Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

'Quo Vadis' Masyarakat Madani

24 Juni 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mulchis Anwar*) *)Mayjen (purn.), mantan Asisten Personel KSAD UPAYA menegakkan sebuah masyarakat madani di Indonesia kini terancam justru oleh kalangan elite politisi sipil sendiri. Merekalah yang dengan sadar telah mengundang kalangan TNI/Polri kembali ke kancah politik praktis?suatu tindakan yang sangat ditentang oleh gerakan reformasi. Paling tidak, ada tiga manuver kalangan elite politisi sipil yang membuktikan hal itu. Jika Presiden Abdurrahman Wahid menurunkan dekrit keadaan darurat dalam rangka mengeliminasi lawan-lawan politiknya di DPR, itu berarti ia secara nyata telah mengundang tentara masuk dalam politik lagi karena TNI/Polri akan jadi penguasa darurat. Jauh sebelumnya, para elite politisi sipil di DPR/MPR tetap mempertahankan wakil-wakil TNI/Polri di dua lembaga itu. Padahal, kenyataan menunjukkan dalam sidang, utusan TNI/Polri sering abstain dalam pengambilan keputusan penting. Hal ini juga menunjukkan bahwa mereka sebenarnya tak perlu ada di lembaga itu. Belum lagi sikap seorang Menteri Pertahanan dari sipil, Moh. Mahfud Md., yang dengan enteng menganjurkan agar jabatan Menteri Pertahanan dipegang oleh perwira aktif yang mampu melakukan tindak represif, juga dapat melaksanakan sebuah dekrit keadaan darurat yang dikeluarkan presiden. Tindakan kalangan sipil ini memicu tentara memasuki dunia politik. Pasca-upaya Gus Dur mencampuri urusan internal TNI/Polri dalam pergantian jabatan pimpinan, misalnya, segera terlihat dampaknya. Ada seorang Panglima Kodam yang berbicara langsung tentang masalah politik (menolak pengangkatan jenderal politik). Padahal, sejak Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai Kassospol, ia berusaha menerapkan aturan bahwa untuk urusan politik, yang berhak bicara adalah Panglima TNI atau Kapuspen. Itu adalah hasil reformasi juga, dan patah karena manuver politisi sipil. Karena itu, kalangan sipil harus mengambil langkah untuk menghentikan "kekonyolan" politik yang mereka lakukan. Pertama, para elite sipil harus menyadari bahwa pihak TNI ataupun Polri ingin menjadi institusi yang profesional dan terhindar dari kepentingan politik praktis. Ini bisa kita lihat dari pernyataan KSAD Endriartono Sutarto, juga Kapolri Bimantoro, yang minta agar institusinya tidak digunakan untuk kepentingan kekuasaan yang mengalahkan kepentingan bangsa. Elite sipil seharusnya tidak lagi mencampuri kepentingan internal TNI/Polri, khususnya dalam soal jabatan di bawah level Panglima TNI dan Kapolri. Untuk itu, sudah ada Tap MPR No. 7/2000, yang seharusnya segera dijabarkan dalam bentuk Undang-Undang Pertahanan bagi TNI dan Undang-Undang Kepolisian Negara bagi Polri. Kedua, untuk tahun 2004 ke atas, sudah waktunya kursi DPR/MPR dari utusan TNI/Polri ditiadakan. Kalau lembaga DPR/MPR butuh masukan mengenai masalah pertahanan dan keamanan, hal itu bisa dengan mudah diatasi dengan memanggil para pejabat TNI/Polri untuk mendapatkan masukan. Para elite sipil harus berusaha memecahkan pertikaian antarmereka tanpa perlu melibatkan personel TNI/Polri. Pelibatan seorang Agum Gumelar, misalnya, untuk menjadi pelobi yang menjembatani kepentingan seorang politisi lainnya harus dihindari. Hal ini perlu ditegaskan agar TNI/Polri sebagai alat negara betul-betul netral. Jika TNI netral, seandainya ada konflik antarmassa (sebagai imbas dari konflik para elite) dan kondisi mengharuskan TNI/Polri harus meredamnya, suara TNI/Polri akan didengar. Elite sipil juga hendaknya menerima jika TNI/Polri menyatakan ketidaksetujuannya atas sebuah perintah di saat kondisi negara sedang krisis, misalnya menolak perintah melaksanakan dekrit. Fenomena penolakan TNI/Polri itu hendaknya merupakan sikap yang memang lebih mementingkan bangsa di atas kepentingan golongan. Sejarah pernah mengajarkan hal seperti itu. Sudirman, misalnya, melawan perintah untuk menyerah dan memilih bergerilya karena TNI waktu itu merasa kepentingan rakyat yang harus diutamakan. Ahmad Yani juga pernah menolak perintah Bung Karno, yang minta TNI membentuk Angkatan Kelima dengan mempersenjatai rakyat. Alasan Yani, Angkatan Kelima akan menyebabkan konflik terbuka di tingkat rakyat bawah. Para anggota DPR sebaiknya tidak mengacaukan fungsi TNI dan Polri dengan seenaknya meminta TNI menurunkan pasukan untuk meredam konflik di suatu daerah. Padahal, seharusnya urusan ketertiban dan keamanan adalah urusan Polri. Apabila eskalasi di suatu daerah meningkat sedemikian rupa sehingga unsur Polri tidak lagi mampu meredamnya, harus ada keputusan sipil. Untuk tingkat pusat, keputusan diambil oleh presiden dengan persetujuan DPR. Untuk tingkat daerah, oleh gubernur dengan persetujuan DPRD I, dan barulah bisa dikerahkan pasukan TNI ke daerah konflik bersangkutan. Jika prosedur penurunan pasukan TNI secara benar sudah ditempuh, selanjutnya yang perlu dibenahi adalah bentuk-bentuk darurat, apakah suatu daerah konflik harus diatur berdasar tertib sipil, darurat sipil, atau darurat militer, dan ditentukan siapa pemegang komandonya. Kalau masalahnya adalah keraguan atas kinerja Polri berkaitan dengan kualitas SDM dan prasarananya, masalah itulah yang harus segera dipecahkan. Beberapa waktu lalu ada kejadian menarik yang lewat dari perhatian DPR, yaitu Kostrad menyerahkan sejumlah peralatan militer pengendali huru-hara ke Kodam Jaya. Tak ada satu anggota DPR pun yang mempertanyakan mengapa peralatan itu tidak diserahkan ke Polri. Alat-alat seperti itu, juga peralatan antiteror?masih dipegang oleh satuan Kopassus?seharusnya diserahkan kepada polisi. Sebagian anggota Kopassus, juga satuan lain, yang menguasai soal antiteror seharusnya segera dicangkokkan ke kepolisian, dijadikan polisi, kalau kita ingin polisi kita mampu menangani teror. Sampai hari ini, penanganan atas kasus pengeboman yang terjadi di berbagai tempat oleh pihak kepolisian tak memuaskan masyarakat, dan itu wajar karena memang polisi kita tak terlatih untuk itu, dan kalangan elite sipil tak melihat ini sebagai masalah. Untuk ke depan, diharapkan pimpinan Departemen Keamanan tetap dipegang oleh seorang sipil. Seyogianya seorang Menteri Pertahanan mampu memahami masalah pertahanan dan mampu mengendalikan sikap dan perilaku TNI sesuai dengan semangat reformasi sebagai alat pertahanan negara. Saya yakin, kalangan sipil dengan kualifikasi seperti itu ada dan cukup banyak jumlahnya. Karena itu, penunjukan seorang Menteri Pertahanan di masa depan, selain menyangkut soal kualitas personal, juga harus mementingkan aspek nonpartisan. Ini penting agar jika terjadi konflik antarelite politik, Menteri Pertahanan mampu menjadi pereda konflik dan bukannya justru terlibat konflik serta memihak salah satu pihak yang bertikai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus