Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Undang-Undang Perampasan Aset membutuhkan penegak hukum yang bersih, transparan, dan profesional.
Perampasan aset tindak pidana bisa dilakukan tanpa harus menunggu proses peradilan terhadap pelaku.
UU Perampasan Aset rawan disalahgunakan dan dapat menjadi ladang korupsi bagi penegak hukum.
RANCANGAN Undang-Undang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana kembali terganjal. Pada medio November 2024, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat tidak memasukkan rancangan peraturan tersebut ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas Tahun 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eks juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekaligus mantan anggota Komisi Hukum DPR, Johan Budi Sapto Pribowo, mengatakan RUU Perampasan Aset bak pisau bermata dua. Sebab, rancangan undang-undang itu mengerikan bagi koruptor sekaligus berpeluang memperburuk penindakan korupsi. “Undang-Undang Perampasan Aset ini tidak hanya menakutkan orang-orang di DPR, juga menakutkan bagi banyak orang,” kata Johan Budi dalam diskusi publik di Yogyakarta pada Rabu, 23 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melihat isi draf baru RUU Perampasan Aset, dia melanjutkan, butuh penegak hukum yang punya integritas tinggi. Ini mengingat salah satu orientasi aturan ini adalah pengembalian kekayaan negara.
Selain itu, Johan menilai perlu sinergi antara penegak hukum untuk mengaplikasikan undang-undang itu nantinya, mengingat di kalangan penegak hukum tidak sedikit yang ikut melakukan korupsi. “Saya khawatir apabila penegak hukumnya belum bersih 100 persen, sementara RUU ini sudah disahkan, korupsi makin masif,” ujar Johan.
Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Yunus Husein punya pendapat berbeda. Menurut dia, tak hanya Undang-Undang Perampasan Aset, semua aturan juga bisa menjadi pisau bermata dua. Ia mencontohkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
"Semuanya bisa pisau bermata dua, bergantung pada niat si penguasa itu mau pakai untuk ngerjain lawannya apa enggak," ujar Yunus lewat sambungan telepon, Ahad, 1 Desember 2024.
Menurut dia, RUU Perampasan Aset sudah bagus secara sistem untuk mengejar aset tindak pidana. Ia menegaskan, aturan itu diprioritaskan bukan untuk menghukum orang, melainkan merampas aset tanpa pemidanaan (non-conviction based asset forfeiture). "Orangnya bisa meninggal, bisa buron, bisa enggak dieksekusi, itu dikejar asetnya. Nanti asetnya dirampas, orangnya enggak dihukum."
Ia menuturkan recovery atau pemulihan aset lebih penting. "Masak, berat diongkos terus?" ujarnya.
Yunus menyebutkan biaya penegakan hukum satu kasus korupsi bisa mencapai ratusan juta rupiah. Ia mencontohkan biaya membawa eks Gubernur Papua, Lukas Enembe, ke Jakarta mencapai miliaran rupiah. Selain itu, proses menghukum orang lebih memakan waktu dan biaya. Ia pun mencontohkan biaya untuk memberi makan narapidana seumur hidup bisa mencapai miliaran rupiah.
Kendati demikian, ia sepakat dengan Johan Budi bahwa butuh penegak hukum yang bersih, transparan, dan profesional untuk menerapkan Undang-Undang Perampasan Aset nantinya. "Kalau tidak transparan, tidak profesional, integritasnya tidak bagus, bukan hanya aset yang disalahgunakan, itu bisa memanfaatkan orang-orang yang akan dijadikan tersangka."
Dosen hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, juga menyatakan hukum itu selalu digambarkan sebagai pedang bermata dua. Artinya, hukum bisa digunakan untuk memberantas kejahatan sekaligus memusnahkan kebaikan.
"Itu sebabnya UU Perampasan Aset harus dibuat dengan memastikan sisi baiknya sebagai penumpas kejahatan terbentuk dan terlaksana," ujarnya lewat aplikasi perpesanan kepada Tempo, Sabtu, 30 November 2024.
Sementara itu, pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, tak mempermasalahkan apabila aturan itu nantinya menjadi senjata penggebuk bagi lawan politik seseorang. "Enggak ada masalah kalau kacamata politik-hukumnya demikian, karena akan ada pertarungan antara satu fraksi oligarki dan oligarki yang lain," ujar Herdiansyah kepada Tempo, Ahad, 1 Desember 2024.
Namun ia mempertanyakan mengapa pemerintah dan DPR tidak mendorong secara efektif RUU Perampasan Aset bila berpikir undang-undang itu dapat menjadi penggebuk lawan politik ataupun bisnis. "Jadi kekhawatiran mereka sekarang kalau Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset itu disahkan, ya, itu akan menggorok leher mereka sendiri."
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Bugivia Maharani, menganggap rancangan undang-undang tersebut harus dianggap sebagai langkah progresif untuk menutupi mekanisme pengambalian kerugian negara dari tindak pidana yang selama ini belum efektif. "Yang seharusnya menjadi highlight (sorotan) di sini, RUU Perampasan Aset menempatkan negara untuk beperkara dengan aset, bukan orang atau pelaku," ujar Bugivia kepada Tempo.
Paradigma itu, tutur dia, sudah diterapkan di negara maju, seperti Australia. Dengan demikian, perampasan aset tindak pidana dapat dilakukan tanpa harus menunggu proses pidana terhadap pelaku.
"Memang dalam prosesnya nanti keseriusan dan will (kemauan) dari aparat penegak hukum dalam menelusuri aset-aset yang diduga kuat didapat dari tindak pidana menjadi sangat krusial," tutur Bugivia.
Dia menyoroti konsep non-conviction based dalam RUU Perampasan Aset sebagai keuntungan utama. Dengan demikian, negara bisa merampas aset-aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan, dan aset tersebut tidak dapat dibuktikan asal-usul perolehannya secara sah. Perampasan aset ini juga tanpa proses pemidanaan terhadap pelaku.
"Negara yang diwakili oleh penuntut umum dapat melakukan penelusuran langsung terhadap aset yang diduga kuat berasal dari suatu tindak pidana dan meminta melakukan pemblokiran hingga penyitaan kepada lembaga terkait," ucapnya.
Dengan mekanisme ini, setidaknya akan mempermudah proses pengembalian kerugian negara, yang saat ini masih tidak efektif. Sebab, aparat penegak hukum dituntut lebih dulu membuktikan adanya kerugian negara oleh pelaku.
Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, juga berpendapat UU Perampasan Aset akan menjadi instrumen efektif untuk melakukan asset recovery terhadap pidana.
UU Perampasan Aset ini diharapkan bisa membuat pelaku tindak pidana menjadi demotivasi, sehingga ketika orang akan melakukan tindak pidana, dia akan berpikir dua kali. "Ini memang terkait dengan pidana-pidana yang memiliki motif ekonomi, khususnya, seperti tindak pidana korupsi," ujar Zaenur. "Ngapain orang capek-capek korupsi kalau ternyata hasil dari korupsinya mudah dirampas oleh negara?"
Ia menggarisbawahi ada dua instrumen yang efektif untuk mendukung pemberantasan korupsi dalam RUU Perampasan Aset. Pertama, illicit enrichment atau peningkatan kekayaan secara tidak sah. Misalnya, seorang penyelenggara negara mempunyai harta yang tidak wajar dibanding penghasilan sahnya.
Kedua, unexplained wealth atau kekayaan yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya. Misalnya, seseorang tiba-tiba memiliki harta tertentu, seperti uang, rumah, dan mobil, yang tidak dapat dijelaskan asalnya. "Dengan dua instrumen ini, si pemilik harta harus menjelaskan asal-usulnya berasal dari sumber yang sah. Kalau gagal membuktikan, akan disita untuk negara," ucap Zaenur.
Menurut dia, hal tersebut akan mendukung pemberantasan korupsi ataupun kejahatan lain. Sebab, sebenarnya RUU Perampasan Aset tidak diperuntukkan bagi tindak pidana korupsi saja.
Kendati demikian, ia mengungkapkan ada kerugian dalam RUU Perampasan Aset. "Pertama, kalau ini dilakukan secara terpusat, artinya didominasi oleh satu lembaga."
Ia mencontohkan, dalam draf RUU Perampasan Aset, tampak dominasi kejaksaan. Zaenur menilai peran kejaksaan sangat besar dari hulu sampai hilir sehingga berpotensi menumpuk kekuasaan perampasan aset itu di tangan satu badan. "Tentu dapat menimbulkan ekses negatif, yaitu abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan)," kata Zaenur. "Bisa menimbulkan korupsi sendiri dalam perampasan aset."
Kerugian lain adalah pelanggaran hak asasi manusia terhadap kepemilikan harta. Sebab, ada potensi penyitaan atau perampasan aset secara sewenang-wenang. "Artinya, memang kalau ditanya apa kerugiannya? Kerugiannya adalah ini senjata ampuh, bisa disalahgunakan," tuturnya. "Ini bisa menjadi ladang korupsi bagi penegak hukum."
Kendati demikian, ia menilai berbagai kerugian tersebut dapat diminimalkan dengan hukum acara yang ketat sehingga menjamin pelindungan terhadap pemilik harta. "Di RUU Perampasan Aset juga ada hukum acara yang diatur secara ketat untuk menjamin bahwa aturan tersebut tidak akan menghilangkan hak kebendaan dari orang yang menguasainya."
Zaenur menuturkan penegak hukum mempunyai dasar untuk melakukan perampasan aset. Sedangkan si pemilik harta berhak membuktikan di pengadilan dari mana hartanya berasal. "Itu untuk menyeimbangkan antara kewenangan yang besar dan pelindungan hak."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Dani Aswara berkontribusi dalam penulisan artikel ini