Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada umur 26, Andries Teeuw naik kapal pos, mengarungi laut, melintasi Terusan Suez, dan sampai di pelabuhan Sabang. Itu tahun 1947. Perjalanan yang tak menjanjikan ketenteraman.
Hanya dua tahun sebelumnya Indonesia menyatakan diri merdeka. Belanda, yang merasa dibangkang, kemudian mengirim pasukan untuk menaklukkannya kembali. Tapi Teeuw, kelahiran Gorinchem, Holland Selatan, datang sendirian, meskipun dengan dana pemerintah untuk riset di Lombok. Ia baru setahun beroleh gelar doktor dari Universitas Utrecht. Entah bagaimana seorang ilmuwan yang begitu muda melintasi ketegangan hari-hari itu.
Saya hanya pernah membaca, dari Sabang ia menulis sepucuk surat kepada istrinya: ”Seakan-akan saya telah berkenalan dengan dunia ini.”
Ia memang telah kenal bagian dunia ini—secara tak langsung. Ia belajar filologi; disertasinya terjemahan atas puisi Bhomântaka, naskah tua dari Jawa Timur. Bagi Teeuw, tak mudah memahami sepenuhnya teks bahasa Jawa Kuno ini, tapi satu hal yang terpaut pada filologi ada dalam dirinya: filologi, yang menelaah bahasa dalam pautannya dengan sastra dan sejarah, berasal dari bahasa Yunani yang berarti ”cinta kepada sastra dan pengetahuan”.
Tanpa cinta kepada sastra dan pengetahuan, Teeuw tak akan berjalan sejauh itu—melintasi dua satuan geografis, dua kubu ketegangan politik, dua posisi dalam proses pengetahuan: ia dapatkan sumber telaahnya dari Indonesia, ia berikan kemudian hasil telaahnya kepada Indonesia. Ia seorang Belanda; ia pro-Indonesia.
Beberapa tahun setelah Bhomântaka, ia lebih dikenal sebagai penelaah dan kritikus sastra Indonesia modern. Teeuw mula-mula tak merasa nyaman dengan label itu. Saya bertemu dengan dia pertama kali di musim dingin awal 1967. Waktu itu saya tinggal di Bruges, Belgia, dan datang naik kereta api ke Leiden. Ia menjemput saya di stasiun—dengan sikap rendah dan murah hati yang tak terduga dari seorang guru besar kepada seorang mahasiswa asing yang cuma dikenalnya lewat satu-dua sajak. Ia ramah, dengan kehangatan yang pelan datang.
Istrinya, yang kemudian akan disebut ”Ibu Teeuw” dengan akrab oleh semua kenalannya dari Indonesia, menyajikan teh panas dan biskuit.
”Saya sebenarnya bukan kritikus,” ia mengatakan, di ruang tamu rumahnya yang bersahaja dan penuh buku. ”Yang saya lakukan hanya mengisi kekosongan.”
Waktu itu tampaknya demikian. Ketika Teeuw mengajar di Universitas Indonesia di akhir 1940-an dan awal 1950-an, terbit bukunya, Voltooid Voorspel. Buku ini kemudian diindonesiakan jadi Pokok dan Tokoh (judul yang kemudian di-”pinjam” Tempo) pada 1952 dan 1955. Isinya lebih berupa pengantar tentang para sastrawan Indonesia modern dan karya-karyanya. Pendekatannya tak bisa dikatakan baru. Dalam kritik sastra waktu itu, ”pokok” dianggap terkait erat dengan ”tokoh”, satu hal yang digugat dalam teori sastra kemudian. Tapi tujuan Teeuw memang hanya jadi pemandu bagi mereka yang ingin mulai belajar. Dan sebab itu pula—di samping ia tahu menempatkan diri sebagai ”orang luar”—Teeuw, seperti kata penyair dan kritikus Sapardi Djoko Damono, cenderung ”berhati-hati”.
Bagaimanapun terbatasnya, Pokok dan Tokoh besar sekali pengaruhnya bagi sastrawan Indonesia di tahun 1950-an. Waktu itu seseorang seakan-akan baru ”dibaptis” setelah dibahas Teeuw. Dalam hal ini ia sejajar dengan H.B. Jassin, yang menerbitkan tiga jilid kumpulan Kritik & Esei. Tapi Teeuw punya kelebihan. Ia pakar filologi yang kenal sastra klasik Melayu dan Jawa dengan mendalam. Dengan demikian ia melihat dengan tepat bahwa betapapun ”baru”-nya ungkapan Chairil Anwar dan para penyair sebelum dan sesudahnya, bahasa Indonesia tak lahir dari ruang linguistik yang hampa.
Itu sebabnya Teeuw dapat melihat apa yang istimewa pada puisi Amir Hamzah. Sementara Jassin menunjuk rapatnya penyair Buah Rindu dengan tradisi Melayu, Teeuw justru melihat ada dalam karya Amir sesuatu yang mempesona: sebuah energi baru. Puisinya mengatasi keterbatasan prosodi syair lama. Dalam bahasa Melayu, tak ada rima yang bertekanan seperti dalam bahasa Jermanik. Syair Melayu juga tak amat beragam bunyi vokalnya (hanya a, e, i, o, u, ê), sementara rima yang terbentuk dari itu, dalam gabungan dengan konsonan, tak seluas bahasa Jerman, Inggris, apalagi Rusia. Menghadapi keterbatasan itu, menurut Teeuw, Amir Hamzah menciptakan puisi yang mengejutkan dan kaya karena bunyi asonansi, aliterasi, dan rima yang mendadak di tengah-tengah.
Ketajaman (dan juga kepekaan) menangkap gerak bahasa yang seperti itulah yang sampai sekarang belum dilanjutkan, apalagi ditandingi, oleh telaah sastra di perguruan tinggi Indonesia. Dari apa yang saya contohkan tampak pula bahwa telaah Teeuw, yang kemudian makin lama makin dipermatang oleh teori-teori sastra mutakhir (Barth, Culler, Derrida), tetap menggali sumbernya bukan dari sastra Eropa, melainkan sastra Nusantara. Dengan lancar, dalam satu risalah, ia akan mengambil contoh dari sajak Jawa Kuno Hariwangsa dan puisi Sutardji Calzoum Bachri. Dalam menelaah Hikayat Hang Tuah, Teeuw membedakan diri dari penelaah lain karena ia tak memakai ukuran kesejarahan ”Barat”: ia melihat kisah itu sebagaimana orang Melayu memandang Hang Tuah sejak dulu: sebagai karya sastra yang asyik dinikmati.
Itu sebabnya sastra penting, meski sering disepelekan dalam zaman yang menyisihkan keasyikan. Manusia, Teeuw mengingatkan kita, juga homo fabulans: makhluk yang bercerita, yang bersastra—dengan bahasa dan imajinasi yang ganjil, tak pasti, tak mandek, tapi dengan demikian selalu baru dan hidup kembali berkali-kali.
Juga ketika sang kritikus pergi, 18 Mei 2012.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo