Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Mengenal Lembaga Rechtsverwerking dalam Hukum Tanah Nasional

Lembaga Rechtsverwerking dinilai dapat membantu mengatasi persoalan sengketa tanah di Indonesia yang rumit.

19 Februari 2025 | 21.08 WIB

Plang informasi penyitaan tanah seluas 31.920 meter persegi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat di Jalan Daan Mogot Kilometer 18, Kalideres, Jakarta, 8 Februari 2025. Tempo/Alif Ilham Fajriadi
Perbesar
Plang informasi penyitaan tanah seluas 31.920 meter persegi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat di Jalan Daan Mogot Kilometer 18, Kalideres, Jakarta, 8 Februari 2025. Tempo/Alif Ilham Fajriadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Permasalahan terkait sengketa lahan di Indonesia masih menjadi polemik yang kerap terjadi di berbagai daerah, dan tak jarang sulit untuk diselesaikan. Baru-baru ini, Pengadilan negeri Jakarta Barat menyita lahan seluas 3,1 hektare di pinggir Jalan Daan Mogot Kilometer 18, Kalideres, Jakarta Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Penyitaan yang terjadi pada 8 Februari 2025 itu berhubungan dengan sengketa lahan antara PT Nila Alam dengan Handy Musawan, Lulu Indrawati, dan Jauw Hok Gaon. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Berdasarkan laporan Tempo berjudul “Rechtsverwerking: Jalan Keluar Mengurai Sengketa Lahan yang Ruwet,” dosen hukum agraria Universitas Gadjah Mada, Ananda Prima Yurista, mengatakan persoalan sengketa tanah di Indonesia sangat kompleks.

Menurutnya, pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa sering kali saling menggugat di pengadilan, sehingga jarang ada kasus yang benar-benar berakhir dengan eksekusi. “Sejauh yang saya tahu, kasus pertanahan itu akan selalu bolak-balik di proses peradilan” katanya.

Oleh karena itu, ahli hukum agraria Universitas Trisakti, Irene Eka Sihombing, mengusulkan agar sistem peradilan pertanahan di Indonesia diubah. Hakim yang menangani perkara pertanahan juga sudah harus mulai menggunakan Lembaga Rechtsverwerking. “Kalau hakim berani menerapkan Lembaga Rechtsverwerking, semestinya pemegang sertifikat itu dilindungi sepanjang perolehan sertifikatnya benar,” kata Irene.

Namun, apa itu Rechtsverwerking? Berikut rangkuman informasi selengkapnya.


Pengertian Rechtsverwerking

Menurut laporan Tempo yang sama, Rechtsverwerking adalah doktrin hukum yang muncul setelah diberlakukannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. UUPA, yang berlandaskan hukum adat, menetapkan bahwa tanah yang tidak dimanfaatkan sesuai dengan fungsi sosialnya dapat kehilangan hak kepemilikannya karena telah melewati batas waktu tertentu. Oleh karena itu, rechtsverwerking menetapkan bahwa penerbitan sertifikat atas suatu lahan merupakan bentuk pengakuan hukum yang sah atas kepemilikan tanah tersebut.

Keputusan dalam lembaga rechtsverwerking didasarkan pada kepemilikan sertifikat. Jika seseorang telah memiliki sertifikat tanah selama lima tahun berturut-turut tanpa adanya gugatan, maka hak kepemilikannya seharusnya tidak dapat digugurkan oleh pihak lain dengan alasan kepemilikan apa pun.

Berdasarkan Jurnal Hukum Kenotariatan karya I Ketut Oka Setiawan dan rekan-rekan, istilah rechtsverwerking dikenal sebagai prinsip "kehilangan hak untuk menuntut." Artinya, jika seseorang memiliki tanah tetapi tidak mengurusnya dalam jangka waktu tertentu, sementara tanah tersebut telah digunakan oleh pihak lain dengan itikad baik, maka pemilik awal tidak dapat lagi menuntut hak atas tanah tersebut. Hal ini sejalan dengan konsep tanah dalam masyarakat adat, yang tidak hanya sekadar dimiliki tetapi juga harus dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya.

Penerapan rechtsverwerking mengharuskan pemegang sertifikat tanah untuk menguasai dan mengelola tanahnya dengan itikad baik. Selain itu, pihak yang ingin menuntut hak atas tanah tersebut tidak boleh sebelumnya membiarkan pihak lain menguasainya tanpa keberatan kepada pengelola tanah, instansi pemerintah, atau melalui jalur hukum. Masa berlaku tuntutan hak ini juga dibatasi hanya dalam jangka waktu lima tahun.

Kata rechtsverwerking di Indonesia mula-mula dikenal pada hukum perdata barat yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), sebelumnya dikenal dengan sebutan Burgerlijk Wetboek (BW). Terutama dalam Buku III tentang Perikatan, yang digunakan dalam hal debitur tidak dapat dipersalahkan, bila kreditornya telah melakukan pelepasan hak atas apa yang akan ditagihnya itu. 

Di Indonesia, konsep rechtsverwerking awalnya dikenal dalam hukum perdata barat yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), sebelumnya disebut Burgerlijk Wetboek (BW). Konsep ini terutama terdapat dalam Buku III tentang Perikatan, yang menyatakan bahwa seorang debitur tidak dapat disalahkan jika krediturnya telah melepaskan hak tagihnya. 

Tindakan kreditor yang melepaskan hak ini disebut sebagai rechtsverwerking, yang memungkinkan debitur untuk membela dirinya apabila ia dapat membuktikan bahwa kreditornya telah kehilangan hak tagihnya.

Dalam perkembangannya, sejak tahun 1997, konsep rechtsverwerking mulai banyak diperbincangkan dalam hukum administrasi negara, khususnya dalam hukum pendaftaran tanah. Meskipun penerapannya dalam konteks ini tampak serupa, dasar hukum rechtsverwerking dalam pendaftaran tanah berasal dari sifat berlakunya hak ulayat dalam masyarakat hukum adat, yang mengatur hubungan antara individu dalam masyarakat adat terkait pemanfaatan tanah.

Ade Ridwan Yandwiputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus