Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti ada empat persoalan jika revisi UU TNI disahkan. Revisi itu justru akan mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas atau kekebalan hukum anggota TNI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua YLBHI Muhammad Isnur mengatakan pembahasan rancangan UU TNI akan menambah persoalan penumpukan perwira non job dan penempatan perwira aktif di jabatan sipil, karena dalam draft revisi terdapat perpanjangan masa pensiun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Draft revisi Pasal 71, usia pensiunnya diperpanjang menjadi paling lama 62 tahun. Revisi ini, jika disahkan justru akan menambah persoalan yang tidak pernah diselesaikan," kata Isnur dalam keterangan resminya, Ahad, 16 Maret 2025.
Persoalan kedua, kata Isnur, perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif, mengancam supremasi sipil, menggerus profesionalisme dan independensi TNI. Dalam draft Pasal 47, TNI aktif yang bisa mengisi jabatan sipil ditambah jumlahnya menjadi 16.
"Padahal, sejalan dengan reformasi TNI, anggota TNI mengisi jabatan di wilayah sipil memang mungkinkan namun dengan syarat tegas dibatasi untuk 10 lembaga yang relevan atau sudah mengundurkan diri atau pensiun," katanya.
Isnur menambahkan, RUU TNI ini juga membuka ruang ikut campur ke wilayah politik keamanan negara, karena TNI diberikan wewenang untuk dapat mengisi posisi Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan Negara. "Pintu yang dibuka ini dapat memberi jalan luas militer untuk mengintervensi urusan politik dalam negeri dan menjadi ancaman bagi kebebasan sipil dan demokrasi dengan alasan keamanan negara," kata Isnur.
Persoalan selanjutnya, kata Isnur, TNI bisa menganulir suara rakyat melalui DPR dalam pelaksanaan operasi militer selain perang. Operasi militer selain perang dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tidak diatur secara jelas mekanismenya, di dalam rancangan yang baru terlihat semakin diperjelas.
"Pasal 7 RUU TNI mengukuhkan kekebalan TNI dalam melakukan operasi militer non perang tanpa harus melalui mekanisme check and balances oleh lembaga yang merepresentasikan kedaulatan rakyat yakni DPR dalam pengambilan keputusan politik negara," kata Isnur.
Isnur menduga, munculnya gagasan revisi UU TNI adalah upaya panjang penguatan kembalinya dwi fungsi ABRI dimana tentara menjadi aktor politik dan bisnis pasca Reformasi. Untuk itu, YLBHI meminta DPR dan Presiden segera menghentikan pembahasan revisi UU TNI yang tidak sejalan dengan agenda reformasi TNI dan justru akan melegitimasi bangkitnya praktik dwifungsi ABRI dan membawa Indonesia ke rezim Neo Orde Baru.
"DPR dan Presiden harus terbuka dan memastikan ruang partisipasi bermakna masyarakat dan memastikan revisi TNI dilakukan untuk memperkuat agenda reformasi TNI dalam kerangka tegaknya supremasi sipil, konstitusi, demokrasi dan perlindungan HAM," katanya.
YLBHI juga mengajak masyarakat lndonesia untuk bersuara lantang menuntut DPR dan Presiden untuk melaksanakan tanggungjawabnya dengan benar menjaga amanat konstitusi menghapuskan dwi fungsi ABRI dan melanjutkan agenda reformasi TNI yang mangkrak.
Pilihan Editor: Acara Syukuran Bupati Jayawijaya Berakhir Ricuh, Enam Kendaraan Polisi Dibakar