Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HASIL kerja 100 hari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan kabinetnya sulit dipakai untuk mengukur prestasi pemerintahan baru yang akan bekerja 1.820 hari itu. Ibarat membangun mega-proyek, Presiden Yudhoyono baru menyelesaikan lima persen dari pekerjaan kolosal itu. Yang sudah dicapai di titik lima persen itu sangat mungkin berbeda dengan hasil akhir kelak, tapi bisa juga sama saja jika grafik prestasi kerja yang ditunjukkan tak beranjak naik. Semua orang memahami kesulitan mengukur ini. Karena itu, pada awalnya tidak ada kebutuhan dan desakan masyarakat agar pemerintah membuat program kerja 100 hari.
Program 100 hari?yang meluncur dari panggung kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden?jelas "jualan" untuk mengail suara pemilih. Tapi bukan program yang sia-sia. Orang banyak akan tahu bahwa setidak-tidaknya ada dua pekerjaan besar yang sedang dan akan dikerjakan pemerintah SBY. Yang pertama adalah menuntaskan "warisan" pemerintahan yang lalu. Di dalamnya ada soal tenaga kerja Indonesia di Malaysia, kasus Karaha Bodas, soal Majelis Rakyat Papua, pembunuhan aktivis Munir, dan subsidi bahan bakar minyak. Program kedua adalah menetapkan rencana kerja untuk periode 2004-2009.
Dari dua pekerjaan besar itu, harus diakui ada kemajuan yang ditunjukkan, walau ada yang belum tuntas. Program menyiapkan rencana kerja juga sudah menghasilkan sejumlah peraturan dan keputusan yang memungkinkan pelaksanaan program lebih mantap kelak. Bahkan perbaikan nyata sudah terasa di pelabuhan, kini barang selundupan sulit untuk masuk.
Tapi sesungguhnya, selain keinginan mengetahui hasilnya, program 100 hari ini penting untuk mengetahui konsistensi SBY atas isu perubahan yang dulu diusungnya. Isu itulah yang membuatnya dipilih oleh 69 juta orang?hampir 61 persen dari total jumlah pemilih. Dengan memastikan niat untuk membuat perubahan, Presiden Yudhoyono akan tetap sejalan dengan kebutuhan rakyat yang menghendaki Indonesia lebih baik di semua lini.
Tapi perubahan itu dikehendaki secepatnya terwujud mengingat krisis multi-dimensi sejak 1997 sudah membuat kehidupan lebih sulit dan berat. Maka, janji perubahan SBY, yang sekarang ditagih lewat kritik keras para tokoh di media massa atau demonstrasi mahasiswa di berbagai kota, bisa dicerna sebagai bentuk keinginan berubah dengan cepat dan bahkan revolusioner itu.
Keinginan inilah yang belum bisa dipenuhi Presiden Yudhoyono. Dia memang lebih suka menerapkan gaya "berarak tidak berlari", tidak terburu-buru, bekerja dengan tahapan-tahapan yang urut, bukan terobosan serba kilat yang berisiko. Pilihan langgam kerja ini tentu dilakukan dengan sejumlah pertimbangan, misalnya tim kabinet baru yang belum "panas" atau konsentrasi kerja yang tersedot pemulihan bencana Aceh. Tapi orang banyak tetap ingin pemerintah baru ini bergerak di jalur cepat.
Ketidaksabaran itu ada alasannya. Apabila ekonomi Indonesia tidak bergerak dengan kecepatan "gigi lima", pertumbuhan ekonomi yang tinggi mustahil bisa dicapai. Jika ekonomi hanya bertumbuh empat atau lima persen seperti dicanangkan, berarti program SBY untuk menurunkan jumlah penganggur?yang kini hampir mencapai sepuluh juta orang?sulit diwujudkan. Kalau "terapi kejut" tidak juga meluncur dalam waktu singkat, misalnya mengadili "jawara korupsi Orde Baru", masyarakat akan menilai para penjaga gawang hukum sudah bersekutu dengan si jahat dengan imbalan besar atau ketakutan di bawah ancaman kekuatan besar masa lalu. Akibatnya, program pemberantasan korupsi, yang dicita-citakan menjadi pembeda antara pemerintahan SBY dan yang lalu, akan sekadar menjadi kenang-kenangan "manis" masa kampanye.
Tentu saja semua masih bisa diperbaiki, asal ada kesungguhan dan keberanian untuk itu. Pejabat eselon satu yang ditengarai menghambat perubahan dengan alasan apa saja sebaiknya segera "dipinggirkan". Bila instansi penegakan hukum bisa dibersihkan dari pejabat-pejabat yang lancung dan tercela, akan tumbuh keyakinan baru bahwa hukum bukan hanya milik mereka yang berpunya.
Apabila Presiden Yudhoyono mampu mewujudkan kesetaraan warga negaranya di mata hukum, sebagai salah satu pencapaian kerja yang pokok, ia tak perlu risau dengan banyak isu yang beredar di sekitar kursi kepresidenan. Ia tak perlu gelisah dengan isu "matahari kembar"_ seakan ada dua kuasa di Istana sejak Wakil Presiden Jusuf Kalla merebut kursi Ketua Umum Partai Golkar dan sekaligus "menguasai" parlemen. Ia tak perlu meributkan kendaraan politik yang patut dipakai untuk bersaing dalam pemilu mendatang. Jika SBY melakukan perubahan yang pokok dan berarti setelah 100 hari ini, dengan tetap memelihara antusiasme dan disiplin serta semangat kerjanya yang tinggi, itulah tiketnya yang paling berharga untuk bersaing pada 2009 nanti.
Sebaliknya, apabila perubahan yang dijanjikannya tak terwujud, kondisi negeri tidak beranjak membaik, dikhawatirkan frustrasi massal akan berkecamuk. Akan ada anggapan bahwa Indonesia memang tak ada harapan untuk diperbaiki, bahkan oleh seorang presiden dengan legitimasi tinggi karena dipilih langsung oleh rakyatnya.
Tapi, dalam masa kerja seumur jagung, terlalu pagi untuk menilai presiden pilihan rakyat itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo