Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Penyidik Senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Praswad Nugraha, menanggapi ditangkapnya tersangka kasus korupsi KTP elektronik (e-KTP) Paulus Tannos. Buron lembaga antirasuah sejak 2019 itu dibekuk Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura pada Jumat, 17 Januari 2025, melalui perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bekas Kepala Advokasi Wadah Pegawai (WP) KPK periode 2018-2021 ini memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada KPK. Lantaran, kata Praswad, untuk pertama kalinya berhasil menggunakan perjanjian ekstradisi yang telah lama disepakati antara pemerintah Indonesia dan Singapura.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Meskipun sempat terhambat proses penangkapan di Bangkok pada tahun 2023, namun tetap tidak membuat semangat rekan-rekan penyidik menjadi surut,” ujar Praswad dalam keterangan tertulisnya yang diterima Tempo, Senin, 27 Januari 2024.
Sebelumnya Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Krishna Murti mengatakan penangkapan Tannos berawal dari terdeteksinya buron tersebut itu di Singapura pada akhir tahun lalu. Kemudian Polri mengirim surat permohonan kepada pemerintah Singapura untuk membantu penangkapan buron kasus korupsi e-KTP ini.
“Divisi Hubinter Polri mengirimkan surat ke otoritas Singapura untuk membantu penangkapan yang bersangkutan. Kami dapat info kalau dia ada di sana,” kata Krisna melalui keterangan resminya dikutip Ahad, 26 Januari 2025.
Setelah Tannos terkonfirmasi sudah ditangkap, Polri mengadakan rapat gabungan lintas kementerian dan lembaga untuk menindaklanjuti proses ekstradisi buron itu. Ini adalah proses hukum internasional untuk menyerahkan tersangka atau terpidana kejahatan dari satu negara ke negara lain.
Menurut Praswad, penangkapan Tannos melalui perjanjian ekstradisi merupakan peringatan bagi semua buron yang melarikan diri ke Singapura. Eks Ketua IM57+ Institute ini mengatakan, para buron yang bersembunyi di Negeri Singa itu tidak lagi menjadi pihak yang tidak tersentuh hukum. KPK sudah memiliki dasar hukumnya.
“KPK sudah bisa menangkap dan mengejar mereka berdasarkan UU No 5 tahun 2023 yang mengesahkan proses Ekstradisi Treaty between Indonesia and Singapore,” katanya.
Praswad mengatakan, pada 2023 tim penyidik KPK sebenarnya berhasil mendeteksi keberadaan Tannos di Bangkok, Thailand. Namun, setelah tim penyidik KPK tiba di Bangkok, ternyata saat itu yang bersangkutan sudah berganti kewarganegaraan dan telah menggunakan paspor Guinnes Bissau, salah satu negara di Afrika Barat.
“Sehingga pihak kepolisian Bangkok kesulitan memenuhi permintaan penangkapan Tannos oleh penegak hukum Indonesia,” kata dia.
Menurut Praswad, upaya perubahan status warga negara yang dilakukan Tannos dapat dikategorikan perbuatan pidana tersendiri, yaitu Pasal 221 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait upaya menghalang-halangi penyidikan. Sebab itu, tersangka korupsi E-KTP itu bisa dikenai pasal berlapis.
“Tindakan Tannos yang berusaha kabur dan buron serta merubah status kewarganegaraan setelah melakukan tindak pidana di Indonesia adalah tindak pidana berlapis, selain tindak pidana pokoknya, yaitu korupsi e-KTP yang telah di lakukan olehnya,” katanya.
Praswad juga menggarisbawahi bahwa Paulus Tannos saat melakukan tindak pidana korupsi E-KTP masih berstatus sebagai Warga Negara Indonesia atau WNI dan tindak pidana korupsi tersebut dilakukan di wilayah Indonesia. Maka, kata dia, berlaku asas Nasionalitas Aktif, tidak peduli apa pun status warga negaranya sekarang.
Ia mendukung kerja sama antara KPK, Kejaksaan, dan Interpol Mabes Polri yang telah berhasil melakukan penangkapan Paulus Tannos dengan bantuan Pemerintah Singapura. Menurutnya ini adalah contoh nyata sinergisitas di jalan yang benar antara penegak hukum yang patut di pedomani di masa yang akan datang, kerja sama dalam menyelesaikan perkara dan mengejar buronan. “Sekali lagi selamat kepada KPK RI,” kata Praswad Nugraha.
Alif Ilham Fajriadi dan Mutia Yuantisya berkontribusi dalam penulisan artikel ini.