Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
KPK menetapkan Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor sebagai tersangka kasus suap sejumlah proyek.
Peran Sahbirin terungkap pasca-operasi tangkap tangan yang menjaring sejumlah anak buahnya.
Selain kesaksian, KPK mengantongi barang bukti lain.
KOMISI Pemberantasan Korupsi mencekal Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi tiga proyek pembangunan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Juru bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, mengatakan pencekalan itu berlaku hingga enam bulan ke depan dan dapat diperpanjang berdasarkan kebutuhan penyidikan. “Gubernur Kalsel sudah dicegah ke luar negeri per 7 Oktober 2024,” kata Tessa dalam keterangannya pada Rabu, 9 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sahbirin menjadi tersangka setelah KPK menggelar operasi tangkap tangan (OTT) di sejumlah tempat di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, pada Ahad, 6 Oktober 2024. Dalam OTT itu, KPK menangkap 17 orang, tapi hanya menetapkan enam orang di antaranya sebagai tersangka. Mereka adalah Kepala Dinas PUPR Pemprov Kalsel Ahmad Solhan; Kepala Bidang Cipta Karya Dinas PUPR Pemprov Kalsel Yulianti Erlynah; pelaksana tugas Kabag Rumah Tangga Gubernur Kalsel, Agustya Febry Andrean; bendahara Rumah Tahfidz Darussalam, Ahmad; serta dua pihak swasta, Sugeng Wahyudi dan Andi Susanto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, dalam paparannya kepada media pada Selasa, 8 Oktober 2024, menyatakan OTT itu bermula ketika pihaknya menerima informasi soal pengaturan tiga proyek pembangunan di Dinas PUPR Kalsel. “Bahwa terhadap beberapa paket pekerjaan tersebut dilakukan plotting (pengaturan) penyedia sebelum proses pengadaan dilakukan melalui e-katalog,” kata Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.
Ghufron mengatakan Ahmad Solhan memerintahkan Yulianti Erlynah mengatur agar hanya perusahaan Sugeng Wahyudi dan Andi Susanto yang bisa mengajukan penawaran di e-katalog Pemprov Kalsel. Solhan dan Yulianti disebut mengutak-atik syarat perusahaan serta membocorkan harga perkiraan sendiri kepada Sugeng dan Wahyu. Tak hanya itu, Solhan juga pernah bernegosiasi soal imbal balik atau fee yang akan diberikan Sugeng dan Andi kepada dia serta Sahbirin.
“Terpilihnya YUD bersama AND sebagai penyedia pekerjaan terdapat fee sebesar 2,5 persen untuk PPK dan 5 persen untuk Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor,” ujar Ghufron.
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu menyatakan awalnya mereka menangkap Ahmad dan Yulianti saat penyerahan uang. Dari penangkapan itu, penyidik menyita satu kardus berwarna kuning dengan foto wajah “Paman Birin”, yang berisi uang Rp 800 juta. Penyidik juga menyita dua lembar kertas catatan kecil berwarna kuning dari tangan Yulianti. Tulisannya, “Logistik Paman: 200 juta, Logistik Terdahulu: 100 juta, Logistik BPK: 0,5 persen”.
Setelah itu, KPK menangkap 15 orang lain serta menemukan sejumlah koper dan kardus berisi uang. Total, penyidik saat itu menyita uang Rp 12,11 miliar plus US$ 500. Selain itu, tim penyidik menyita sejumlah bukti lain, seperti telepon seluler dan dokumen.
Keterlibatan Sahbirin, menurut Asep, terkuak dari pemeriksaan yang dilakukan penyidik terhadap 17 orang yang terjaring OTT tersebut. Meskipun demikian, dia enggan menyebutkan siapa yang menjelaskan keterlibatan Sahbirin. “Jadi status tersangka SHB (Sahbirin Noor) dari hasil pemeriksaan, bukan OTT,” tutur Asep.
Asep menyatakan paman pengusaha batu bara Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam itu menjadi tersangka setelah KPK melakukan gelar perkara pada Ahad malam, 6 Oktober 2024, sekitar pukul 21.30 WIB. Dalam rapat itu, penyidik dan pimpinan lembaga antirasuah berkesimpulan telah menemukan barang bukti permulaan yang cukup untuk menjerat politikus Partai Golkar tersebut.
Sumber Tempo di KPK menyatakan keterlibatan Sahbirin Noor juga terungkap dari percakapan dalam salah satu ponsel yang mereka sita. Sumber yang sama menyatakan uang senilai lebih dari Rp 12 miliar itu tak hanya berhubungan dengan ketiga proyek di Dinas PUPR. Dia menyatakan asal uang itu masih didalami oleh penyidik. “Masih terus didalami sumbernya,” ujar sumber tersebut.
Soal bukti percakapan yang menguatkan peran Sahbirin, Tessa Mahardhika Sugiarto menyatakan belum mendapatkan informasi dari penyidik dan belum bisa menjelaskan lebih detail peran Sahbirin. “Nanti kami akan update, tapi tidak sekarang ya,” kata Tessa saat dimintai konfirmasi oleh Tempo pada Rabu, 9 Oktober 2024.
Tempo juga telah berupaya meminta konfirmasi soal informasi itu kepada pimpinan KPK, yakni Nurul Ghufron dan Alexander Marwata. Namun keduanya tak merespons saat dihubungi melalui pesan ke nomor WhatsApp pribadi mereka. Hanya, Ghufron pernah menyatakan bahwa Ahmad merupakan orang yang bertugas menampung suap tersebut. “Uang itu disampaikan kepada AMD (Ahmad), yang merupakan salah satu pihak penampung fee tersebut,” ucap Ghufron pada Selasa, 8 Oktober 2024.
KPK menjerat Sahbirin dan tiga anak buahnya dengan Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 11, atau Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sementara itu, untuk pihak swasta, KPK menggunakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Kepala Biro Administrasi Pimpinan Sekretariat Daerah Kalsel Berkatullah serta Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kalsel Muhammad Muslim juga tak mau berkomentar soal penetapan Sahbirin Noor sebagai tersangka. Pesan ke nomor WhatsApp yang Tempo layangkan tak juga berbalas.
Peneliti dari Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengapresiasi upaya KPK menetapkan Gubernur Kalimantan Selatan sebagai tersangka. Dia menilai hal ini positif karena dilakukan pada akhir masa jabatan para pemimpin KPK yang menurut dia merupakan yang terburuk dalam sejarah lembaga antirasuah itu. “Saya apresiasi karena berani. Ini bukan case kecil,” kata Zaenur kepada Tempo saat dihubungi kemarin.
Dia menilai KPK berani karena Sahbirin Noor bukan orang sembarangan. Pasalnya, Sahbirin merupakan paman Haji Isam, yang belum mampu diseret KPK ke pengadilan. Nama Haji Isam memang pernah disebutkan dalam kasus suap dua mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, yakni Angin Prayitno Aji dan Dadan Ramdhani, yang ditangani KPK. Dalam persidangan Angin dan Dadan, terungkap perusahaan milik pengusaha asal Batu Licin itu, PT Jhonlin Baratama, memberikan suap sebesar Rp 40 miliar untuk merekayasa nilai laporan pajak mereka. “Kalau diingat, di Kalimantan Selatan bukan hanya kali ini KPK beraksi, tapi yang dulu gagal,” ujar Zaenur.
Zaenur berharap KPK segera memeriksa dan menahan Paman Birin. Dia khawatir yang bersangkutan melarikan diri atau berpotensi menghilangkan barang bukti jika terlalu lama dibiarkan bebas. Jika KPK tak bisa menangkap Sahbirin Noor sendiri, Zaenur berharap mereka menggandeng aparat penegak hukum lain, yakni Polri. “KPK bisa menangkap Paman Birin. Perlu dukungan Polri agar Paman Birin segera ditahan,” ucapnya.
Dia pun menyatakan KPK tak memiliki alasan untuk menunda pemeriksaan dan penahanan Sahbirin. Dengan menetapkan Gubernur Kalsel dua periode itu sebagai tersangka, Zaenur menilai KPK memiliki dua alat bukti yang kuat. “Saya yakin KPK sudah memegang dua alat bukti keterlibatan Paman Birin. KPK harus segera melakukan upaya paksa.”
Ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, sependapat dengan Zaenur. Dia menyatakan tak ada alasan bagi KPK untuk tak segera menangkap dan menahan Sahbirin. Chudry juga yakin KPK memiliki banyak alat bukti, bukan hanya dua, yang menguatkan adanya keterlibatan Sahbirin dalam kasus itu. Misalnya pengakuan para tersangka, bukti percakapan, hingga temuan kardus bertulisan “untuk Paman Birin”.
Chudry mengatakan KPK juga tak bisa mengulur waktu untuk memeriksa dan menahan Sahbirin karena uang suap itu belum sampai kepadanya. Setidaknya, menurut dia, bukti yang ditemukan penyidik saat melakukan OTT sudah masuk unsur percobaan. “Sudah masuk poging itu, percobaan tindak pidana,” kata Chudry saat dihubungi secara terpisah.
Mantan penyidik KPK, Novel Baswedan, pun menilai wajar jika penyidik tak segera menangkap Sahbirin Noor saat OTT. Dia mengatakan, saat melakukan OTT, tim menghadapi dua kemungkinan. Pertama, tim hanya menemukan fakta penyerahan atau penerimaan langsung dan belum mencapai target utama. Kedua, menurut Novel, tim kesulitan menjangkau target. “Dua hal itu bisa terjadi di lapangan.”
Novel mencontohkan saat tim penyelidik hendak menangkap mantan Bupati Buol, Amran Batalipu. Kala itu tim yang hendak menangkap tangan sang bupati pada 2012 tiba-tiba mendapat serangan dari sekelompok orang dan membuat yang bersangkutan kabur. “Dalam kasus Amran Batalipu, tim akhirnya menangkap dulu pemberi suapnya, kemudian proses yang bersangkutan diajukan setelahnya,” tutur Novel.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Mutia Yuantisya berkontribusi dalam pembuatan artikel ini.