Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak enam narapidana atau napi korupsi mendapatkan remisi Khusus (RK) Natal pada Senin, 25 Desember 2023 lalu. Salah satunya adalah terpidana kasus korupsi bantuan sosial atau bansos pandemi Covid-19 eks Menteri Sosial Juliari Batubara. Terpidana 12 tahun penjara itu dapat kortingan masa tahanan 1 bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juliari Batubara yang mendapatkan remisi adalah Master Parulian Tumanggor Bin Hadrianus Tumanggor (Alm) mendapat remisi 15 hari; Johan Darsono bin Eddy Darsono mendapat remisi 1 bulan, Rudy Hartono Iskandar bin Iskandar 1 bulan; Soetikno Soedarjo Bin Soedarjo (Alm) 1 bulan; dan Benny Andreas Situmorang Bin Daer Situmorang 1 bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemberian remisi kepada napi korupsi seperti keran bocor sejak Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 dibatalkan oleh Mahkamah Agung atau MA, dan diterbitkannya Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 7 Tahun 2022. Pidana untuk efek jera justru dipangkas, walau tipis-tipis tapi pasti.
“Secara keseluruhan ada enam puluh sembilan warga binaan yang diusulkan mendapatkan remisi, empat diantaranya tidak memenuhi syarat,” kata Kepala Lapas Tangerang Fikri Jaya Soebing dihubungi Tempo, Senin 25 Desember 2023.
Eks penyidik senior KPK Novel Baswedan menyebutkan itu semua karena pembatalan PP No. 19/2012. "Koruptor sekarang bisa dapat remisi, dianggap sama dengan napi lain. Itulah cara rezim sekarang melakukan pemberantasan korupsi," katanya kepada Tempo, Kamis, 4 Januari 2023.
Ia mengatakan, pemberian remisi untuk koruptor sudah banyak diprotes termasuk dari aktivis antikorupsi dan koalisi masyarakat sipil. "Ini sama dengan ketika Revisi UU KPK," kata dia.
Lantas apa dasar narapidana korupsi bisa mendapatkan remisi dan bagaimana pidana bisa memberikan efek jera jika acap dipangkas?
Bahkan, bertepatan dengan perayaan HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia lalu, sebanyak 237 napi korupsi di Lapas Sukamiskin juga mendapatkan remisi. Dua di antaranya adalah terpidana kasus korupsi e-KTP Setya Novanto dan eks Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi.
Regulasi yang permudah pemberian remisi napi korupsi
Hak remisi kepada napi diatur dalam Peraturan Menkumham Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menkumham Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
“Setiap narapidana dan anak pidana berhak mendapatkan remisi,” bunyi regulasi tersebut.
Adapun remisi dapat diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah memenuhi syarat antara lain berkelakuan baik telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan. Tak ada syarat yang dikhususkan kepada napi korupsi. Hanya napi terorisme yang diberi syarat tambahan.
Menurut Indonesia Corruption Watch atau ICW, pengetatan remisi napi korupsi sebelumnya telah diakomodasi oleh PP Nomor 99 Tahun 2012. Dalam PP tersebut, khususnya Pasal 34A ayat (1) disebutkan bahwa syarat terpidana korupsi mendapatkan remisi harus memenuhi dua hal. Yakni bersedia menjadi justice collaborator dan membayar lunas denda serta uang pengganti.
“Ini menunjukkan bahwa PP 99/2012 telah mempertimbangkan dengan sangat baik pemaknaan korupsi sebagai extraordinary crime yang membutuhkan cara-cara luar biasa dalam penanganannya, salah satunya memperketat pemberian remisi,” tulis ICW di laman resminya, antikorupsi.org pada Sabtu, 30 Oktober 2021.
Namun, regulasi yang dianggap pro terhadap pemberantasan korupsi itu malah dibatalkan oleh MA pada penghujung Oktober 2021 lalu. Ada tiga hal yang jadi pertimbangan MA. Pertama, dianggap tak sejalan dengan model pemidanaan restorative justice. Kedua, dipandang diskriminatif, karena membedakan perlakuan kepada para terpidana. Ketiga, mengakibatkan situasi overcrowded di Lapas.
ICW menilai MA inkonsisten terhadap putusannya. Padahal melalui putusan Nomor 51 P/HUM/2013 dan Nomor 63 P/HUM/2015, MA tegas menyatakan perbedaan syarat pemberian remisi merupakan konsekuensi logis terhadap adanya perbedaan jenis, sifat bahayanya, dan dampak kejahatannya. Lagi pula, menurut ICW, perbedaan syarat pemberian remisi dalam konteks pembatasan hak dihalalkan UUD 1945.
“Konsep tersebut tertera dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pembatasan hak melalui undang-undang (UU). Bahkan, MA secara eksplisit dalam putusan tahun 2013 menyebutkan PP 99/2012 mencerminkan spirit extraordinary crime,” tulis ICW dalam laman resminya antikorupsi.org.
Selanjutnya: ICW: Pembatalan PP No. 19/2012 kemenangan para koruptor
ICW juga menganggap keliru ihwal penilaian hakim MA soal pengetatan pemberian syarat remisi tidak sesuai dengan model restorative justice. Pemaknaan model restorative justice menurut ICW seharusnya adalah pemberian remisinya, bukan syarat pengetatan. Secara konsep, pemberian remisi merupakan hak setiap terpidana dan telah dijamin oleh UU Pemasyarakatan.
Sedangkan syarat pemberian remisi yang diperketat menitikberatkan pada dettern effect atau efek pencegahan bagi terpidana dengan jenis kejahatan khusus, salah satunya korupsi. Dengan kata lain, pernyataan MA soal pengetatan pemberian syarat remisi tak sesuai dengan model restorative justice sama artinya menyamakan kejahatan korupsi dengan jenis kejahatan umum lainnya.
Menurut ICW, MA juga keliru dalam melihat persoalan overcrowded di Lapas. Berdasarkan data dari sistem database pemasyarakatan per Maret 2020, jumlah terpidana korupsi sebenarnya hanya 0,7 persen atau 1.906 orang. Angka itu berbanding jauh dengan total warga binaan yang mencapai 270.445 orang. Berdasarkan data ini, pertimbangan majelis hakim MA menjadi semakin tidak masuk akal.
“Dari sini, masyarakat dapat melihat bahwa lembaga kekuasaan kehakiman tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi. Pada masa mendatang, akibat putusan MA ini, narapidana korupsi akan semakin mudah untuk mendapatkan pengurangan hukuman,” tulis ICW.
ICW mencatat, dalam kurun 2015 hingga 201o, setidaknya Kementerian Hukum dan HAM telah melontarkan keinginan untuk merevisi PP 99/2012 sebanyak empat kali. Yakni pada 2015, 2016, 2017, dan 2019 melalui Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan. Tak hanya itu, Menkumham juga pernah mengeluarkan SE MenkumHAM M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013 yang memberikan kemudahan bagi napi korupsi sebelum berlakunya PP 99/2012.
Saat upaya revisi PP 99/2012 menggema pada 2016, ICW sudah memprediksi permasalahan yang akan muncul jika upaya tersebut tetap dilanjutkan. Pertama, melemahkan upaya penindakan yang sudah dilakukan oleh aparat penegak hukum. Kedua, menimbulkan celah potensi korupsi yang baru. Ketiga, pemberian remisi dipastikan akan mengurangi efek jera terhadap pelaku kasus korupsi.
Dari penelitian ICW pada semester I 2016 (Januari – Juni), terdapat 325 perkara korupsi dengan 384 terdakwa yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan. Dari 384 terdakwa, sebanyak 275 terdakwa atau 71,6 persen divonis di bawah empat tahun. Sedangkan rata-rata vonis untuk koruptor adalah 2 tahun 1 bulan penjara. Dengan adanya remisi dipastikan tidak akan memberikan efek jera.
“Karena narapidana kasus korupsi akan lebih cepat bebas dari waktu yang telah diputuskan oleh hakim di pengadilan,” tulis ICW.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | AYU CIPTA I SDA