Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ketimpangan kinerja terjadi di antara sesama perusahaan negara.
Banyak perusahaan BUMN terjerumus dalam jebakan utang.
Semua jerih payah akan sia-sia bila BUMN tetap menjadi sapi perahan kepentingan politik.
Langkah Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir membubarkan perusahaan pelat merah yang merugi merupakan sebuah keniscayaan. Ketimbang terus-menerus menjadi beban, perusahaan tersebut memang sudah selayaknya disingkirkan. Namun penutupan perusahaan tersebut harus dibarengi dengan pembenahan tata kelola perusahaan di seluruh BUMN lainnya.
Beberapa hari lalu, Erick mengumumkan pembubaran tiga perusahaan yang sudah lama tak beroperasi, yakni PT Industri Gelas, PT Industri Sandang Nusantara, dan PT Kertas Kraft Aceh. Likuidasi akan berlanjut pada perusahaan negara lainnya, seperti Merpati Nusantara Airlines dan PT Istaka Karya. Keputusan tepat ini merupakan bagian dari ikhtiar pemerintah merampingkan badan usaha milik negara.
Akibat kerugian dan tumpukan utang, dividen dan manfaat BUMN bagi publik tak sebanding dengan kerepotan pemerintah mempertahankan dan mengelolanya. Pemerintah sempat memproyeksikan penerimaan dividen dari perusahaan pelat merah tahun ini sebesar Rp 26,13 triliun. Angka tersebut masih di bawah kucuran penyertaan modal negara tahun ini kepada sejumlah perusahaan pelat merah sebesar Rp 38,47 triliun.
Bukan rahasia lagi bila ketimpangan kinerja terjadi di antara sesama perusahaan negara. Dari sekian banyak perusahaan pelat merah, hanya segelintir yang benar-benar mencatatkan kinerja cemerlang. Sebagian besar bolak-balik menanggung kerugian. Menteri Keuangan Sri Mulyani pada akhir tahun lalu bahkan sempat mengungkapkan bahwa 68 persen BUMN penerima suntikan modal negara pada 2020 berpotensi bangkrut.
Banyak perusahaan BUMN terjerumus dalam jebakan utang karena mesti mengerjakan proyek ambisius pemerintah. Padahal proyek penugasan itu banyak yang tak layak secara komersial. Studi kelayakan yang asal-asalan juga membuat biaya pembangunan meleset dari rencana awal.
Pemerintah sudah berkali-kali mengucurkan penyertaan modal negara, tapi hal itu tak kunjung menjadi solusi. Anggaran negara menguap begitu saja karena tersedot untuk gali lubang tutup utang serta menambal beban operasi—bukan untuk mendorong belanja modal atau pengeluaran lain yang sifatnya produktif. Dalam kasus kereta cepat Jakarta-Bandung, pemerintah harus ikut menalangi biaya proyek lewat APBN.
Lilitan utang dan kerugian perusahaan pelat merah itu mencerminkan lemahnya pengelolaan korporasi, dari permodalan, manajerial, operasional, hingga tujuan mulia keberadaan perusahaan milik negara itu sendiri, yakni sebagai lokomotif pertumbuhan. Di pasar yang semakin terbuka dan kompetitif, banyak BUMN justru megap-megap menghadapi persaingan. Salah satunya seperti yang dialami Garuda Indonesia.
Karena itu, sudah sepantasnya perusahaan negara yang merugi segera dilepas atau dibubarkan ketimbang menjadi beban berkepanjangan, sebelum semuanya terlambat. Kasus Merpati Airlines semestinya menjadi pelajaran. Setelah tidak mampu beroperasi, Merpati tak laku dijual karena tidak ada satu pun investor yang meliriknya.
Langkah Erick Thohir menyusun peta jalan perampingan BUMN sudah tepat. Dari 118 perusahaan pelat merah, kini tercatat ada 41 BUMN. Pemerintah berencana mendorong konsolidasi BUMN menjadi 37 perusahaan hingga 2024. Dengan cara ini, perusahaan bisa lebih lincah bergerak demi menggenjot kinerja.
Namun penutupan maupun perampingan perusahaan pelat merah saja tidaklah cukup. Semua jerih payah akan sia-sia bila BUMN tetap menjadi sapi perahan kepentingan politik para elite. Bukannya menjadi lokomotif pertumbuhan, BUMN menjadi beban karena turut menyuburkan korupsi dan iklim bisnis yang tak sehat. Banyak prinsip tata kelola perusahaan diabaikan.
Erick juga tampak tidak konsisten memagari BUMN dari rongrongan kepentingan politik dari lingkaran kekuasaan. Tak mengherankan bila bongkar-pasang direksi dan komisaris masih didasari kedekatan serta pertimbangan politik, bukan kompetensi dan integritas.
Pengabaian terhadap prinsip tata kelola perusahaan yang baik kontradiktif dengan nilai-nilai korporasi profesional. Tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas, perusahaan pelat merah yang kinerjanya cemerlang lambat laun bisa terpuruk ke lubang yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo