Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Penggiat Anti Korupsi Kritik Perppu Cipta Kerja, Bandingkan Jokowi dan Soeharto

Perppu Cipta Kerja terus mendapatkan kritikan. Indonesia dinilai pernah mengalami masa dimana masalah ekonomi lebih dikedepankan ketimbang demokrasi.

8 Januari 2023 | 14.17 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menkopolhukam Mahfud MD saat memberikan tanggapan atas penolakan terhadap penerbitan Perppu Cipta Kerja di kawasan Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa, 3 Januari 2022. TEMPO/M Julnis Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Penggiat senior Gerakan Anti Korupsi Lintas Perguruan Tinggi, Tommy Suryatama, meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi tidak berbuat otoriter dan mengikis demokrasi hanya demi perkembangan ekonomi, dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja. Tommy pun menyinggung soal pemerintahan otoriter di era Presiden Soeharto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Presiden Soeharto itu pertumbuhan ekonominya jauh lebih baik dari Presiden Jokowi, kesejahteraannya jauh, SD impres, puskesmas, jauh," kata dia dalam diskusi yang digelar Ikatan Alumni Universitas Indonesia atau ILUNI UI, Sabtu, 7 Januari 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akan tetapi, kata dia, Soeharto mengabaikan demokrasi yang mengakibatkannya semakin otoriter serta merajalelanya korupsi, kolusi, dan nepotisme.

"Jadi tidak ada harga yang layak untuk ditukar dengan tatanan demokrasi kita," kata Tommy yang memimpin gerakan yang digagas oleh ILUNI UI tersebut.

Sebelumnya pada 25 November 2021, MK memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja cacat secara formil. Lewat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan meminta pemerintah memperbaikinya paling lama dalam 2 tahun.

Bukannya memperbaiki UU, Jokowi malah menerbitkan Perppu Cipta Kerja pada 30 Desember dengan alasan ada kegentingan yang memaksa untuk mengantisipasi ancaman krisis ekonomi. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md menyebut Perpu ini alasan kegentingan memaksa untuk penerbitan Perpu sudah terpenuhi, sesuai dengan Putusan MK Nomor 138/PUU7/2009.

Tommy menyebut Perppu ini mengonfirmasi kecendurungan pemerintah Jokowi yang tidak demokratis dan tak mau mendengar aspirasi rakyatnya. Penerbitan Perppu, kata dia, jadi sebagai bentuk nyata rezim Jokowi telah mengabaikan putusan MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja. 

Alasan Jokowi mengeluarkan Perppu Cipta Kerja dipermasalahkan

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyebut bahwa Perppu secara hierarki memang
berada di tingkatan yang sama dengan Undang-Undang, tapi proses pembentukanya berbeda. UU melibatkan legislatif, sedangkan Perppu jadi hak prerogatif presiden.

Perbedaan ini membuat keduanya punya dampak berbeda di masyarakat. Meski jadi hak Jokowi, pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera ini menyebut Perppu hanya diterbitkan jika ada kegentingan yang memaksa sesuai Putusan MK Nomor 138/PUU7/2009. 

Syarat diperlukan, kata Bivitri, untuk mencegah Jokowi bertindak seperti raja yang titahnya harus dijalankan apapun bentuknya. Oleh sebab itu, Ia mempertanyakan kekhawatiran krisis ekonomi 2023, imbas Perang Rusia - Ukraina, yang jadi alasan kegentingan memaksa.

"Ibaratnya itu jika pada 30 Desember 2022 kita tidak mengeluarkan Perppu, 31 Desember 2022 kita akan bangkrut sebagai negara atau musnah sebagai negara," kata Bivitri mencontohkan alasan kegentingan memaksa yang lebih tepat.

Selanjutnya, alasan Jokowi tidak memenuhi 3 syarat penerbitan Perppu

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menyebut alasan Jokowi menerbitkan Perppu CIpta Kerja tidak memenuhi tiga syarat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Tiga syarat ini yaitu:

1. Ada masalah hukum yang mendesak dan butuh ditangani sesegera mungkin

2. Ada hukum tetapi tidak menyelesaikan masalah atau masih menimbulkan kekosongan hukum 

3. Butuh proses yang cepat untuk menghasilkan produk hukum.

Feri menilai tiga syarat ini tidak terpenuhi dalam Perppu yang berisi 1.117 halaman ini, lebih sedikit dari UU Cipta Kerja yang berjumlah 1.187. Ia tidak pernah melihat ada Perppu alias UU darurat yang berisi ratusan pasal.

"Rajin betul orang dalam keadaan darurat bisa buat ratusan pasal, tentu masalahnya (kedaruratannya) sudah pasti lewat," kata Feri.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas ini juga menyinggung ucapan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Outlook Ekonomi 2023. Selain itu, Feri juga menyebut tidak ada negara di dunia yang menerbitkan UU darurat, seperti Perppu, meski terdampak kondisi ekonomi tersebut.

Adapun pernyataan yang disinggung Feri, disampaikan Sri Mulyani pada 21 Desember 2022, sebelum Perppu Cipta Kerja tersebut disahkan. Saat itu, Sri Mulyani menyebut kondisi ekonomi Indonesia kini stabil dari sisi makroekonomi, fiskal moneter, dan sektor keuangan secara.

Tapi saat itu, Sri Mulyani juga mengutip pernyataan Jokowi bahwa tahun 2023 semakin sulit untuk diprediksi. "Karena faktornya bukan masalah ekonomi, tapi karena masalah geopolitik," kata dia.

Jokowi dituding timbulkan ketidakpastian dan kekacauan tata negara

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengkritik alasan Perppu Cipta Kerja untuk memberi kepastian hukum pada investor. Padahal, kata dia, sejak awal Jokowi-lah yang menimbulkan ketidakpastian dan kekacauan dalam tata negara.

Awalnya, Jokowi membuat UU Cipta Kerja. MK lalu menyatakan produk hukum ini inkonstitusional bersyarat karena metode Omnibus Law pada UU Cipta Kerja tak ada dasar hukumnya. Pemerintah kemudian merevisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan memasukkan metode Omnibus Law ini dalam tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.

"Itu kan artinya membuat sesuatu yang dasar hukumnya enggak ada, enggak jelas, sehingga timbul ketidakpastian hukum," kata Isnur.

Setelah Perpu Cipta Kerja terbit, tidak hanya buruh yang mengkritik tapi juga pengusaha. "Jadi pertanyaannya ini (Perppu Cipta Kerja) dibuat untuk siapa? Kelompok siapa yang diuntungkan dari sini?" kata dia.

Salah satu yang mengkritik yaitu Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang mengaku kecolongan karena tak dilibatkan dalam pembuatan Perpu Cipta Kerja. Apindo juga menyebut tak diajak bicara oleh pemerintah dalam pengesahan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023.

"Kita nggak diundang. Kita juga sedih, tiba-tiba muncul kita kaget. Karena waktu Permenaker kita juga nggak diajak ngomong. Dalam perjalanan ini kita menempa juga untuk lebih mature, lebih matang lah menghadapi ini," kata Ketua Umum Hariyadi B. Sukamdani dalam konferensi pers di kantor Apindo, Jakarta, Selasa, 3 Januari 2023.

Selanjutnya, dalih Jokowi dan Mahfud Md

Soal kegentingan yang memaksa, Jokowi menjawab bahwa Perppu ini diterbitkan karena ada ancaman-ancaman resiko ketidakpastian global. Jokowi menyebut kondisi saat ini memang terlihat normal. Akan tetapi, Jokowi mengklaim bahwa Indonesia diintip oleh ancaman-ancaman ketidakpastian global.

"Karena ekonomi kita di 2023 sangat tergantung investasi dan ekspor," ujar Jokowi pada 30 Desember.

Beberapa hari lalu, Jokowi merespons lagi polemik Perppu Cipta Kerja dengan memberi tanggapan santai. "Ya biasa. Dalam setiap kebijakan dalam setiap keluarnya sebuah regulasi ada pro dan kontra. Tapi semua bisa kami jelaskan," kata dia saat ditemui dalam kunjungan ke Pasar Tanah Abang, Jakarta, Senin, 2 Januari 2022.

Karena ada di pemerintahan, Ketua MK kedua periode 2008-2013 Mahfud Md membela Perppu Cipta Kerja. Mahfud senang dengan adanya kritik terhadap Perppu Cipta Kerja, terutama karena banyak datang dari akademisi.

"Saya juga akademisi, mungkin saya kalau tidak jadi Menteri ngeritik kayak gitu. Tetapi saya katakan, kalau secara teori udah enggak ada masalah, jangan mempersoalkan formalitasnya, prosedurnya, itu sudah sesuai," ujar Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md saat di Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa, 3 Januari 2023. 

Mahfud tak keberatan jika ada kritik soal isi dari Perppu Cipta Kerja. Menurutnya hal itu biasa terjadi saat pemerintah mengeluarkan Undang-Undang baru dan bagus karena menunjukkan majunya demokrasi di Indonesia. 

"Tapi kalau pemerintah menjawab (kritik dari masyarakat), itu bukan berarti sewenang-wenang. Jadi, mari adu argumen," kata Mahfud. 

Mahfud Md menyebut yang bisa diperdebatkan dari beleid tersebut adalah isinya, bukan prosedur penerbitannya. Sebab, kata Mahfud, MK pun sudah menyatakan prosedur penerbitan Perppu Cipta Kerja tak menyalahi aturan. 

Tapi yang disinggung Mahfud Md bukan soal partisipasi masyarakat dalam Perppu Cipta Kerja, melainkan soal metode Ominus Law yang sebelumnya tidak ada saat Putusan MK diketuk. Tapi kini metode Omnibus Law ini sudah masuk dalam tata cara pembentukan UU di Tanah Air, seiring dengan disahkannya Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Fajar Pebrianto

Fajar Pebrianto

Meliput isu-isu hukum, korupsi, dan kriminal. Lulus dari Universitas Bakrie pada 2017. Sambil memimpin majalah kampus "Basmala", bergabung dengan Tempo sebagai wartawan magang pada 2015. Mengikuti Indo-Pacific Business Journalism and Training Forum 2019 di Thailand.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus