Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penasihat hukum terdakwa Hengki dalam perkara pungutan liar atau pungli di lingkungan rumah tahanan (rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuding para saksi bersekongkol ketika memberikan keterangan untuk berita acara pemeriksaan (BAP). Sebanyak tujuh terdakwa dalam perkara tersebut menjadi saksi untuk sidang perkara dengan terdakwa Deden Rochendi, Hengki, Ristanta, Eri Angga Permana, Sopian Hadi, Achmad Fauzi, Agung Nugroho, dan Ari Rahman Hakim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sedangkan ketujuh saksi yang hadir merupakan petugas rutan yang sempat menjabat sebagai ‘lurah’ atau koordinator uang jatah bulanan dari para tahanan. Mereka adalah Muhammad Ridwan, Mahdi Aris, Suharlan, Ricky Rachmawanto, Wardoyo, Muhammad Abduh, dan Ramadhan Ubaidillah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penasihat hukum terdakwa Hengki awalnya melakukan pemeriksaan terhadap saksi Mahdi Aris. Mahdi sempat mengaku ditugaskan oleh Hengki untuk mengambil uang sebesar Rp 25 juta dari eks Bupati Bangkalan, Abdul Latif. Abdul saat itu berstatus sebagai tahanan rutan KPK. Mahdi menyampaikan hal ini saat diperiksa oleh jaksa dalam persidangan tersebut. Dia mengatakan telah menerima uang dari Abdul Latif atas perintah Hengki sebanyak dua kali, yakni pada Desember 2018 dan Januari 2019.
Namun penasihat hukum Hengki menyebut bahwa dalam BAP, Abdul Latif mengatakan tidak pernah memberikan uang kepada Mahdi Aris. Mahdi pun menuding Abdul Latif berusaha menutupi soal pungli di lingkungan rutan itu. Dalam pemeriksaan itu, penasihat hukum meminta Mahdi untuk tidak memberikan keterangan yang berbelit-belit.
“Mungkin bisa Saudara Saksi lebih singkat, lebih ringkas lagi. Ini kayak berputar-putar,” kata penasihat hukum Hengki kepada saksi dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat, Senin, 11 November 2024.
“Intinya itu yang saya alami dan yang saya rasakan,” jawab Mahdi Aris.
Penasihat hukum bertanya kembali, “Berarti Anda berkata bahwa Pak Abdul Latif berbohong dalam keterangannya?”
“Betul,” jawab Mahdi.
“Oke, kita akan lihat nanti,” kata penasihat hukum.
Tak lama kemudian, penasihat hukum Hengki beralih ke majelis hakim untuk menyampaikan pendapatnya.
“Yang Mulia ingin menerangkan, mungkin sekiranya bisa dicatat, bahwa para saksi yang di depan ini yang notabenenya adalah sebagai lurah, mereka berada di satu sel yang sama,” kata penasihat hukum. “Yang memungkinkan adanya indikasi buat penjurusan BAP.”
Hakim Ketua pun mengatakan, “Maksud saudara apa?“
Penasihat hukum menjawab, “Izin, Yang Mulia, ini mereka…” Namun, jawaban dia disela oleh Hakim Ketua. “Ini kan saksi menerangkan di bawah sumpah,” kata Hakim Ketua. “Ya seperti ini.”
“Izin cuma memberitahukan saja, Yang Mulia,” tutur penasihat hukum Hengki.
Adapun Hengki menjabat sebagai Kepala Keamanan dan Ketertiban KPK pada periode 2018–2022. Saat itu, Hengki berstatus pegawai negeri yang dipekerjakan (PNYD) di KPK dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sementara itu, sebanyak 15 terdakwa kasus dugaan korupsi berupa pungli di Rutan KPK masih menjalani proses sidang di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat. Mereka diduga melakukan pungli atau pemerasan kepada tahanan di Rutan Cabang KPK senilai Rp 6,38 miliar pada rentang waktu 2019-2023. Pungli dilakukan para terdakwa di tiga Rutan Cabang KPK yang berbeda, yakni Rutan KPK di Gedung Merah Putih (K4), Rutan KPK di Gedung C1, dan Rutan KPK di Pomdam Jaya Guntur.
Jaksa KPK mendakwa mereka dengan berkas perkara yang berbeda. Tujuh terdakwa yakni Muhammad Ridwan, Mahdi Aris, Suharlan, Ricky Rachmawanto, Wardoyo, Muhammad Abduh, dan Ramadhan Ubaidillah teregister dengan nomor 68/Pid.Sus-TPK/2024/PN Jkt.Pst.
Sedangkan berkas perkara delapan terdakwa lainnya, yakni Deden Rochendi, Hengki, Ristanta, Eri Angga Permana, Sopian Hadi, Achmad Fauzi, Agung Nugroho, dan Ari Rahman Hakim, teregister dengan nomor perkara 69/Pid.Sus-TPK/2024/PN Jkt.Pst.
Perbuatan para terdakwa dinilai sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.