Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung menyatakan pelarangan penggunaan atribut keagamaan hanya diberlakukan sebagai kepentingan penuntut umum secara internal ketika membawa terdakwa ke depan persidangan. Hal ini menanggapi polemik penggunaan atribut keagamaan oleh terdakwa di persidangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Perlu dicatat, kami tidak melarang mereka yang sudah terbiasa menggunakan, misalnya dia sudah menggunakan jilbab, dia sudah biasa pakai peci. Kita tidak melarang itu,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana yang dihubungi Tempo, Sabtu, 21 Mei 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketut Sumedana mengatakan yang tidak benarkan Jaksa Agung kepada penuntut umum atau pegawai Kejaksaan yang menghadirkan terdakwa di persidangan, terdakwa dipakaikan atribut keagamaan tertentu, seperti peci, jilbab atau jubbah. “Itu yang kita larang. Jangan sampai dibikin-bikin, gitu loh,” kata Ketut.
Menurut Ketut Sumedana, pelarangan penggunaan atribut keagaamaan berdasakan pada tiga hal, yaitu:
- Bahwa hukum acara pidana mengatakan yang menghadirkan terdakwa di depan persidangan adalah penuntut umum
- Kewenangan mengenai tata cara berpakaian di persidangan sudah ada di KUHAP dan diatur juga oleh Pengadilan Negeri setempat
- Imbauan Jaksa Agung hanya diberlakukan untuk kepentingan internal penuntut umum, hanya diberlakukan kepentingan penuntut umum secara internal ketika membawa terdakwa ke depan persidangan. Sebab, yang menghadirkan terdakwa, saksi, dan ahli ke persidangan adalah penuntut umum.
“Jangan sampai pakaian sopan disalah artikan menjadi pakaian yang mengarah kepada keagamaan, kebudayaan, dan adat, sehingga tidak ada diskriminasi atau tidak ada implikasi bahwa orang ini akan menjadi lebih alim, lebih berperilaku baik ada image itu di masyarakat,” ucapnya.
Dia mengatakan berpakaian sopan cukup dengan celana panjang, pakaian biasa. Selain itu, pelarangan tersebut masih berupa imbauan oleh Jaksa Agung.
“Itu belum ada surat edaran apapun yang dikeluarkan Jaksa Agung dan baru berupa imbauan. Kalau imbauan, ya tentu Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi setempat pasti mengikuti. Tidak mungkin tidak mengikuti walaupun itu sifatnya imbauan,” ujar Ketut.
Sebelumnya, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam mempertanyakan alasan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin yang melarang terdakwa menggunakan atribut keagamaan. Menurutnya, ekspresi keagamaan seseorang tidak boleh dilarang.
“Jaksa Agung tidak boleh berprasangka dalam membuat aturan,” kata Choirul Anam.
Choirul Anam mengatakan seorang terdakwa bisa saja merasakan penyesalan mendalam ketika tersandung kasus hukum dan mengekspresikan pertobatannya dengan menggunakan atribut agama. “Ekspresi pertobatannya bisa jadi dengan simbol keagamaan,” katanya.
Menurut Anam, Jaksa Agung hanya boleh membuat larangan tersebut dengan alasan yang jelas. Alasan itu adalah penggunaan atribut agama terbukti mempengaruhi hakim maupun jaksa dalam mengambil keputusan.
MUTIA YUANTISYA
Baca: Komnas HAM Pertanyakan Rencana Jaksa Agung Larang Terdakwa Pakai Atribut Keagamaan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini