Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) menyebut ekosida merupakan pelanggaran HAM berat. Mereka menempatkan ekosida dalam jajaran kejahatan luar biasa (extraordinary crimes), seperti genosida. Lalu, apa itu ekosida?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim penyusun riset ekosida, Linda Dewi Rahayu, mengakui pembahasan mengenai ekosida masih tergolong baru. “Diskursus terkait ekosida sendiri di Indonesia itu cukup jarang,” ucap Linda dalam acara peluncuran laporan bertajuk ‘Menguak Ekosida sebagai Pelanggaran Berat HAM’, yang diselenggarakan di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, pada Senin, 23 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Linda menjelaskan, organisasi advokasi lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah mencoba merumuskan kajian mengenai ekosida. “Tapi itu masih menjadi pembahasan,” kata Linda.
Pada dasarnya, ekosida merujuk pada pengrusakan lingkungan berskala besar yang tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga merampas hak-hak dasar masyarakat. Menurut PBHI, pengrusakan ini bisa dilakukan melalui deforestasi, pertambangan, hingga pembangunan proyek infrastruktur yang masif.
Pada 2015, WALHI telah mengangkat diskursus mengenai ekosida ini melalui penerbitan buku berjudul 'ECOCIDE: Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia'. Menurut kajian itu, ekosida merupakan sistem eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan secara terus menerus hingga mengarah pada pemusnahan lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan manusia, ekosida juga disebut berdampak masif dan meluas.
Dalam laporan PBHI, mereka juga merumuskan konstruksi ekosida dalam beberapa kasus lingkungan di Indonesia. Tiga di antaranya adalah kekerasan dan eksploitasi dalam proses penghancuran hutan di Papua, program pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Nusa Tenggara Timur, dan penghancuran ekosistem melalui hilirisasi tambang nikel di Maluku Utara dan Sulawesi Tengah.
Adapun dalam kesempatan yang sama, Ketua PBHI Julius Ibrani mengatakan untuk menetapkan pengrusakan lingkungan sebagai ekosida ini perlu dilihat secara menyeluruh. “Begitu kita lihat ada satu proyek besar, satu kejahatan ini tentu akan berdampak secara multidimensional, saat itu juga harusnya diletakkan sebagai satu rumusan pelanggaran berat hak asasi manusia atau gross violations of human rights,” tutur Julius. Pasalnya, pengrusakan lingkungan dengan dampak multidimensional itu telah memenuhi unsur terstruktur, sistematis, dan masif.
“Ada regulasi dari negaranya, ada tangan negaranya,” ujar Julius. Ia menjelaskan, praktik ekosida itu tak lepas dari negara yang menurunkan aparat secara sistematik untuk melakukan kriminalisasi maupun represi terhadap masyarakat. “Termasuk penggusuran paksa, lalu juga disitu ada kepentingan swasta, dan tidak lupa ini menghapus seluruh penghidupan di atas wilayah proyek bisnis sumber daya alam itu sendiri.”
Pilihan Editor: Gatot Kaca dan Pandawa Lima di Era Pimpinan Baru KPK