Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENCARI dermawan yang mau menghibahkan harta miliaran barangkali sama sulitnya dengan mencari harimau di Pulau Jawa. Tapi tidak bagi Hadi Poernomo. Selama lima tahun menjabat direktur jenderal pajak, sampai April 2006, Hadi yang sekarang menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan menerima banyak “rezeki”. Ia menerima hadiah Mercedes, Cherokee, tanah senilai Rp 4,5 miliar di Ciputat, tanah dan bangunan di Bekasi, serta apartemen di Kuningan dan Senayan, Jakarta. Bukan main “kebaikan” hati para penyumbang itu.
Harta hibah Hadi Poernomo per Juni 2006 itu barangkali masih bertambah dalam lis kekayaan Hadi, sebagai Ketua BPK, yang diserahkan dua pekan lalu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Harta hibah Hadi pada 2006, yang jumlahnya lebih besar dibanding harta hasil usaha sendiri dan harta warisan, semestinya memang diusut ketika itu.
Sayang, saat itu urusan harta hibah Hadi Poernomo ini tidak dituntaskan. KPK yang kemudian mengambil alih tugas Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara waktu itu merasa tak memiliki kewenangan mengusut, apalagi memberikan sanksi tegas, bila laporan kekayaan harta pejabat negara tidak diisi secara benar.
Sikap pemimpin KPK periode pertama itu mencerminkan ambiguitas aturan hukum kita. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara mempunyai kewenangan besar soal laporan harta pejabat negara ini. Komisi Pemeriksa bisa melakukan penyelidikan bila ditemukan petunjuk terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bahkan, bila dianggap perlu, Komisi Pemeriksa dibenarkan meminta bukti kepemilikan harta yang dicurigai bermasalah. Tak berhenti sampai di situ. Komisi Pemeriksa bahkan berwenang meminta pejabat membuktikan dugaan bahwa hartanya tidak diperoleh dengan melawan hukum.
Setelah tugas Komisi Pemeriksa diambil alih KPK, yang bekerja menurut UU Nomor 30 Tahun 2002, berbagai kewenangan Komisi Pemeriksa tidak disebutkan dalam undang-undang komisi antikorupsi itu. Tentang laporan harta pejabat hanya disebutkan KPK melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara.
Sama sekali tidak disebutkan soal sanksi pidana bagi pejabat yang terlambat menyerahkan laporan atau sengaja mengisi data kekayaan dengan tak benar. Artinya, kewenangan Komisi Pemeriksa dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tidak otomatis menjadi kewenangan KPK. Aturan lain, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, hanya memerintahkan pejabat negara segera menyerahkan laporan harta kekayaan kepada KPK tanpa menyebut sanksi.
Disarankan KPK periode sekarang ini menafsirkan kewenangannya secara luas terhadap kata “pemeriksaan” laporan harta pejabat dalam Pasal 13 UU Nomor 30 Tahun 2002. Memeriksa bisa diartikan mencari kejelasan dan melakukan verifikasi. KPK juga mesti secara maksimal memfungsikan organ internalnya, subbidang pendaftaran dan pemeriksaan laporan harta kekayaan penyelenggara negara, sebagai semacam auditor. Bila ditemukan kejanggalan atau petunjuk terjadinya korupsi, tentu proses penyelidikan bisa dilakukan, termasuk terhadap Hadi Poernomo.
Sebaiknya UU Nomor 30 Tahun 2002 segera diamendemen. Kewenangan Komisi Pemeriksa dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 seharusnya dilekatkan kepada KPK yang menggantikannya. Termasuk, kewenangan meminta pembuktian terbalik harta pejabat yang dicurigai berasal dari korupsi. Ini penting agar kita tak selalu curiga pada harta hibah miliaran untuk pejabat kita, seperti halnya Hadi Poernomo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo