Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kejaksaan Agung akan menerapkan hukum maksimal untuk memberikan efek jera.
Aset yang diperoleh dari hasil judi online harus dirampas untuk negara.
Strategi pemberantasan judi online perlu dirumuskan dengan baik sebelum melangkah ke tahap penindakan.
KEJAKSAAN Agung mengklaim bersungguh-sungguh memberantas praktik judi online di Tanah Air. Kesungguhan itu diperlihatkan melalui instruksi resmi yang dikeluarkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) kepada semua jaksa di daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengatakan instruksi itu antara lain meminta jaksa menangani perkara judi online secara profesional dan proporsional. Setiap penanganan perkara wajib dikoordinasikan dengan atasan secara berjenjang. "Setiap rencana tuntutannya agar dikoordinasikan dengan jajaran Jampidum," katanya, kemarin, 1 Juli 2024.
Langkah ini bertujuan agar tuntutan yang dikenakan kepada para pelaku perjudian online bisa seragam secara nasional. "Itu tegas, khusus judi online," ujar Harli. "Ini bentuk ketegasan Kejaksaan Agung dalam pemberantasan tindak pidana judi online."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Praktik perjudian online turut menyita perhatian pemerintah. Presiden Joko Widodo membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring pada 14 Juni lalu untuk mengatasi masalah ini. Dalam struktur satuan tugas itu, Kejaksaan Agung berperan sebagai anggota di bidang pencegahan dan penegakan hukum.
"Sebagai penuntut umum, kami akan bekerja sesuai dengan koridor hukum," ucap Harli. “Karena ini sudah menjadi perhatian publik, sudah menjadi keresahan, tentu kami akan menerapkan peraturan hukum maksimal.”
Tujuan penerapan hukuman maksimal ini adalah memberikan efek jera kepada pelaku perjudian. Upaya ini tentu harus disesuaikan dengan straafmacht atau ancaman hukuman yang diatur dalam pasal-pasal persangkaannya. Kejaksaan juga tidak bisa berjalan sendirian. Sebab, untuk masuk ke tahap penuntutan, dimulai dari penyidikan di kepolisian dan berujung pada putusan di pengadilan. "Jadi, untuk menimbulkan efek jera, dikembalikan ke sistem peradilan pidananya," kata Harli.
Warga berjalan di depan spanduk sosialisasi larangan judi online di Kantor Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat, 1 Juli 2024. ANTARA/Arif Firmansyah
Kepolisian memiliki semangat serupa dengan Kejaksaan Agung dalam memberantas perjudian online. Hanya, dalam penanganan perkara, kepolisian sering kali terhambat. Terutama untuk menindak bandar-bandar judi yang sebagian besar justru berada di luar negeri. "Tidak bisa sembarangan. Ada tata cara, tata laksana, yang harus kami lakukan," ujar Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak, Rabu, 26 Juni lalu.
Ade mencontohkan praktik perjudian di situs web Ligaciputra. Dari hasil penelusuran lembaganya, diketahui bahwa auktor intelektualis yang mengendalikan situs itu berada di Taiwan. Timnya jelas tidak memiliki kewenangan memburu pelaku hingga ke negara itu.
Kepala Divisi Hubungan Internasional Kepolisian RI Inspektur Jenderal Krishna Murti mengatakan, dalam sebuah pertemuan di Laos pekan lalu, Polri menjalin kerja sama dengan Interpol untuk menangani perjudian online. Dengan kerja sama ini, diharapkan pertukaran informasi bisa lebih ditingkatkan. "Dapat membantu dalam mengidentifikasi, melacak, dan menindak pelaku-pelaku perjudian online yang beroperasi di wilayah Indonesia," ucap Krishna. Polri juga berencana menjalin kerja sama dengan kepolisian negara tetangga lantaran banyak warga negara Indonesia yang terlibat bisnis judi online di sejumlah negara Asia Tenggara.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto, selaku Ketua Satgas Pemberantasan Perjudian Daring, mengatakan bakal memberantas judi online dari hulu ke hilir dengan melakukan tiga langkah. Pertama, mendeteksi aliran dana pada 4.000-5.000 rekening penadah yang telah didata oleh Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan.
Kedua, berupaya memberantas modus jual-beli rekening yang digunakan untuk aktivitas judi daring. Terakhir, memastikan semua minimarket menutup layanan top-up untuk online game yang terafiliasi dengan judi online. Dengan tiga upaya tersebut, Hadi berharap jumlah orang yang terjerat judi online akan berkurang secara perlahan.
Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto, menilai langkah-langkah satgas untuk memberantas judi online itu tidak akan efektif. "Ibaratnya, ini masih sekadar tabuhan genderang, sementara perangnya belum tampak," katanya.
Menurut Bambang, penindakan pelaku judi online baru menyentuh pion-pion, yakni operator dan pemain di level bawah. Sedangkan bandar besar, otak perjudian online, ataupun pelaku pencucian uang hasil judi online hingga saat ini belum tersentuh. "Padahal yang lebih penting adalah menghukum bandar," ujarnya. "Merekalah yang mendapat keuntungan besar dari perjudian."
Sanksi terhadap bandar, kata Bambang, tak cukup hanya kurungan fisik. Aset yang mereka peroleh dari perjudian harus dirampas. "Bandar harus dikenai pasal tindak pidana pencucian uang, bukan hanya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang relatif sangat ringan bagi mereka yang memiliki motif pengumpulan kapital dari perjudian."
Pakar hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, sepakat dengan Bambang. Menurut dia, selama ini kebanyakan kasus perjudian hanya selesai di tahap penyidikan di kepolisian. Padahal semestinya siapa pun yang terlibat perjudian harus dibawa ke pengadilan untuk disidangkan. "Supaya ada efek jera bagi yang lain," ucapnya.
Hingga kini, tidak banyak bandar judi online yang bisa diseret ke pengadilan untuk dijatuhi hukuman pidana. Berdasarkan data Direktori Putusan Mahkamah Agung, satu perkara pernah diputus di Pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Pengadilan menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan kepada Apin BK alias Jonni pada 21 Agustus 2023. Pria itu dinyatakan terbukti mengendalikan praktik perjudian online. Selain itu, 15 anak buah Apin BK dijatuhi hukuman pidana masing-masing 10 bulan penjara dan denda Rp 50 juta subsider 1 bulan penjara.
Menurut Fickar, hukuman ini tidak sepadan. Sebab, akibat yang ditimbulkannya cukup luas di masyarakat. Apalagi, berdasarkan Pasal 27 ayat 2 Udang-Undang ITE dan Pasal 303 KUHP, ancaman hukuman maksimal untuk pelaku adalah 10 tahun penjara. "Seharusnya, jika tidak (diberi hukuman) maksimal, ya paling tidak 5-8 tahun penjara," katanya.
Kasus lain, misalnya, majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, menjatuhkan vonis 2 tahun 6 bulan dan denda Rp 6 juta subsider 3 bulan kurungan terhadap tiga operator judi online. Sidang yang digelar pada 3 September 2023 ini menjerat tiga pelaku, yakni Dedi Bagus Suhendri, Jery Lionardo, dan Steven Renaldy.
Berkaca pada dua kasus di atas, Bambang Rukminto juga yakin hukuman yang diberikan tidak akan memberikan efek jera. "Dibanding dampak sosial yang terjadi di masyarakat dan keuntungan yang diperoleh, tentu tak adil dibanding pemain yang pasang taruhan Rp 100 ribu tapi dihukum 3 bulan sekalipun," ujarnya.
Karena itu, Bambang mendorong pemerintah menyusun dan mengesahkan undang-undang mengenai perampasan aset hasil kejahatan. "Problemnya, apakah parlemen akan menyetujuinya bila mereka juga terlibat judi online?" ucapnya.
Petugas Satgas menunjukan barang bukti uang usai konferensi pers pengungkapan kasus judi online, Bareskrim, Mabes Polri, Jakarta, 21 Juni 2024. Dok.TEMPO/ Febri Angga Palguna
Dosen hukum pidana dari Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, berpendapat bahwa strategi pemberantasan judi online perlu dirumuskan dengan baik sebelum melangkah ke tahap penindakan. Bila penegakan hukum hanya untuk memberikan efek jera kepada pemain, hal tersebut tentu tidak sesuai dengan tujuan pemberantasan judi online. Sebab, jika dikaji secara viktimologi, judi dikualifikasikan sebagai victimless crime atau kejahatan tanpa korban karena yang menjadi pelaku dan korbannya adalah orang yang sama.
Menurut Orin, efek kecanduan judi online lebih-kurang sama dengan dampak adiksi narkotik. Orang yang kalah dalam perjudian ada kemungkinan melakukan tindak pidana lain, seperti kekerasan dalam rumah tangga dan penganiayaan. "Karena itu, penanganannya harus tepat," katanya. "Bukan melulu pendekatan hukum yang menyasar pengguna judi online, tapi pemerintah harus menutup akses platform judi online."
Orin menyebutkan salah satu persoalan di Indonesia adalah pemerintah selalu gagap menghadapi apa pun yang berhubungan dengan data dan teknologi. Karena itu, kata dia, harus dibuat strategi penanganan. "Selain memblokir semua situs judi online, delegasikan tanggung jawab kepada setiap platform yang sering digunakan untuk mengiklankan judi online."
Peneliti dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Nurul Izmi, meminta para penegak hukum berfokus meringkus bandar yang merupakan hulu dari sindikat judi online. Para penegak hukum, kata Izmi, juga perlu berhati-hati pada penerapan hukum pidana dalam menangani kasus judi online karena akan berimplikasi terhadap isu pemasyarakatan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Hendrik Yaputra, Intan Setiawanty, dan Daniel A. Fajri berkontribusi dalam tulisan ini