Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Reformasi Sektor Keamanan menyoroti aksi penyerangan terhadap masyarakat sipil di Desa Selamat, Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara, oleh puluhan anggota TNI dari Batalyon Artileri Medan (Armed) 2/105 Kilap Sumagan Kodam I/Bukit Barisan pada Jumat malam, 8 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Insiden yang menyebabkan seorang warga tewas dan belasan lainnya luka-luka itu menambah puluhan aksi terjadi setiap tahunnya. Per Januari hingga November misalnya, berdasarkan catatan Imparsial terjadi 25 peristiwa kekerasan anggota TNI terhadap warga sipil. Bahkan menurut KontraS mencapai 64 kejadian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari Pbhi.or.id, menurut koalisi, langgengnya budaya kekerasan aparat TNI terhadap warga sipil di sejumlah daerah salah satunya disebabkan belum direvisinya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Sistem Peradilan Militer yang berjalan selama ini tidak urung menjadi sarana impunitas bagi aparat TNI yang melakukan kekerasan.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) beleid ini, peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara. Kekhususan inilah yang disebut menjadi sarana kebal hukum anggota TNI.
Padahal, menurut Koalisi Reformasi Sektor Keamanan, reformasi peradilan militer sesungguhnya adalah mandat dari UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal 65 Ayat (2) UU tersebut menyebutkan bahwa prajurit TNI tunduk terhadap peradilan militer dalam hal pelanggaran militer. Sedangkan salam hal pelanggaran pidana umum, mereka kudu tunduk pada peradilan umum.
“Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang,” bunyi pasal tersebut.
Secara aturan, tak ada warga negara yang kebal hukum. Namun, praktiknya berkata lain. Ingat kasus bocah 13 tahun asal Deli Serdang, Mikael Histon Sitanggang, yang tewas setelah dianiaya anggota TNI pada Mei 2024? Bocah SMP itu dihajar karena diduga ikut tawuran. Kepalanya koyak dan lebam di bagian dada dan tangan.
Kejadian yang menimpa Histon bermula dari tawuran remaja di Jalan Pelikan Ujung, Perumnas Mandala, Kecamatan Percutseituan, Kabupaten Deli Serdang, pada 24 Mei 2024. Remaja itu kocar-kacir ketika anggota TNI berseragam datang membubarkan tawuran. Histon yang kebetulan tinggal di dekat lokasi tawuran, ikut lari karena ketakutan.
Apa kata TNI saat itu? Kepala Penerangan Kodam I/Bukit Barisan Kolonel Rico Julyanto Siagian membantah tudingan personelnya terlibat penganiayaan terhadap Histon. Menurut dia, ketika terjadi tawuran, aparat yang membubarkan massa berasal dari Babinkamtibmas, Babinsa, dan Satpol PP.
Padahal sejumlah saksi mata mengatakan kepada LBH Medan, anggota TNI lah yang memukuli Histon berkali-kali hingga remaja itu pingsan. Kawan-kawan Histon baru berani mendekat setelah tentara meninggalkan lokasi. Mereka mengantar Histon pulang, lalu orang tuanya membawanya ke rumah sakit.
Namun, petugas medis tidak bisa menyelamatkan nyawanya karena luka yang diderita amat parah. “Kondisinya kritis, banyak luka di badannya,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Medan Irvan Saputra. “Bagian kepala koyak, lebam di dada dan tangan.”
Mirisnya, pihak TNI menyebut Histon luka-luka karena tergelincir dan jatuh. Kolonel Rico meyakini, luka mengerikan yang diderita Histon adalah akibat jatuh tersebut. “Anak itu jatuh dari rel,” ucap Kolonel Rico
Orang tua Histon, Lenny Damanik, kemudian membuat laporan yang dilayangkan ke Detasemen Polisi Militer l/5 Medan pada keesokan harinya, Sabtu, 28 Mei. Lenny pun sudah diperiksa sebanyak dua kali ditambah keterangan saksi lainnya. Namun, sebulan berselang, kasus tersebut tak kunjung ada penetapan tersangka.
“Hampir sebulan. Atas laporan ini ibu Lenny sudah diperiksa 2 kali, saksi putra diperiksa, tukang kusuk juga diwawancarai Namun kejanggalan timbul lagi dalam kasus ini setlah sebulan enggak ada ditetapkan tersangka,”kata Irvan Saputra selaku kuasa hukum orang tua korban, Jumat, 21 Juni 2024.
Didampingi LBH Medan, pada Selasa, Pada 30 Juli 2024, Lenny akhirnya mengadukan kematian anak bungsunya itu ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Jakarta. Kendati sudah terbang ke Jakarta, keadilan untuk Histon ternyata belum berhasil diwujudkan. Terkini, kabar kasusnya pun tenggelam dari pemberitaan.
Impunitas anggota TNI terhadap hukum bisa terjadi lantaran kasus-kasus yang melibatkan mereka tak bisa diusut peradilan umum. Sebagaimana diamanatkan UU Pengadilan Militer di mana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dilimpahkan kepada pengadilan Militer.
Mirisnya, Sistem Peradilan Pidana Militer (SPPM) di Indonesia cenderung menciptakan impunitas atau minim pertanggungjawaban hukum bagi anggota TNI. Tak sedikit putusan vonis ringan bahkan bebas bagi para terdakwa di peradilan militer. Salah satunya adalah kasus tewasnya Jusni, 34 tahun, pada Februari 2020 silam.
Jusni ditemukan tak bernyawa di pinggir Jalan Edam 1, kawasan Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Dia meregang nyawa usai dikeroyok 11 anggota TNI AD dari Batalyon Perbekalan Angkutan (Yonbekang) 4/Air. Setelah mendapatkan bantuan Kontras dan melalui proses panjang 9 bulan, keluarga Jusni mendapatkan keputusan yang jauh dari rasa keadilan.
Untuk nyawa Jusni, Pengadilan Militer hanya memutus para terdakwa dengan hukuman tertinggi penjara 1 tahun dan 2 bulan dan dua di antaranya dipecat dari dinas militer. Menurut Kontras, bukan hanya melukai keadilan karena impunitas, proses persidangan kasus kematian Jusni pun penuh keganjilan. Hal ini menunjukkan adanya persoalan sistemik dari SPPM di Indonesia.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | MEI LEANDHA