Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Agar Hibah Bisa Dihemat

Ongkos operasi darurat kemanusiaan di Aceh akan memotong hibah. Pemerintah harus berani menawar.

31 Januari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat perpisahan itu pun tiba. Militer Amerika Serikat mulai mengemas barang-barangnya dari tanah Nanggroe Aceh Darussalam. Duta besar mereka di Indonesia, Lynn Pascoe, menyampaikan bahwa tugas mereka dalam operasi darurat kemanusiaan telah berakhir, Kamis pekan lalu. Mereka mengikuti langkah pasukan Singapura yang telah pulang seminggu sebelumnya.

Kepulangan pasukan asing membuat pemerintah Indonesia makin bisa berhitung. Peran mereka memang cukup besar dalam membantu korban bencana tsunami di Aceh. Tetapi, jika mereka berlama-lama di Aceh, hibah yang dijanjikan sejumlah negara sebesar US$ 1,7 miliar (sekitar Rp 15,5 triliun) itu bisa tinggal ampasnya. "Hibah yang kita dapat secara tunai bisa jauh lebih sedikit," kata juru bicara presiden, Andi Alfian Mallarangeng, saat dihubungi pekan lalu.

Terkurasnya hibah itu terjadi karena besarnya biaya operasi armada asing selama masa darurat. Sebut saja ongkos bahan bakar untuk puluhan helikopter, pesawat, hingga kapal induk. Kapal itu berasal dari armada Amerika Serikat, Australia, Singapura, Jerman, serta Prancis. Masih ada lagi ongkos untuk tenaga ahli dan pasukan. Juga obat, makanan, dan minuman yang mereka bawa. Nah, semua pengeluaran itu akan dipotong dari hibah yang sudah dijanjikan.

Andi mengakui, mustahil pemerintah Indonesia mengatasi sendiri kebutuhan bahan pokok dan pengirimannya pada masa darurat. Namun pemerintah saat ini lebih membutuhkan uang segar untuk biaya pembangunan kembali Aceh. Karena itu berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menghemat operasi itu. Di antaranya mengerahkan 60 ribu pasukan TNI yang sebagian besar bertugas membuka jalur darat yang terputus. Jika jalur darat sudah terhubung, pengiriman bantuan melalui udara akan dihentikan dan diganti dengan truk. "Cara ini akan lebih murah, sehingga kita dapat uang segar lebih banyak," kata Andi.

Cara lain dengan membatasi jangka waktu operasi kemanusiaan dari pasukan asing. Masalahnya, meskipun kini pasukan asing sudah mulai menarik diri, pemerintah belum tahu berapa biaya yang telah mereka keluarkan. "Sebab mereka sendiri yang menentukan harganya," kata Andi.

Memang tidak semua negara membebankan biaya operasional dengan memangkas hibah. Singapura, misalnya, sudah memastikan bantuan S$ 10 juta (sekitar Rp 55 miliar) di luar biaya operasional mereka selama membantu di Meulaboh. Pemerintah berharap negara-negara lain menerapkan cara yang sama seperti Singapura. "Tapi, kalau tidak, kita mau bilang apa? " kata Andi.

Kekhawatiran pemerintah itu tidaklah berlebihan. Contoh paling jelas terjadi pada saat gempa bumi di Bam, Iran, tahun lalu. Saat itu negara-negara donor menjanjikan bantuan US$ 1,1 miliar (sekitar Rp 10 triliun). Ternyata bantuan yang cair tidak sampai 1,6 persen.

Liz O'Niell, atase pers Kedutaan Besar Australia di Indonesia, meyakinkan komitmen negaranya. Australia berjanji memberikan bantuan A$ 1 miliar (sekitar Rp 7 triliun). Separuhnya berupa hibah dan sisanya utang bebas bunga. Mereka memisahkan dari biaya operasionalnya selama di Aceh sebesar Rp 231 miliar. Duta Besar Amerika Serikat Lynn Pascoe juga menjanjikan hal serupa. Bantuan dari militer Amerika dalam bentuk hibah jumlahnya Rp 54,6 miliar. Bantuan ini terpisah dari hibah lainnya sebanyak Rp 282 miliar.

Ternyata hingga kini pemerintah belum memiliki perincian bantuan dari negara-negara penyumbang, selain janji yang sudah diberikan. "Memang begitulah politik bantuan," kata analis ekonomi politik, Binny Bukhori. Negara penyumbang sering menerapkan tight aid atau bantuan mengikat. Padahal sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa bantuan menjadi tidak efektif karena lebih banyak kembali ke negara asal.

Harusnya, kata Binny, pemerintah jangan sungkan-sungkan menanyakan bentuk sumbangan itu saat ada negara yang menawarkan. Kalau perlu pemerintah harus tawar-menawar bentuk ban-tuan sesuai dengan kebutuhan.

Agung Rulianto, Faisal Assegaf

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus