Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Vonis Banding Harvey Moeis Diperberat, Pakar Pidana UI: Hakim Pertimbangkan Kerusakan Lingkungan

Pakar hukum UI menyatakan dalam perkara pidana tidak berlaku prinsip ultra petita seperti vonis banding yang diterima Harvey Moeis dan kawan-kawan.

19 Februari 2025 | 15.58 WIB

Hakim Ketua Teguh Harianto (tengah) didampingi Hakim Anggota Catur Iriantoro (kanan) dan Anthon R Saragih membacakan amar putusan tingkat banding atas perkara korupsi pengusaha Harvey Moeis di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Jakarta, 13 Februari 2025. Tempo/Tony Hartawan
Perbesar
Hakim Ketua Teguh Harianto (tengah) didampingi Hakim Anggota Catur Iriantoro (kanan) dan Anthon R Saragih membacakan amar putusan tingkat banding atas perkara korupsi pengusaha Harvey Moeis di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Jakarta, 13 Februari 2025. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Tinggi Jakarta menjatuhkan vonis lebih berat kepada Harvey Moeis dan terdakwa lainnya dalam kasus korupsi tambang timah. Putusan tersebut mencerminkan perbedaan pendekatan antara majelis hakim tingkat pertama dan banding dalam menilai kerugian negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Dosen hukum pidana Universitas Indonesia (UI), Chudry Sitompul, menjelaskan bahwa dalam perkara pidana tidak berlaku prinsip ultra petita atau larangan hakim memutus melebihi tuntutan jaksa. “Hakim perkara pidana diperbolehkan menjatuhkan hukuman pidana mulai dari ancaman minimum sampai dengan ancaman maksimal yang telah ditentukan dalam undang-undang,” kata Chudry kepada Tempo saat dihubungi Selasa malam, 18 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Pada tingkat pertama, lanjut dia, hakim Pengadilan Negeri menghitung kerugian negara hanya dari aspek finansial, seperti pajak dan royalti yang tidak dibayarkan. Berdasarkan perhitungan itu, majelis hakim memutuskan hukuman yang lebih ringan bagi para terdakwa. Namun, Pengadilan Tinggi Jakarta memiliki perspektif berbeda.

“Hakim pengadilan tinggi bukan hanya menghitung kerugian finansial seperti pajak dan royalti yang tidak dibayar, tetapi juga aspek kerusakan lingkungan,” ujar Chudry. Ia menekankan bahwa pendekatan hakim banding memperluas definisi kerugian dengan memasukkan faktor perekonomian negara yang terdampak akibat kerusakan lingkungan.

Dengan pendekatan ini, vonis para terdakwa diperberat. Chudry menilai, perbedaan ini muncul karena jaksa penuntut umum sejak awal hanya berfokus pada kerugian keuangan negara, bukan kerugian perekonomian secara keseluruhan. “Ya ini bukannya keliru, artinya penuntut umum itu hanya pendekatannya keuangan negara, bukan perekonomian negara. Itu di situ perbedaannya,” katanya.

Perkara ini menjadi sorotan lantaran besarnya nilai kerugian yang ditimbulkan, diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah. Dengan vonis banding ini, para terdakwa menghadapi hukuman yang lebih berat dari putusan sebelumnya, sekaligus membuka wacana lebih luas mengenai bagaimana pendekatan hukum terhadap kejahatan yang berdampak pada lingkungan.

Harvey Moeis dkk sebelumnya dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi tata kelola niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015-2022. Jaksa tidak terima dengan vonis majelis hakim PN Tipikor Jakarta Pusat, mereka lantas mengajukan banding. Hukuman Harvey dkk itu akhirnya diperberat.

Harvey, misalnya, dari yang semula divonis 6,5 tahun, denda Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 210 miliar. Hukuman Harvey Moeis diperberat menjadi 20 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 240 miliar. Kemudian Helena Lim yang semula divonis 5 tahun, denda Rp 750 juta, dan uang pengganti Rp 900 juta diperberat menjadi hukuman penjara 10 tahun, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 900 juta.

Lalu, Mochtar Riza yang semula dihukum 8 tahun penjara dan denda Rp 750 juta menjadi hukuman penjara 20 tahun penjara, denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 493,3 miliar.  Sementara Suparta yang semula divonis 8 tahun, denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 4,57 triliun diperberat menjadi 19 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 4,57 triliun. 

Kemudian Reza yang semula divonis 5 tahun denda Rp 750 juta menjadi dihukum 10 tahun penjara dan denda Rp 750 juta. Semua vonis tersebut lebih berat ketimbang dakwaan JPU. Andi mengatakan meski kuasa hukum telah mendengar isi vonis hakim, namun ia akan tetap menunggu salinan putusan resmi dan akan mengkaji kembali pertimbangan hakim. 

Intan Setiawanty

Intan Setiawanty

Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2023. Alumni Program Studi Sastra Prancis Universitas Indonesia ini menulis berita hiburan, khususnya musik dan selebritas, pendidikan, dan hukum kriminal.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus