukuman-hukuman edukatif tidak dilakukan?” kata Dudung kepada Tempo, Rabu, 23 Oktober 2024.
Dudung mengatakan guru mendapat perlindungan Undang-Undang Guru dan Dosen dalam menjalankan profesinya. Pasal 39 undang-undang itu menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, serta organisasi profesi dan/atau satuan pendidikan wajib melindungi guru dalam melaksanakan tugasnya.
Pelindungan itu meliputi pelindungan hukum, profesi, serta keselamatan dan kesehatan kerja. Pelindungan hukum dalam pasal itu termasuk pelindungan terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain. “Menurut UU Guru dan Dosen, pemerintah wajib melindungi para guru dalam melaksanakan tugasnya,” ujarnya.
Karena itu, Dudung berharap semua orang menghormati profesi guru. PGRI, menurut Dudung, telah meminta pemerintah membentuk Komisi Perlindungan Guru agar profesi guru aman dari kriminalisasi dalam menjalankan tugasnya. “Kalau ada KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), kami di PGRI juga meminta dibentuk Komisi Perlindungan Guru sehingga ada konsep bahwa disiplin itu penting dalam pendidikan."
Ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, menjelaskan seorang guru memiliki keleluasaan dalam memberikan sanksi kepada muridnya sebagai tindakan pendisiplinan. Hal itu tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Tapi, menurut dia, tak ada pasal yang mengatur sejauh mana tindakan pendisiplinan yang boleh diambil oleh seorang guru. “Dalam peraturan perundang-undangan memang ada klausul yang membenarkan melakukan tindakan-tindakan disipliner, tapi tidak diatur secara rinci."
Chudry menjelaskan, dalam sudut pandang ilmu pidana, segala perilaku yang dibenarkan hanya yang tertuang dalam undang-undang. Namun, dalam kasus Supriyani, dia menyarankan polisi melihat niat jahat alias mens rea dari si guru. “Yang terpenting dalam hukum pidana adalah mens rea. Bagaimana kondisi sang guru dalam melakukan tindakan disiplin itu, apakah ada niat menyakiti, membuat penderitaan, hingga membuat cacat atau meninggal tidak, atau hanya tindakan disiplin tapi secara berlebihan."
Sejumlah kerabat Supriyani menunggu di depan Lapas Perempuan Kendari. ANTARA/La Ode Muh Deden Saputra
Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, melihat peristiwa di Konawe Selatan itu sebagai penanganan kasus secara eksesif atau disebut juga dengan hyper-criminalization. Dalam penanganan seperti ini, menurut Reza, otoritas kepolisian melihat sebuah peristiwa minor dengan kacamata kriminalitas semata. “Anggaplah pemukulan itu terjadi. Tapi sadarkah kepolisian setempat bahwa cara mereka menangani kasus ini justru bisa melukai hati masyarakat?” kata Reza.
Menurut Reza, kalau polisi sudah ketagihan menerapkan hyper-criminalization, akan banyak anggota masyarakat yang dalam sekejap mata akan berstatus sebagai penjahat dan perbuatan mereka dicap sebagai kejahatan. ”Lagi pula, sebengis apakah, selicik apakah, sebejat apakah, sejahat apakah guru itu sampai harus dijebloskan ke sel tahanan?” ujarnya.
Dia mengingatkan kepada semua polisi bahwa Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo berkomitmen mengedepankan keadilan restoratif sebagai solusi untuk tindak pidana ringan seperti ini. Dia menyarankan polisi, jaksa, dan hakim menerapkan keadilan restoratif bagi Supriyani. ”Sudahlah. Terapkan restorative justice saja. Kalau perlu penggalangan dana untuk mengganti kerugian yang dialami korban,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo