Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Émile

22 Februari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagaimana cara menodai agama?

11 Juni 1762, di halaman Gedung Mahkamah Pengadilan, Paris, sebuah buku dibakar. Karya itu berbentuk novel, tapi sebenarnya ditulis untuk membahas soal pendidikan anak. Dengan Émile itu Jean-Jacques Rousseau dinilai telah bersalah karena ”meng­anggap semua agama sama-sama baik”.

Seorang pejabat berpidato di depan Parlemen untuk melontarkan tuduhan itu; dalam buku, ujarnya, Rousseau telah ”berani mencoba menghancurkan kebenaran Kitab Suci dan nubuatnya”. Ia ”mengejek dan menghujat agama Kristen….”

Maka Parlemen memutuskan agar bukan saja buku itu dirobek dan dibakar, tapi juga Rousseau ditangkap.

Sang pengarang melarikan diri ke Swiss. Dua hari sebelum bukunya dibakar, Rousseau sudah meninggalkan Prancis dengan bantuan teman-temannya. Setiba di wilayah Bern ia turun dari kereta, bersujud dan mencium tanah: ”Yang Maha Tinggi, pelindung kebajikan, terpujilah tuan; hamba menyentuh sebuah negeri ­kebebasan!”

Tapi betapa cepatnya ia berharap. Ia menetap sebulan lamanya di rumah seorang teman di wilayah Bern itu. Ia berpikir untuk pindah ke Jenewa. Tapi di kota yang dikuasai 25 aristokrat administrator itu disebut ”Dewan Yang Dua Puluh Lima”—karya Rousseau juga dinyatakan dilarang. Émile dan Du contrat social dianggap ”penuh dengan hujatan dan cercaan terhadap agama”.

Dan sebagaimana Parlemen Paris yang menyuarakan kuasa Katolik mengutuknya, di Jenewa penguasa kota yang Protestan Calvinis itu juga memerin­tahkan agar buah pikiran Rousseau itu dibasmi. Pengarangnya, yang sesungguhnya seorang warga Jenewa, harus ditangkap.

Rousseau pun tetap tinggal di wilayah Bern. Tapi tak lama. Sebulan kemudian Senat wilayah itu memerintahkannya untuk pergi. Rousseau pun pindah ke sebuah dusun di gunung-gunung Swiss, Môtiers-Travers.

Ia ingin hidup damai di sini, tak hendak menulis apa-apa lagi kecuali surat-menyurat. Ia bahkan masuk ke dalam jemaat Protestan setempat. Ia menyambung hidupnya dengan jadi penyalin partitur musik dan menyulam. Seraya demikian ia tampil tak biasa: ia memilih berpakaian Armenia, juga ketika ke gereja.

Tak jelas apakah orang percaya betul kepada Rousseau sebagai seorang Kristen yang alim. Suatu hari ia me­ngunjungi seorang aristokrat. Tuan rumahnya menyambutnya dengan ucapan, ”Assalamualaikum.” Para pastor Calvinis di ibu kota daerah itu telah memaklumkan pe­ngarang Émile sebagai ”orang murtad”.

Di saat itu pun gereja Protestan dan Katolik bertemu menghadapinya. Agustus 1762, Uskup Agung Paris me­nulis 29 halaman kutukan terhadap Émile.

Tapi benarkah buku itu menodai agama?

Dalam prakatanya, Rousseau mengatakan, tujuan Émile adalah untuk menawarkan sebuah sistem pendidik­an, buat jadi pertimbangan para aulia, bukan untuk para ayah dan ibu. Seperti Plato, Rousseau ingin memisahkan anak dari pengaruh orang tua yang datang dari generasi yang salah didik. Tapi pendekatannya tak radikal. Seraya meyakini—seperti kalimatnya yang termasyhur dalam Du contrat social—bahwa ”manusia dilahirkan merdeka dan di mana-mana ia terikat rantai”dalam Émile Rousseau menunjukkan jalan agar manusia bisa menerima ikatan sosial dengan bebas.

Di situlah peran agama. Ketika si Émile, tokoh anak yang jadi pusat cerita ini, berumur 18, ia baru mulai bisa diberi pendidikan agama. Rousseau mengecam atheisme. Dalam novel ini ada seorang padri dusun, vicaire savoyard, dari pegunungan Alpen, Italia, yang sebenarnya meragukan wahyu para nabi dan mukjizat para santo.

Tapi padri dusun itu tak mau menuturkan keraguannya kepada jemaat. Dengan taat ia jalani ritual Gereja Roma. Sementara itu, ia terus berbuat yang sebaik-baik­nya kepada orang lain. Ia menolak doa yang meminta-minta; doa baginya adalah lagu puja bagi Tuhan dan ekspresi kita yang merunduk pada iradat-Nya. Sang padri tahu, meskipun agama melahirkan kekejaman dan represi, manfa­atnya lebih besar. Agama adalah sebuah karunia.

Tapi justru sebab itu tak perlu kita risau melihat perpecahan dalam agama Kristen. Semua agama baik sepanjang ia memperbaiki fi’il manusia dan merawat harapan. Sungguh menggelikan untuk menganggap iman, sesembahan, dan kitab suci yang berbeda dari agama kita sebagai hal yang ”terkutuk”. Kata sang padri: ”Seandainya hanya ada satu agama saja di muka bumi, dan semua yang di luar pengaruhnya akan dijatuhi hukuman abadi maka Tuhan dari agama itu akan merupakan Tuhan yang paling kejam dan tak adil.”

Di sini kita temukan kembali, dalam ekspresi yang le­bih lunak, pandangannya dalam Du contrat social.

Dalam uraiannya tentang negara imajiner yang diidamkannya, Rousseau menyatakan diri yakin akan kepercayaan dasar Kristen—dan ia tak berkeberatan bila ada agama yang jadi ”dogma positif” bagi masyarakat. Tapi ia hanya akan mentolerir agama yang menunjukkan toleransi kepada agama lain. Bagi Rousseau, siapa yang mengatakan ”di luar Gereja tak ada penyelamatan” siapa yang mempersetankan agama lain—harus dibuang ke luar dari negerinya.

Dibaca di abad ke-21, apa yang dicita-citakan Rousseau tak mengejutkan lagi; kini makin tampak bagaimana tak adilnya (dan juga tak mudahnya) manusia membersihkan sebuah negeri dari perbedaan iman dan tafsir. Di abad ke-18, ketika ia hidup sebagai orang yang terusir dari kota ke kota, pendirian Rousseau memang sebuah pengganggu bagi mereka yang bertopang pada iman sebagai kekuasaan.

Tapi berangsur-angsur sang pengganggu itu makin tampak tak bisa lagi dibantah. Makin tampak pula bukan dia yang menodai agama, melainkan lawan-lawannya.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus