Saya, dan beberapa kawan, sangat kecewa oleh penyajian Laporan Utama TEMPO 14 Juni (Islam setelah Asas Tunggal). Untung saja, waktu itu, bertepatan dengan hari-hari Lebaran. Jadi, bisa dimaklumi, kalau Bung Redaktur, yang ingin segera mudik, bekerja dengan terburu-buru. Dan, hasilnya: mengecewakan. . . Menurut kami, penulis-penulis TEMPO biasanya cukup arif dalam menyajikan laporannya. Untuk kasus-kasus yang pelik, misalnya, TEMPO selalu mengumpulkan informasi dari berbagai pihak. Bahkan biasanya, informasi atau pendapat yang kontradiktif pun bisa ditampilkan secara proporsional sesuai dengan pola investigative reporting yang, selama ini, menjadi merk dagang TEMPO. Anehnya, pola penyajian yang penuh selidik itu kurang tampak pada penulisan laput "paket Lebaran" di atas. Barangkali, ini guyon lho, karena alur penulisannya mendompleng pada khotbah seorang khatib muda -- yang mudah-mudahan bukan Bung Syu'bah sendiri -- maka isinya pun seperti khotbah: monoton, tidak dialogis, dan sepihak. Dalam soal pemikiran Islam, kesan saya, TEMPO terlalu menonjolkan "pendekar-pendekar" yang sealiran, bahkan sejurus. Lihat saja: Cak Nur, Harun Nasution, Bung Ut, Bung Johan, bahkan Menteri Munawir. Yang lain, perifer sekali. Selain itu, mengapa TEMPO tidak menampilkan, misalnya saja, Mang Endang atau Pak Rasjidi yang, mungkin sampai sekarang, selalu mengikuti perkembangan jurus-jurus Cak Nur. Rubrik terbatas, memang, tapi orang-orang TEMPO 'kan cukup arif? Ini ganjalan yang lain: betulkah bahwa iklim keagamaan yang konon bertambah segar, akhir-akhir ini, karena kecenderungan yang "Islam, Yes. Partai Islam, No" itu? Ataukah, karena tekanan modernisasi dan pembangunan yang "melimpah-ruah" itu semakin intens, sehingga orang-orang cenderung -- sebaliknya -- mencari pegangan atau mengukuhkan pegangannya. Dan, mereka menemukan kedamaian di bawah cahaya kebenaran agama. Logika ini pun cukup sah untuk diterapkan di kalangan anak muda: mereka ingin menyelamatkan diri dari terpaan budaya "kumpul kebo" dengan segala turunannya. Bagaimana, Bung Daktur, masuk akal, 'kan? Persoalannya, mengapa daya investigasi Bung Daktur tiba-tiba menjadi tumpul? Tidak biasanya, TEMPO begini, kami kecewa. Beberapa kawan curiga, barangkali TEMPO mau memanfaatkan wibawanya untuk mem-"figur"-kan Cak Nur dan kawan-kawan. Tapi orang-orang seperti Cak Nur 'kan tidak memerlukan popularitas pers. Jadi, bagaimana mungkin, untuk sebuah tema raksasa -- buktinya jadi laporan utama -- TEMPO sangat teledor. Sebagai catatan, kritik ini saya tulis untuk tim TEMPO, khususnya Bung Syu'bah. Bukan untuk Cak Nur yang sudah terlalu capek, enam belas tahun jadi lokomotif. Kami cukup puas kalau TEMPO istiqamah dengan gaya penyajian seperti biasanya. Tidak usah ikut-ikutan "tinggal landas" seperti halnya media-media lain. Setuju? MUHAMMAD JAUHARUL FUAD Jalan Ir. Juanda 126 A Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini