Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, konflik di Pulau Rempang bukan sekadar masalah agraria, melainkan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh negara. "Ini bukan konflik biasa, tetapi kejahatan terhadap kemanusiaan," ujar Isnur saat dihubungi Tempo pada Sabtu, 22 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Isnur menjelaskan, tindakan pengusiran paksa di Pulau Rempang memenuhi unsur-unsur kejahatan kemanusiaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. "Ada unsur pengusiran paksa yang dilakukan secara sistematis dan meluas terhadap penduduk sipil. Ini dilakukan oleh negara melalui kebijakan seperti Peraturan Presiden tentang Proyek Strategis Nasional," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
YLBHI juga menyoroti keterlibatan aparat negara, termasuk polisi dan militer, dalam serangkaian tindakan yang merugikan ribuan warga, termasuk 7.000 kepala keluarga yang telah tinggal secara turun-temurun di Pulau Rempang. Menurut Isnur, keterlibatan instrumen negara ini menunjukkan negara tidak hanya gagal melindungi warganya, bahkan memfasilitasi kekerasan.
"Polisi mendiamkan aksi premanisme di lapangan. Diamnya aparat sama saja dengan menyetujui kekerasan," ujar Isnur.
Tindakan ini, kata Isnur, tidak hanya melanggar hukum, melainkan juga merupakan bagian dari level keterlibatan negara dalam pelanggaran hak asasi manusia berat, sebagaimana diatur dalam Konvensi Anti-Penyiksaan.
Minimnya perlindungan hukum terhadap masyarakat adat dan warga lokal, juga dikritik oleh Isnur. Ketua YLBHI menilai pemerintah membuat kebijakan pembangunan tanpa persetujuan warga. "Jokowi dulu pernah dialogis saat memindahkan warga Pasar Klewer, tetapi hal itu tidak terjadi di Rempang. Yang ada malah pendekatan represif," ujarnya.
YLBHI mendesak pemerintah untuk segera menghentikan seluruh rencana pengusiran paksa dan mencabut proyek investasi di Rempang. Selain itu, YLBHI menyerukan perlunya penyelidikan yang mendalam terhadap peran para pelaku kekerasan, baik di lapangan maupun para aktor intelektual yang memberikan perintah.
"Kapolres hingga pejabat sipil harus diperiksa, bahkan jika perlu, dicopot dari jabatannya," ucapnya. Menurut dia, penegakan hukum yang adil adalah satu-satunya jalan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap negara.
Penyerangan di Pulau Rempang pada 18 Desember 2024 menjadi sorotan publik. Insiden ini dimulai dengan dudaan premanisme yang diduga dilakukan oleh satuan pengamanan dari PT Makmur Elok Graha (MEG). Mereka menyerang warga yang berjaga di posko penolakan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City.
Sejumlah warga mengalami kekerasan fisik, termasuk Ferdiansyah, seorang pelajar SMP, yang dikeroyok hingga mengalami luka-luka. Ayahnya, Edi Junaidi, juga menjadi korban saat berusaha melindungi anaknya.
Abu Bakar, seorang warga lanjut usia, diancam dengan parang saat berada di posko penjagaan. Penyerangan ini menyebabkan kerusakan parah di tiga posko warga dan belasan kendaraan.
Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang mencatat ada delapan korban luka-luka akibat serangan tersebut. Sementara itu, PT MEG membantah terlibat dalam tindakan kekerasan ini, meskipun sejumlah saksi mata dan korban menyebutkan bahwa para pelaku menggunakan kendaraan perusahaan.
Pilihan Editor: Viral Polisi Patwal Kawal Sepasang Kekasih di Puncak, Siapa yang Boleh Pakai Patroli dan Pengawalan?