Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pasar Penegakan Hukum

11 Maret 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muhammad Chatib Basri*) *)Kandidat doktor ekonomi, Australian National University, Canberra AKHIR-AKHIR ini kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menyangkut keluarga Soeharto dan kroninya kembali dibuka. Hanya, sejauh ini kita belum tahu bagaimana kelanjutannya. Umumnya, orang cenderung pesimistis karena kasus KKN di Indonesia seperti sebuah buku yang tak usai ditulis. Potongan cerita dikoleksi, dikumpulkan, diusut, diperiksa, tapi tak ada hasilnya. Begitu banyak KKN terjadi, tapi begitu sedikit yang ditindak. Lalu, kita dipaksa menerima argumen: tak ditemukan bukti korupsi yang kuat, walau uang negara yang hilang sangat besar. Kita menyaksikan pelbagai kasus yang ganjil dalam penegakan hukum. Dalam kasus yang diajukan BPPN, misalnya, sejak tahun 1998 sampai akhir 1999, hanya seperlima dari 130 kasus yang memberikan keadilan bagi kreditor. Selebihnya, kemenangan diambil oleh pihak yang berutang. Dalam kasus KKN, kroni Soeharto tetap selamat?atau punya kesempatan lari, seperti Tommy. Maka, orang pun memandang hukum dengan sinis, sebuah komoditifikasi ekonomi dengan topeng keadilan. Saya jadi teringat Gary Becker dan George Stigler, dua pemenang Nobel Ekonomi dari Universitas Chicago. Mereka pernah menulis risalah ekonomi politik yang amat memikat soal "Pasar Penegakan hukum" (The Market in Enforcement). Menurut mereka, enforcement adalah sesuatu yang memiliki nilai ekonomi. Ia mempunyai kekuasaan untuk menentukan nasib seseorang: dihukum atau tidak. Karena itu, ia bisa diperdagangkan dan memiliki pasar. Dan di dalam pasar, ada permintaan dan penawaran?termasuk permintaan untuk terhindar dari hukuman. Implikasinya, tak aneh jika koruptor bebas dari hukuman bila ia mampu menyuap atau mengintimidasi penegak hukum. Inilah yang menjelaskan mengapa penegakan hukum cenderung lebih efektif untuk mereka yang kecil, lemah, dan tak punya uang. Peradilan memang punya banyak kecurangan, uang, dan air mata. Kita tentu tak berharap itu terjadi. Kita berharap adanya penegak hukum yang berkualitas dan jujur. Tapi, Becker dan Stigler mungkin realistis: penegak hukum juga makhluk yang mementingkan diri sendiri (homo economicus). Kita tak bisa terus menunggu datangnya lentera moral. Karena itu, mereka menganjurkan dua solusi. Pertama, memberikan insentif kepada penegak hukum agar menjalankan tugasnya dengan baik. Caranya, naikkanlah gaji. Dengan demikian, insentif untuk menerima suap menjadi lebih kecil. Sekilas hal ini terlihat realistis. Sayangnya, di negeri ini korupsi justru terjadi pada mereka yang penghasilannya relatif tinggi. Maka, menaikkan gaji belum tentu efektif. Kedua, memberikan insentif kepada penegak hukum untuk menyelesaikan kasus itu dengan melegalisasi penyuapan untuk pemasukan negara. Efektivitas penegakan hukum dapat ditingkatkan jika hukuman yang diberikan adalah dalam bentuk denda dan bukan penjara. Besarnya denda tentu harus dibuat seberat mungkin. Sebagai ilustrasi, sebutlah angka fiktif Rp X triliun. Di sini para kroni atau koruptor memiliki ruang untuk menghindari hukum jika ia mau menyuap penegak hukum. Nilai suap yang bersedia dibayarkan akan berkisar dari satu rupiah sampai Rp X triliun. Jika ia menyuap Rp X triliun, artinya ia membayar jumlah suap yang sama dengan jumlah denda. Pada harga ini, tidak ada gunanya menyuap. Bagi koruptor, pilihan yang tersedia hanya membayar denda atau membayar suap, yang akhirnya bisa dialihkan buat negara. Soalnya, bagaimana mengalihkan suap menjadi pemasukan negara? Ini bisa dilakukan jika penegak hukum diperlakukan seperti private enforcer (penegak hukum swasta), yakni pemerintah menyewa mereka untuk menyelesaikan kasus ini dengan membayar menurut persentase dari nilai kasusnya. Besarnya dapat dinegosiasikan. Yang jelas, semakin tinggi nilai kasusnya, semakin besar penerimaan negara dan penegak hukum. Di sini ada beberapa keuntungan yang diperoleh. Yang pertama, insentif ekonomi bagi si penegak hukum untuk menyelesaikan kasus KKN. Yang kedua, adanya pemasukan bagi negara, baik melalui denda maupun suap yang ditransfer ke negara. Yang terakhir, adanya disinsentif untuk menyuap, karena mahalnya nilai suap yang harus dibayar si koruptor. Penyuapan akan menguras sebagian besar harta mereka. Pollinsky dan Shavell dari Universitas Harvard dalam risalahnya yang terbit tahun 2000, Corruption and Optimal Law Enforcement, malah menganjurkan agar denda yang dituntut sebaiknya sebesar perkiraan total kekayaan pelaku KKN. Dengan begitu, biaya penyuapan menjadi sangat mahal dan mungkin menjadi tidak feasible. Memang tetap ada risiko, tindakan ini hanya akan memperkaya penegak hukum dan melegalisasi korupsi. Ini benar. Saya menyadari solusi yang terbaik adalah menegakkan supremasi hukum dan bukan menjadikan proses hukum sebagai sebuah komoditi. Tetapi, melihat efektivitasnya yang rendah dan besarnya kerugian yang diderita negara, alternatif melegalkan suap bisa jadi sebuah solusi jangka pendek untuk kasus KKN kroni Soeharto, yang berkuasa dan memiliki dana begitu banyak. Becker dan Stigler, lebih jauh lagi, malah memberikan solusi untuk menghindari terjadinya konsentrasi kekayaan di pihak penegak hukum: privatisasi penegakan hukum untuk kejahatan ekonomi. Dengan begitu, mereka yang memiliki keahlian hukum, seperti pengacara, penyidik swasta, atau konsultan hukum, dapat terlibat sehingga terjadi kompetisi. Akibatnya, fee yang harus dibayar pemerintah bisa menjadi lebih murah. Becker dan Stigler mungkin berlebihan. Saya tak membayangkan ini berlaku di Indonesia. Tetapi, bila ini terjadi, dengan nilai proyek begitu besar, saya khawatir jangan-jangan pengacara keluarga Soeharto pun akan lebih tertarik dan berminat untuk menjadi jaksa yang memeriksa keluarga Soeharto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus