Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jawa Timur menjatuhkan vonis bebas tersangka perkara pembunuhan Dini Sera Afriyanti, Gregorius Ronald Tannur atau Ronald Tannur pada Rabu, 24 Juli 2024.
Ketua Majelis Hakim Erintuah Damanik menyatakan, Ronald Tannur tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan pembunuhan maupun penganiayaan yang menyebabkan korban tewas.
“Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sebagaimana dalam dakwaan pertama pasal 338 KUHP atau kedua Pasal 351 ayat (3) KUHP Atau ketiga Pasal 359 KUHP dan 351 ayat (1) KUHP,” kata Hakim Erintuah di Surabaya, Rabu, seperti dilansir dari Antara.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ahmad Muzzaki menuntut terdakwa selama 12 tahun penjara karena dianggap terbukti dalam dakwaan pertama yakni pasal 338 KUHP tentang pembunuhan. JPU menuntut Ronald dijatuhi pidana 12 tahun penjara dan membayar restitusi bagi keluarga korban Rp 263,6 juta.
Lantas, bagaimana respon pakar dan pegiat hukum atas vonis bebas Ronald Tannur dalam perkara pembunuhan tersebut?
1. Rieke Diah Pitaloka: Sesuatu Hal yang Ekstrim
Anggota DPR RI, Rieke Diah Pitaloka yang tergabung dengan aliansi #JusticeForDiniSera menilai putusan bebas majelis hakim PN Surabaya merupakan sesuatu hal yang ekstrem. “Menurut saya dan teman-teman dalam aliansi ini, ini keputusan bukan hanya tindakan pelaku yang ekstrim, tapi putusan majelis hakim terindikasi kuat juga ekstrem,” katanya, Senin, 29 Juli 2024 dikutip dari Antara.
Ia mengatakan vonis bebas yang diberikan hakim kepada terdakwa pembunuhan yang juga mengindikasikan adanya kekerasan fisik ini perlu menjadi perhatian semua pihak. Oleh sebab itu, Rieke meminta dukungan seluruh elemen masyarakat untuk terus menyuarakan dan mengawal proses peradilan etik terhadap majelis hakim yang memutus perkara Ronald Tannur.
“Termasuk juga rekan-rekan di kampus untuk memfasilitasi, melakukan eksaminasi publik, kita buka ruang eksaminasi di fakultas hukum yang berkenan silahkan untuk menghubungi kami,” ucapnya.
2. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan: Catatan Buruk Penegakan Hukum
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menilai putusan bebas Ronald Tannur menjadi catatan buruk penegakan hukum kasus kekerasan terhadap perempuan. Sekaligus meneguhkan prasangka bahwa hukum tumpul ke atas, namun tajam ke bawah.
"Putusan bebas dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya kepada terdakwa Gregorius Ronald Tannur telah mencederai pemenuhan hak atas keadilan korban dan keluarganya," kata anggota Komnas Perempuan Tiasri Wiandani, saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin, 29 Juli 2024 dikutip dari Antara.
Selain itu, Komnas Perempuan mendukung jaksa penuntut umum (JPU) untuk mengajukan upaya hukum kasasi dan meminta Badan Pengawasan MA (Bawas MA) serta Komisi Yudisial (KY) untuk memberikan perhatian dan pengawasan terhadap kasus ini. Hal ini sebagai upaya pemenuhan hak atas keadilan dan pemulihan korban dan keluarga korban.
3. Tabur Pari Kecam Putusan PN
Sejumlah elemen lembaga bantuan hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi Buruh Peduli Anak Negeri (Tabur Pari) mengecam putusan bebas Ronald Tannur yang dijatuhkan hakim PN Surabaya. Perwakilan Tabur Pari dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Lingga Parama mengatakan putusan bebas Ronald Tannur tidak jauh beda dengan perkara Tragedi Kanjuruhan, yang juga membebaskan dua orang terdakwa.
"Ini bukan sekali dua kali dari pihak pengadilan khususnya, memutuskan di mana yang seharusnya itu bersalah maka dinyatakan bebas. Kemarin kita sudah mengingat bahwa ada Tragedi Kanjuruhan, di mana penyebab utamanya terdakwa dinyatakan tidak bersalah karena ada angin," ujar Lingga kepada wartawan di Kantor LBH Surabaya, Jumat, 26 Juli 2024, dikutip dari Antara.
Lingga mengatakan banyak fakta persidangan yang diabaikan oleh majelis hakim, seperti keterangan para saksi dan juga keterangan ahli dalam sidang tersebut. "Hakim memutuskan kalau korban meninggal dunia karena terlalu banyak mengonsumsi alkohol, padahal dalam tubuh korban terdapat bekas ban mobil," katanya.
4. Guru Besar Unair: Tidak Berdasar Hukum
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Nur Basuki Minarno menyebut putusan vonis hakim Pengadilan Negeri Surabaya tidak berdasar hukum. "Menurut pendapat saya, putusan pengadilan negeri pada fakta-fakta yang ada di dalam persidangan itu tidak berdasar hukum," kata Prof Basuki dihubungi di Surabaya, Kamis, 25 Juli 2024, dikutip dari Antara.
Adapun maksud dari tidak berdasarkan hukum itu, karena ada bukti-bukti dalam persidangan yang disuguhkan oleh jaksa penuntut umum (JPU) telah dikesampingkan majelis hakim. Salah satunya, kata Prof Basuki, mengesampingkan hasil visum et repertum oleh ahli yang mana sebelum memberikan keterangan ahli telah mengangkat sumpah, terikat dengan sumpah.
"Kalau kemudian dikesampingkan seperti itu tanpa ada dasar yang kuat, tentu keliru dalam membuat putusan. Berarti salah dalam penerapan hukumnya," ujarnya.
KHUMAR MAHENDRA | CLARA MARIA TJANDRA DEWI H.
Pilihan Editor: Hakim Bebaskan Ronald Tannur, Pakar Hukum Unpad Bandingkan Kematian Dini dengan Kasus Kopi Sianida
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini