Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Sidang Harvey Moeis, Eks Dirut PT Timah Ungkap Alasan Berani Bayar Mahal PT RBT

Eks Dirut PT Timah bersaksi dalam sidang korupsi timah dengan terdakwa Harvey Moeis cs.

27 September 2024 | 08.41 WIB

Terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah Harvey Moeis (kiri) menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin, 9 September 2024. Jaksa penuntut hukum Kejaksaan Agung menghadirkan empat saksi, yakni Manager Keuangan PT Refined Bangka Tin (RBT) Ayu Lestari Yusman, penambang liar Liu Asak, Dika Sidik, dan Kurnia Efendi Bong. Sidang ini digelar untuk terdakwa Harvey Moeis, Dirut PT RBT Suparta dan Direktur Pengembangan Usaha PT RBT Reza Andriansyah. TEMPO/Imam Sukamto
Perbesar
Terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah Harvey Moeis (kiri) menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin, 9 September 2024. Jaksa penuntut hukum Kejaksaan Agung menghadirkan empat saksi, yakni Manager Keuangan PT Refined Bangka Tin (RBT) Ayu Lestari Yusman, penambang liar Liu Asak, Dika Sidik, dan Kurnia Efendi Bong. Sidang ini digelar untuk terdakwa Harvey Moeis, Dirut PT RBT Suparta dan Direktur Pengembangan Usaha PT RBT Reza Andriansyah. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Timah Tbk periode 2016-2021, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, mengungkapkan alasan pihaknya berani membayar mahal PT Refined Bangka Tin (RBT) dalam kerjasama penyewaaan smelter. Hal itu, diungkap Mochtar saat menjadi saksi dalam kasus korupsi timah dengan terdakwa Harvey Moeis dan dua petinggi PT RBT, Direktur Utama Suparta dan Direktur Pengembangan Reza Andriansyah. di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Kamis kemarin, 26 September 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Riza menyatakan pihaknya membayar mahal PT RBT karena perusahaan itu mengantongi International Organization for Standardization (ISO), serta proper atau program penilaian peringkat kinerja perusahaan. PT Timah harus membayar US$ 4.000 untuk melebur bijih timah per metrik ton dan tambahan biaya produksi sekitar US$ 200 per metrik ton kepada PT RBT. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan empat perusahaan smelter lainnya yang hanya US$3.700 per metrik ton bijih timah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

"Saya pernah dapat info, diinfokan bahwa RBT punya ISO (international organization for standardization), punya proper lingkungan segala macam itu," kata Riza. 

Dia menyebut PT RBT lebih layak mendapat bayaran mahal dibandingkan empat smelter swasta lainnya, yakni PT Stanindo Inti Perkasa, PT Tinindo Internusa, PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), dan CV Venus Inti Perkasa (VIP).

Sebelumnya, Eko Zuniarto selaku Evaluator Kerja Sama Smelter PT Timah Tbk, menyebut perusahaan harus membayar PT Refined Bangka Tin  sebesar US$4.000 untuk melebur bijih timah per metrik ton. Harga ini lebih mahal jika dibanding dengan smelter lainnya.

Eko menyebut, PT Timah hanya membayar US $3.700 per metrik ton untuk kemitraan smelter lain. "Harga sewa smelter dengan RBT disebutkan US $2.000 per jam efektif. Jam efektifnya 1/2 ton per jam, intinya US $4.000 per metrik ton. Sedangkan dengan smelter lain, US$3.700 per metrik ton," kata dia dalam sidang kasus yang sama, Kamis pekan lalu, 19 September 2024.

Dalam kesaksiannya, Eko mengaku tidak mengetahui alasan PT Timah mematok harga sewa yang berbeda dalam menjalankan kemitraan denga smelter swasta.Dia hanya menyebut dalam menjalankan kerja sama smelter, PT Timah menyewa fasilitas peleburan PT RBT beserta operatornya yang telah dilakukan sejak 2018 sampai dengan 2021.

Eko menjelaskan bijih timah yang berasal dari wilayah Izin Usaha Penambagan (IUP) PT Timah, kemudian dikirim ke gudang smelter PT RBT untuk diproduksi. Menurut dia, PT RBT mengirimkan logam dengan kadar 98,5 persen yang untuk selanjutnya harus menjalani proses pemurnian. "Itu belum sesuai standar untuk ekspor, jadi harus dimurnikan lagi," ujarnya.

Untuk mendapatkan standar timah yang diinginkan, yakni 99,9 persen, kata dia, PT Timah harus mengeluarkan biaya produksi sekitar US$200 per metrik ton.

Selain itu, pada akhir 2019, PT RBT sudah mengirimkan logam yang memenuhi standar ekspor PT Timah. Bahkan pada 2018, PT Timah sudah menyetorkan uang Rp 69 miliar ke PT RBT untuk pembayaran kemitraan smelter. Di 2019, perusahaan plat merah ini membayar Rp 736 miliar dan Rp 315 miliar di 2020 kepada PT RBT." Totalnya ada Rp 1,1 triliun yang dibayarkan ke PT RBT. Kalau untuk ke CV yang terafiliasi dengan RBT ada sekitar Rp 3,1 triliun," ujarnya.

Dalam kasus ini, Harvey Moeis disebut sebagai perpanjangan tangan PT RBT. Selain Harvey, penyidik Kejaksaan Agung sebelumnya sempat mengendus keterlibatan pengusaha Robert Bonosusatya di perusahaan itu. Kejagung sempat mencurigai Robert sebagai penerima manfaat atau beneficial owner dari perusahaan itu. Akan tetapi, hingga saat ini Robert masih belum ditetapkan sebagai tersangka meskipun sudah menjalani pemeriksaan. 

Mutia Yuantisya

Alumnus Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Padang ini memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2022. Ia mengawalinya dengan menulis isu ekonomi bisnis, politik nasional, perkotaan, dan saat ini menulis isu hukum dan kriminal.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus