Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bolehkah polisi menerima uang prestasi?” Begitu pertanya-an yang mencuat di ruang sidang- Komisi Hukum Dewan Perwa-kilan Rakyat di kawasan Sena-yan, medio Mei lalu. Saat itu Kepala Polri Jenderal Sutanto sibuk mencatat belasan pertanyaan anggota DPR RI. Lalu muncullah pertanyaan tadi dari Bambang Sadono, salah seorang anggota Komisi Hukum.
Pertanyaan itu diajukan Bambang terkait penjelasan tertulis Kepala Polri- yang diberikan sebelum rapat dimulai-. Dalam buku laporan bersampul ku-ning itu disebutkan adanya pemberian uang dari BNI kepada Komisaris Jenderal (Purn.) Erwin Mappaseng sebesar Rp 1,8 miliar sebagai success fee. ”Karena Bareskrim (Badan Reserse Kriminal) Polri berhasil mengembalikan aset BNI 46 dalam kasus Bank Pembangun-an Daerah (BPD) Bali,” tulisan laporan tersebut. Saat kasus itu terjadi, Erwin menjabat Kepala Bareskrim.
Kisah uang prestasi ini dimulai pada Juli 2002. Saat itu, BPD Bali menerapkan kebijakan menempatkan dana mereka Rp 50 miliar di BNI Cabang Halim Perdanakusumah, Jakarta Timur. ”Ini program deposit on call, yang jangka waktu jatuh temponya cuma sebulan,” kata Ida Bagus Putu Gede, Direktur Utama BPD Bali, kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Sebulan kemudian, program yang sama dilakukan di BNI Cabang Radio Dalam, Jakarta Selatan. Besarnya duit yang ditempatkan Rp 195 miliar.
Belakangan, BNI kelabakan mengembalikannya. BPD Bali baru tahu ketika jatuh tempo. BNI lalu sepakat membayar uang itu selama lima bulan. ”Setiap bulan dibayar Rp 50 miliar ditambah bu-nga,” katanya. Dari Rp 245 miliar yang disetor BPD itu, BNI harus menanggung beban Rp 253 miliar, termasuk bunga-nya. ”Selanjutnya yang berurusan de-ngan penegak hukum ya BNI,” kata Ida Bagus Putu.
BNI memang membawa perkara ini ke Mabes Polri. Penyidikan kasus ini di-pimpin Komisaris Besar Irman Santosa- selaku Kepala Unit II Perbankan dan Ekonomi Khusus Bareskrim. Dari penyidikan terungkap bahwa uang BPD itu ternyata tak pernah dicatat dalam pembukuan bank. Itu sebabnya, kantor wilayah BNI maupun kantor pusat BNI tak mendapat laporannya. Begitu juga Bank Indonesia.
Semua kisruh ini terjadi karena ulah Gunawan, Kepala Cabang BNI Halim. Ia meminjamkan uang itu ke pihak- ketiga-. Sedangkan Kepala Cabang BNI Radio Dalam, Agus Salim, memutar- uang itu untuk mengeduk keuntung-an lebih besar. Orang yang diberi order untuk memutar uang yang disimpan di kedua bank itu disebut-sebut Lulu Lutfi Harsono, bekas bankir yang rajin membuat kerja sama bisnis dengan orga-nisasi Muhammadiyah. Dalam bisnis ini Lulu menggandeng keponakannya, Dedy Suryawan.
Pengucuran uang itu tanpa perjanji-an kredit maupun jaminan. Karena itu, kala duit itu tak dikembalikan, Guna-wan dan Agus kelimpungan. Keduanya pun diperiksa polisi dan dijadikan tersangka. Dua tahun lalu, kedua bankir BNI ini diganjar hukuman lima tahun penjara. Sedangkan Lulu tak sempat terjamah hukum. Ia meninggal karena kanker hati di Rumah Sakit Siloam Gleneagles, Singapura, Agustus 2004. Dedy, sang keponakan, sampai detik ini belum diperiksa.
Laporan cepat dari BNI membuat po-lisi berhasil menyelamatkan dana itu-. Besarnya dana pemulihan—polisi- menyebutnya dana recovery—Rp 73, 5 mi-liar-. Menurut seorang perwira me-nengah di Mabes Polri, setelah terhimpunnya dana recovery itulah, Kepala Bareskrim Komjen Erwin Mappaseng memerintahkan anak buahnya, Irman Santosa, meminta tip ke BNI.
Tip diminta saat dana pemulihan- Rp 42 miliar sudah di kantong polisi- pada September 2005. ”Pak Erwin menga-ta-kan, Mabes sudah berhasil. Masih ada potensi recovery lain. Tapi, polisi butuh dana operasional,” kata Teuku Nasrullah, kuasa hukum Muhammad Arsjad, Direktur Kepatuhan BNI.
Menurut Nasrullah, Arsjad lantas menyampaikan keinginan polisi itu kepada manajemen BNI. Akhirnya diputuskan memberikan 2,5 persen dari dana itu. Persenan sebesar Rp 1 miliar diberikan Arsjad kepada Erwin. ”Saya sudah tanya ke Pak Erwin dan dia membenar-kan,” kata Nasrullah. Pemberian uang tip tahap kedua dilakukan pada 31 Okto-ber 2005. Itu terjadi setelah recovery -tahap kedua pada 31 Oktober 2005 yang besarnya Rp 31,5 miliar.
Menurut Nasrullah, tip tahap kedua yang diberikan BNI ke polisi nilainya Rp 1,25 miliar. Perinciannya, Kepala Divisi Hukum BNI Tri Koentoro menyetor Rp 200 juta untuk Direktur II Ekonomi Khusus Brigadir Jenderal Samuel Ismoko dan Rp 250 juta untuk Kepala Unit II Perbankan dan Ekonomi Khusus Irman Santosa. Sedangkan Arsjad menyerahkan Rp 800 juta untuk Erwin.
Pemberian success fee semacam ini, menurut Kepala Corporate Secretary PT BNI Tbk. (Persero) Intan Abdam, tak melanggar aturan perbankan. Hanya, katanya, pemberian uang seperti ini di BNI bukan kebijakan tetap. ”Jadi, hanya kebijakan situasional kasus per kasus,” katanya. Menurut Intan, dana yang diturunkan itu yang pasti berdasarkan per-setujuan atasan.
Erwin Mappaseng tak menampik ce-rita ini. Kepada wartawan dia menyebutkan permintaan uang itu sesuatu yang wajar karena polisi telah menunjukkan keberhasilannya. ”Prestasi itu ada fee resmi,” katanya. Dalam soal ini, Erwin lantas menyamakan polisi dan pengacara. Kepada wartawan ketika itu ia menegaskan, uang itu bukan untuk- kepentingan pribadinya. Dana itu, kata-nya, digunakan untuk operasional Bareskrim sebagai lembaga.
Contohnya, uang itu digunakan untuk- membawa tim Interpol Mabes Polri ke sidang Interpol di Spanyol pada Oktober 2005. Selain itu, untuk biaya tambah-an operasi polisi di Poso.
Keterangan Erwin pada wartawan itu belum sepenuhnya dipercaya Mabes Polri. Menurut juru bicara Mabes Polri Brigadir Jenderal Anton Bachrul Alam, Erwin memang mengakui menerima uang itu. Pengakuan itu disampaikan Erwin melalui pesan pendek kepada salah seorang perwira tinggi di Mabes Polri. ”Semuanya ada di Pak Erwin,” kata Anton. Hanya, Anton tak tahu ke mana saja dan untuk apa persisnya uang di tangan Erwin tersebut.
Menurut Anton, Mabes Polri kini masih menunggu keterangan resmi dari Erwin. ”Apa alasannya dia menerima uang itu. Hanya saat ini dia masih sakit,” kata Anton. Erwin memang sedang dirawat di sebuah rumah sakit di Singapura. Menurut sumber Tempo, ia sedang menjalani kemoterapi karena penyakit kanker paru-paru yang diidapnya.
Kendati dalam rapat dengan DPR Kapolri menegaskan siap-a pun yang terkait dalam kasus success fee ini bisa diperiksa, nyatanya sampai kini belum ada satu pun yang dimintai keterang-an perihal uang persenan dari BNI ini. Bila alasan untuk Erwin adalah karena ia sakit, tak ada alasan untuk tidak meminta penjelasan pada Samuel Ismoko dan Irman Santosa.
Nasib berbeda dialami Arsjad dan Tri Kuntoro, ”penderma” dari BNI. Dua pejabat ini sudah diperiksa dan kini ditahan di penjara Bareskrim. ”Untuk kasus travel check operasional Mabes Polri itu,” kata Nasrullah, kuasa hukum Arsjad. Dalam tahanan, Arsjad menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku agama, hukum, dan dokumendokumen- yang berkaitan dengan kasusnya. Me-nu-rut- Nasrullah, Arsjad dan Kuntoro tak bisa disalahkan dalam hal ”uang tip” dari BNI untuk polisi itu. ”Itu hal yang wajar, apalagi polisi sudah menunjukkan kinerjanya,” kata Nasrullah.
Bagi Bambang Sadono, anggota DPR, success fee yang diterima polisi hal tak wajar. Sampai empat kali ia menanyakan soal ini ke Sutanto kala rapat dengar pendapat dengan Kapolri. Jawaban Kapolri, ”Tentu tak bisa dibenarkan. Polisi harus profesional, harus obyektif, walau pemberian itu karena keberhasilan mengungkap kasus.”
Nurlis E. Meuko, Tito Sianipar, Badriah, dan Rofiqi Hasan (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo