Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

’Dendam’ Dinasti Bhutto

7 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa saat setelah ledakan itu, 27 Desember 2007, dari rumah sakit umum Rawalpindi bergegas seorang lelaki setengah baya, aktivis Partai Rakyat Pakistan (PPP), terisak-isak, suaranya parau memaklumkan kematian ketua umum partai: Bibi has died.

Sejak itu kematian Benazir Bhutto menjadi komoditas politik. PPP bersama-sama kelompok oposisi lainnya berkeras agar pemilu diselenggarakan sesuai dengan rencana semula, pada 8 Januari. Dalam pikiran para politikus PPP, bayangan Benazir Bhutto akan mengiringi langkah pemilih ke bilik suara. Logika yang dipercaya benar: semakin pendek jarak antara kematian itu dan hari pencoblosan, semakin berlipat ganda suara PPP.

Mereka sadar bahwa dalam dua dekade belakangan Pakistan sanggup mengatasi hal-hal tak terduga dan rakyat cepat kembali ke kesibukan sehari-hari. Pada 1990-an, Presiden Zia ul-Haq bersama dua lusin petinggi militer tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat yang nyata-nyata ditujukan buat membunuhnya. Dan seperti dikomando, para pengamat sekonyong-konyong menyuarakan hipotesis seragam: Pakistan akan terguncang keras. Sesuatu yang tak pernah terjadi.

Belajar dari kasus itu, para politikus oposisi dan PPP kemudian berusaha menjadikan 27 Desember 2007, saat Benazir Bhutto mangkat, menjadi satu titik menuju sebuah perubahan besar di Pakistan. Usaha yang sangat beralasan mengingat momentum besar yang tercipta setelah ”bintang” pemilu Pakistan 8 Januari itu tewas. ”Demokrasi adalah balas dendam terbaik,” ujar Bilawal, penerus Benazir.

Kini, di Pakistan yang tengah menanti perubahan besar itu, tak hanya ada pemilu yang dimundurkan pemerintah selama enam minggu menjadi 18 Februari. Investigasi pembunuhan Benazir Bhutto itu pun, apa boleh buat, cepat menjadi komoditas politik. Pemerintah menjual keseriusannya: membuka diri terhadap investigator internasional, mengundang Dinas Rahasia Inggris Scotland Yard membantu Pakistan untuk menyingkap siapa di balik pembantaian ini.

Ada sepotong kepala yang dipastikan oleh Menteri Dalam Negeri Pakistan sebagai milik pelaku bom bunuh diri, dalam sebuah konferensi pers pekan lalu. Pemerintahan militer itu yakin kepala berkumis tipis dan mata terpejam itu milik anggota kelompok Lashkar-e-Jhangvi, kelompok yang mempunyai hubungan istimewa dengan Al-Qaidah dan Taliban. Pemerintah menghitung telah 19 kali kelompok ini terlibat berbagai teror yang menewaskan banyak korban sipil seraya menyodorkan sebuah bukti yang hanya mengisyaratkan secara samar-samar. Bukti itu berupa rekaman pembicaraan telepon yang lebih banyak memperlihatkan bahwa Pervez Musharraf bukan orang yang berada di balik pembunuhan itu ketimbang membuktikan keterlibatan Lashkar-e-Jhangvi.

Satu taktik lama. Setelah tragedi 9/11, di negeri dengan banyak urusan politik ditangani dinas intelijen itu, menyebut keterlibatan Al-Qaidah sering kali sama artinya dengan mem-peti-es-kan suatu penyidikan. Dan menyadari bahwa taktiknya kali ini cepat terbaca, pemerintah Pakistan meralat keterangan pertamanya: tak lagi mengatakan bahwa personel kelompok militan itu yang menembakkan pistol tiga kali ke arah leher dan kepala Benazir, lalu meledakkan dirinya. Menurut versi baru pemerintah, Benazir menemui ajalnya bukan karena hantaman bom ataupun peluru, melainkan akibat kepalanya membentur bagian terbuka dari mobil tahan pelurunya saat ia terburu-buru menghindari tembakan. Dengan kata lain, tidak ada orang yang bisa disalahkan atas tewasnya sang kandidat—tidak juga pemerintah—kecuali Benazir Bhutto seorang.

Apa pun, yang terang, pemerintah dengan legitimasi yang mulai karam ini harus berusaha keras meyakinkan khalayak pendengarnya. Sentimen publik yang meluas menunjukkan pemerintah Musharraf dianggap terlibat dalam aksi jahanam itu. Ada sebuah ramalan kasar mengenai hasil pemilu yang berangkat dari jajak pendapat yang belum lama ini disebarkan oleh kelompok yang akrab dengan Musharraf. Dua partai besar akan mengantongi suara paling banyak: PPP dan Partai Liga Muslim-Q, partainya para veteran militer yang mendukung Musharraf. Perolehan suara mereka hampir sama banyak, dan satu-satunya jalan keluar untuk membangun pemerintahan yang langgeng adalah koalisi antara keduanya.

Namun, seperti diketahui, koalisi Musharraf-Bhutto yang disponsori Amerika Serikat itu bahkan pecah jauh hari sebelum bulan madu. Dan bila logika politik sederhana ini dilanjutkan, maka tampaklah bahwa tercoretnya Benazir Bhutto dari peta politik Pakistan akan menguntungkan pesaing utamanya: Pervez Musharraf. Memang, belum ada yang membuktikan bahwa Musharraf berpandangan sesederhana ini, tapi kecurigaan massa anti-Musharraf kini terus menguat manakala mereka mendapati bahwa bukti-bukti di tempat kejadian pembunuhan itu hampir tak tersisa. Beberapa jam setelah penembakan itu, petugas kebersihan datang, lalu hilanglah genangan darah, selongsong peluru, serpihan bom dari tempat itu.

Entah apa yang kelak dapat disidik Scotland Yard selain potongan kepala berkumis tipis dan matanya terpejam itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus