Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Porkas: judi, bukan, judi, bukan, ...

Porkas memasuki penarikan ke-29. menyedot uang rp 5 milyar. pertandingan sepak bola yang diporkaskan banyak yang fiktif. merayah ke lapisan kumuh yang banyak menimbulkan ekses. terjadi pro dan kontra. (nas)

26 Juli 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"ANGKAT saya menteri -- Porkas saya hapuskan!" Kata-kata keras itu pekan lalu, dilontarkan oleh Blegoh Soemarto. Ketua DPRD Jawa Timur, dari unsur Golkar, itu tetap konsisten, berpendapat: Porkas adalah judi. Yang disebut judi oleh Blegoh itu memasuki masa penarikan ke-29, Ahad ini. Belum setahun, memang, sejak penarikan pertama awal Januari. Tapi dalam tempo tergolong pendek, Porkas berhasil menimbulkan sejumlah perkara penting. Pertama, sejak lahir tak henti-hentinya dikritik tajam, toh pemerintah pusat melangkah tegar. Kedua, berhasil mengumpulkan uang sekitar Rp 5 milyar, dari hasil penjualan bersih kupon yang sehelai berharga Rp 300. Ketiga, melahirkan berbagai ekses, antara lain: Seorang janda tua menggadaikan sawah dan seorang suami membakar istrinya. Keempat, sejak akhir April lalu, 7 dari 14 pertandingan yang diporkaskan ternyata fiktif. Pertandingan bohong itu, misalnya, terjadi pada periode ke-19. Pada 17 Mei itu, disebutkan antara lain pertandingan PS Nusantara melawan PS Banjar Putera Banjarmasin. Kedua kesebelasan itu tidak pernah berlaga di lapangan hijau, tetapi penyelenggara Porkas toh mengumumkan hasilnya, seri. Masih di Kalimantan Selatan pada periode ke-20, 24 Mei, mestinya bertanding Perseban Banjarmasin melawan Persebaru Banjarbaru. Yang diumumkan juga pertandingan fiktif, dengan hasil juga seri. Sedangkan pada periode ke-26, 6 Juni pertandingan fiktif kembali berlangsung antara Perseam (Amuntai) dan Persetala (Tanah Laut). Kali ini, Perseam menang. Bagaimana hasil pertandingan fiktif itu ditentukan? Praktis saja: diundi. "Yang mengundi pihak yayasan," kata Wahab Abdi, Ketua Bidang Perserikatan PSSI. Yayasan yang dimaksud ialah Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS), yang mengeluarkan kupon Porkas. Apa kata penyelenggara Porkas ? Menurut Abraham Toding, Staf Ahli Mensos, dan Sekretaris YDBKS, berbagai pertandingan itu akhirnya cuma diundi -- karena dua hal. Pertama, hasil pertandingan itu belum diterima oleh Jakarta, pada Minggu malam, saat penarikan Porkas. "Terpaksa kami undi," kilahnya, "dengan risiko hasil undian berbeda dengan hasil pertandingan sebenarnya." Kedua, pertandingannya batal, misalnya karena hujan. Pada mulanya YDBKS sendiri yang meminta PSSI menyusun jadwal pertandingan yang diporkaskan. PSSI kemudian, dengan masukan berbagai Komisaris Daerahnya, membuat daftar itu. Tapi, kemudian, pihak YDBKS berubah sikap. Yayasan keberatan bahwa yang dipertandingkan adalah kesebelasan di dalam negeri. Yayasan juga mencantumkan kompetisi yang berlangsung di luar negeri. Mengapa? "Yayasan khawatir, pertandingan di dalam negeri dapat diatur skornya," ujar Wahab Abdi pada Toriq Hadad dari TEMPO. Tak jelas mengapa penyelenggara Porkas tak mempercayai pertandingan yang dikelola PSSI. Ini terbukti, misalnya, pertandingan Persikup (Kulon Progo) melawan Persebi (Boyolali). Ini adalah bagian kompetisi PSSI Yunior. Berlangsung Ahad pekan lalu di Wates, Yogya, toh pertandingan ini hanya dianggap sebagai proforma oleh penyelenggara Porkas. Artinya, pertandingan itu benar-benar berlangsung, tapi hasilnya tidak dianggap ada. Penyelenggara Porkas memutuskan mengundinya -- dan hasil undian itulah yang dijadikan skor pertandingan yang diporkaskan. Padahal, Yogya-Wates hanya berjarak 27 km, dengan transportasi yang lancar, sehingga sesungguhnya tak ada alasan hambatan komunikasi untuk mengirimkan hasil pertandingan yang sesungguhnya ke Jakarta. Hambatan komunikasi inilah, untuk pertandingan yang dilangsungkan di wilayah yang jauh, yang dijadikan alasan YDBKS untuk mengundi saja hasil pertandingan. Bagi penyelenggara, cara mengundi itu, selain memang praktis, juga menguntungkan. Sebab, dengan diundi, pihak YDBKS hanya membayar separuh saja, yakni Rp 1 juta. Keuntungan YDBKS juga datang dari sejumlah pertandingan di luar negeri yang diporkaskan. Sebab, untuk pertandingan yang berlangsung di luar negeri itu, pihak Yayasan cukup melaporkan saja pada FIFA, dan organisasi sepak bola di negeri itu tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Padahal, "Untuk setiap pertandingan di dalam negeri, Yayasan harus membayar Rp 2 juta," kata Wahab Abdi. Pembayaran itu diatur dalam suatu surat keputusan yang ditandatangani Ketua Umum PSSI Kardono. Isinya: pihak Yayasan akan memberikan Rp 2 juta setiap satu pertandingan yang diporkaskan. Perinciannya: jika Komda yang menyelenggarakan pertandingan, Komda mendapat 5%. Sementara itu, panitia penyelenggara mendapat 20%. Dan sisanya, dibagi dua buat kesebelasan yang bertanding. Tetapi, jika Komda sendiri yang langsung meniadi panitia pelaksana pertandingan, Komda akan mendapat bagian 40%. Sedang sisanya, dibagi dua untuk kesebelasan yang bertanding. Kalau yang diporkaskan klub Galatama, Komda yang mengirim klub mendapat 5%, administrator Galatama 5%, klub yang menjadi tuan rumah 20%, dan kesebelasan yang bertanding mendapat masing-masing 35%. Jika PSSI sendiri yang melaksanakan pertandingan, maka PSSI akan mendapat sekitar Rp 500 ribu setiap pertandingan. Itu sebabnya, dalam suatu periode penarikan (setiap minggu) semakin banyak kesebelasan luar negeri yang diporkaskan, semakin banyak pertandingan dalam negeri yang hasil pertandingannya diundi semakin banyak pula keuntungan YDBKS. Sebab, semakin sedikit ongkos yang dikeluarkan. Semula, pihak PSSI meminta 10 dari 14 pertandingan adalah pertandingan kesebelasan dalam negeri. Tapi, pihak Yayasan akhirnya hanya menyetujui 7 pertandingan yang diporkaskan dari dalam negeri, dan 7 lagi kompetisi yang berlangsung di luar negeri. Tetapi, sejak berakhirnya kompetisi di Inggris akhir April silam -- pertandingan-pertandingan yang sering diporkaskan YDBKS -- maka setiap periode Porkas, sebanyak 7 pertandingan, hanya diundi. "Pihak Yayasan tetap tidak mau, jika 7 pertandingan itu diganti dengan pertandingan di dalam negeri," kata Wahab Abdi. Sekalipun, seluruh jadwal pertandingan dalam negeri itu, sudah telanjur dicetak d kupon Porkas. "Yah .. . bagaimana lagi?" komentar Wahab Abdi. "Saya bilang pada Komda, 'kan enak dapat duit." Meski pertandingan fiktif, toh kesebelasan yang bersangkutan mendapat dana Porkas masing-masing Rp 475.000. Pihak Yayasan pun sudah tentu menangguk keuntungan yang tak sedikit. Lebih-lebih omset penjualan Porkas ini semakin lama berkembang pesat. Kini, saban pekan YDBKS, lewat pelaksana tunggal PT Sahabat Sukses, mencetak 10 juta kupon, yang beredar di seluruh Indonesia -- kecuali Irian Jaya dan Timor Timur. "Rata-rata sekarang seminggu terjual 5-6 juta kupon," kata Brigjen (Pur) Hedijanto, anggota tim pengelola Porkas. Dibanding awal diselenggarakannya, penjualan kupon pekan lalu itu, dalam waktu enam bulan, berarti meningkat tiga kali lipat. Karena itu, meski hingga kini Porkas baru menghasilkan Rp 5 milyar, Hedijanto yakin target pengadaan dana Rp 13 milyar dalam setahun akan diraih. YDBKS sendiri memberi potongan yang cukup tinggi pada distributor -- sampai 30%. "Porkas telah membayar pajak cukup besar," kata Hedijanto. Sebagai uang muka, pihak YDBKS telah menyetor Rp 500 juta ke Dinas Pajak. "Bandar judi gelap, 'kan tidak bayar pajak," tambahnya. YDBKS telah pula menyumbang Rp 526 juta bagi kegiatan PSSI. Kecuali itu, turut membiayai siaran langsung pertandingan kejuaraan sepak bola dunia di Meksiko akhir Juni silam. Dan, terakhir, 9 Juli lalu, di Semarang, Hedijanto menyerahkan Rp 250 juta kepada Gubernur Ja-Teng Ismail. Yang belakangan ini, untuk membantu biaya Pekan Olah Raga Penyandang Cacat Timur Jauh dan Pasifik Selatan, yang akan dibuka Presiden Soeharto, 31 Agustus mendatang. Begitulah, dengan uang Porkas itu, di satu pihak YDBKS telah melangkah sebagai cukong yang siap memberikan bantuan. Kata Hedijanto, "Seluruh dana hasil Porkas akan digunakan untuk meningkatan prestasi olah raga." Tapi, di pihak lain, ia menohok kesebelasan yang bertanding. Misalnya, yang terjadi 11-13 Juli lalu di Karawang. Persika (Karawang), selama tiga hari itu adalah tuan rumah bagi kompetisi Putaran I, memperebutkan urutan juara dalam PSSI Divisi Utama. Yakni segitiga Persika-PSIM (Yogya) -- Persitara (Jakarta Utara). Ternyata, pertandingan 13 Juli diporkaskan untuk periode ke-27. "Tapi kami tidak pernah diberi tahu," kata Mochamad Nur, Sekretaris Umum Persika. Mestinya, sebagai penyelenggara pertandingan, Persika berhak mendapat Rp 400.000, dan kesebelasan yang bertanding pun mendapat sebesar Rp 750.000. "Terus terang, kami baru tahu diporkaskan dari koran," kata Nur lagi. Sebelumnya, PSIM pun sudah mengalami nasib yang sama. Pertandingan 6 Juli, PSIM melawan PSSI-B di Yogya, yang juga diporkaskan -- hingga kini belum dibayar. Jadi, selama ini tiga kali sudah PSIM dikelabui. Total penyelenggara Porkas berutang Rp 1,1 juta pada PSIM. "Padahal, kas kami sekarang sudah kosong," ujar Suyanto, Bendahara PSIM. Sebenarnya, kritik telah dilontarkan secara dini, sebelum korban-korban Porkas berjatuhan. DPRD Jawa Timur, misalnya, secara terbuka pernah menolak Porkas, sebelum undian ini dilaksanakan. Protes senada kemudian juga dilontarkan oleh Gubernur Sumatera Barat. Azwar Anas, hanya beberapa hari setelah Porkas dilaksanakan, menyimpulkan, Porkas punya akibat negatif. Karena itu, ia mengambil sikap, menghentikan Porkas buat sementara di wilayahnya. Namun, kemudian Menpora Abdul Gafur, seusai bertemu Kepala Negara di Bina Graha, 23 Januari silam, berkata kepada wartawan, "Porkas sepak bola sudah merupakan keputusan pemerintah pusat. Karena itu, pemerintah daerah seharusnya membantu pelaksanaannya. Pemerintah, kata Gafur, sebenarnya satu. "Karena itu, apa yang diputuskan pemerintah pusat seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah daerah." Mesin birokrasi memang harus bergerak, dan karena telah diputuskan dari atas, harus dilaksanakan pula di bawah. Maka, di Jawa Timur dan Sumatera Barat pun Porkas akhirnya tak menjadi barang aneh lagi. Menurut Gafur kala itu, Porkas bukanlah judi. Ia, sebuah permainan. Dan, keputusan pemerintah memberlakukan Porkas diambil setelah diadakan penelitian selama empat tahun -- termasuk di luar negeri. Di mancanegara, katanya, termasuk di beberapa negara Timur Tengah sekalipun, Porkas serupa juga dilaksanakan terhadap beberapa bidang olah raga. Itu juga terjadi di Malaysia. Maka, di Tanah Air, Porkas pun menggelinding tegar. Memang gagasan menyelenggarakan Porkas telah dipikirkan Departemen Sosial pada 1974. Kala itu, menteri sosial adalah Mintaredja. "Waktu itu, dicari bentuk undian yang tidak menimbulkan ekses judi," kata sumber TEMPO. Maka, untuk mencari bentuk undian itu, sebuah tim Depsos lantas berarigkat ke beberapa negara, seperti Swiss, Jerman Barat, Belanda, dan Inggris. Survei berlangsung 1974-1976. Kesimpulan, Depsos akan menyontek sistem penyelenggaraan forecast, Inggris. "Bentuknya sederhana, dan tidak menimbulkan judi," kata sumber TEMPO. Pada kupon forecast Inggris itu, berderet 13-14 pertandingan klub-klub sepak bola profesional Inggris. Di antara dua deretan kesebelasan yang berlaga, ada dua kolom kecil, tempat penebak mencantumkan skor pertandingan pilihannya. Dengan cara ini, terdapat sejumlah kombinasi yang memang sulit sekali dihitung. "Justru itu, kemampuan si penebak, tentang kekuatan kesebelasan yang bertanding, ikut bicara," kata sumber itu pada Putut Tri Husodo dari TEMPO. Tapi mengapa 13-14 pertandingan? Menurut pengalaman di Inggris, dengan pertandingan sebanyak itulah, hasil yang diperoleh penyelenggara tebakan, pemerintah, dan hadiah bagi si penebak akan berimbang. Pembagian uang itu ialah: 40:40:20. Pemerintah mendapat 40% untuk membiayai berbagai proyek olah raga dan kesejahteraan sosial, dan 40% pula yang dikembalikan pada penebak. Sisanya dinikmati penyelenggara, yakni Vernon Poll. Yang terakhir ini adalah sebuah divisi dari Vernon Company, perusahaan swasta yang bergerak di berbagai bidang. "Perusahaan ini berpengalaman 70 tahun menyelenggarakan forecast," kata sumber TEMPO. Pada 1976, tim Depsos yakin forecast model Inggris ini tepat diterapkan di Indonesia. Tim lalu mengundang tim penilai dari Kejaksaan Agung, Bakin, dan Depdagri. "Mereka juga tidak keberatan," kata sumber TEMPO itu lagi. Maka, direncanakanlah, kupon forecast itu akan dijual dengan pembagian hasil 50:30:20. Separuh penghasilan dikembalikan pada penebak, 20% untuk biaya operasi, dan 30% sisanya untuk pemerintah membiayai proyek-proyek olah raga dan bantuan kesejahteraan sosial. Rencana itu diajukan ke Presiden Soeharto. "Bapak Presiden bersikap hati-hati kala itu. Depsos diminta mempelajari lebih jauh," katanya. Kabinet Pembangunan II usai, 1978. Mintaredja digantikan Sapardjo, sebagai mensos. Rencana forecast itu kembali disampaikan pada Presiden. "Pak Harto masih khawatir -- jangan-jangan menimbulkan ekses judi," kata sumber TEMPO. Kemudian, muncullah Porkas yang beredar seperti sekarang ini. "Porkas ini jelas bukan forecast model Inggris," katanya. Sebab, tebakan 14 huruf pada jalur kanan kupon tidak ada hubungan dengan tebakan M (menang) dan S (seri) pada jalur kiri. "Ini jelas sama sekali untung-untungan," katanya. Menurut Jusuf Thalib, Dirjen Bina Bantuan Sosial Depsos, Porkas lebih menyerupai undian di Spanyol. "Porkas ini hasil studi enam tahun," katanya pada Ahmed Soeriawidjaja dari TEMPO. Perbedaannya, pada toto sepak bola di Spanyol itu, orang menebak skor pertandingan. Kalau ada lebih dari seorang pemenang, hadiahnya dibagi rata. Porkas di Indonesia, menebak menang atau seri, dan jika terdapat lebih dari satu pemenang undian, maka karus diundi lagi untuk menentukan siapa yang memenangkan hadiah yang disediakan. "Perbedaan lain, tentu, menyangkut kualitas klub yang dipertandingkan. Di Spanyol, yang dipertandingkan adalah klub Divisi Utama. Sedang di sini? Seperti diketahui, kesebelasan dalam negeri yang diporkaskan banyak sekali kesebelasan lokal atau daerah -- yang terang tak dikenal luas oleh penggemar sepak bola atau penebak. Sebutlah, misalnya, Perseam (Persatuan Sepak Bola Amuntai, Kal-Sel), atau Persiku (Persatuan Sepak Bola Kudus), yang tak bunyi bagi orang di Jakarta, atau di Medan -- tempat kupon Porkas paling banyak beredar. Tak hanya itu. Klub luar negeri yang diporkaskan pun adalah klub lokal di negerinya. Artinya, klub yang bcrada di papan bawah, yang terang tak dikenal oleh penggemar sepak bola Indonesia. Misalnya, York City, Inggris. Bagaimana si Hasan, atau si Amat, tahu kekuatan klub itu? Maka, yang terjadi, waktu mengisi kupon, asal "coblos", alias nasib-nasiban. Sesuatu yang, sedikit atau banyak, mengandung unsur untung-untungan. Sebab, pada dasarnya, tak ada lagi kaitan dengan pengetahuan tentang klub yang dipertandingkan. Porkas lahir sebagai upaya menghimpun dana dari masyarakat untuk pengembangan olah raga. KONI mengurus 46 cabang olah raga. Tiap cabang, agar prestasinya meningkat dan terjaga, sedikitnya pukul rata memerlukan Rp 500 juta setahun. Total, artinya, KONI memerlukan sekitar 23 milyar setahun. Padahal, bantuan pemerintah untuk KONI Pusat hanya Rp 1,3 milyar. Pemasukan dari Porkas, yang Rp 12 milyar setahun seperti ditargetkan, akan banyak membantu. Itu sebabnya, seperti diungkapkan D. Suprajogi, bekas Keua Harian KONI Pusat, "Porkas penting bagi KONI." Ide menggali dana dari masyarakat lewat Porkas itu juga sudah lama dipikirkan oleh KONI. "Tahun 1980 kami sudah membentuk tim untuk menjajakinya," katanya suatu ketika. Duduk dalam tim itu, antara lain, Frans Seda. Tim juga berkeliling ke Swedia, Inggris, Brasil, dan Italia, guna mempelajari hal itu. Frans Seda, Ketua Bidang Dana KONI Pusat (1980-1982), terus terang mengatakan, tim itu bertugas meneliti kemungkinan menyelenggarakan judi Porkas. "Waktu itu kami sudah mengundang utusan dan Inggris. Yaitu komite kerajaan yang menyiapkan undang-undang judi," katanya. Bahkan, telah pula diundang kemari utusan dari Australia, Hong Kong, juga Malaysia. Tujuannya? "Agar judi, untuk mencari dana olah raga, diizinkan," katanya. Tetapi rencana membikin judi Porkas itu ditolak oleh pemerintah secara tak resmi. "Waktu itu memang masalahnya masih dibicarakan di tingkat lobi," kata Frans Seda lagi. Karena itu, bagi Frans Seda, tak perlu ditutup-tutupi, Porkas adalah judi. "Porkas itu jelas judi menurut hukum, dan haram menurut agama. Jangan munafiklah," katanya. Ia berpendapat, mestinya pemerintah datang dengan program yang jelas, dan berterus terang kepada masyarakat bahwa Porkas adalah judi. Dengan demikian, "Tidak mengurangi wibawa pemerintah." Frans tegas menyatakan setuju dengan Porkas. "Saya setuju Porkas, tapi tak perlu munafik." Baginya, yang penting ialah: dana yang diperoleh dari masyarakat lewat judi Porkas itu dikelola secara terbuka. Porkas, memang, kontroversial. Beberapa MUI daerah, misalnya, telah mengeluarkan fatwa. Isinya Porkas judi, dan haram. Tapi, MUI Pusat sendiri, memandang tak perlu mengeluarkan fatwa. Mengapa? "Karena masalah ini khilafiah -- menyangkut perbedaan dalam fiqih, hukum Islam," kata K.H. Hasan Basri, Ketua Umum MUI Pusat. Prof. K.H. Ibrahim Husen, L.M.L., guru besar hukum perbandingan Islam IAIN Jakarta, yang juga Ketua Fatwa MUI Pusat, berpendapat, tidak setiap undian adalah judi. Untuk menentukan judi atau tidak, "Kita harus melihat illat (penyebab) diharamkannya judi itu," katanya pada Musthafa Helmy dari TEMPO. Judi adalah taruhan yang dilakukan secara berhadap-hadapan, yang diharamkan karena akan menimbulkan adaqak (permusuhan) dan baghdla (kebencian). "Jika tidak dilakukan berhadap-hadapan maka bukan maisir (judi)," katanya. Karena tak dilakukan berhadap-hadapan, "Porkas itu bukan maisir." Tetapi, seratus ulama Jawa Barat, yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Ulama dan Cendekiawan Ja-Bar, akhir April lalu, tegas menyebut Porkas sebagai judi, dan haram. Pernyataan itu disampaikan kepada pemerintah, agar Departemen Sosial mencabut pelaksanaan Porkas. Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) belum mengambil sikap tentang Porkas. Tapi, setelah memperhatikan berbagai akibat negatif Porkas, "ada kemungkinan PGI akan menyampaikan imbauan pada pemerintah," ujar Dr. Fridolin Ukur, Sekjen PGI. MAWI (Majelis Agung Wali Gereja Indonesia) juga belum membuat evaluasi tentang Porkas. Menurut pengamatan Dr. J. Riberu, Kepala Dokumentasi dan Penerangan MAWI, Porkas lebih banyak diikuti oleh rakyat kecil yang hidup pas-pasan. "Porkas dijadikan taruh dan untung-untungan," katanya. Dalam pada itu, stensilan berisi ramalan muncul di mana-mana. "Ini sudah mengarah pada kehidupan yang tidak baik dan terpuji," kata Riberu lagi. Yang masih silang pendapat adalah sikap berbagai pemerintah daerah. Gubernur DKI R. Soeprapto, atas pertanyaan anggota Komisi II DPR, menjawab, di wilayahnya permainan Porkas cenderung mengarah pada bentuk perjudian terselubung. Dan yang memprihatinkan, penggemar permainan ini umumnya masyarakat berpenghasilan rendah. Bahkan, menurut Soeprapto, ada kecenderungan pelajar banyak terlibat dalam permainan Porkas. Banyak pula Pemda yang bersikap, tak bisa lain kecuali, mengamankan pelaksanaan Porkas itu. "Kami tidak bisa membikin klasifikasi apakah Porkas itu judi atau bukan," kata Jusacc, Kepala Biro Humas Pemda Ja-Bar. "Yang jelas, Porkas ini sudah keputusan pemerintah pusat, dan Pemda berkewajiban mengamankannya." Kontroversi tentang suatu undian, memang bukan perkara baru di republik ini. Baru dua tahun Indonesia merdeka, pemerintah telah mengeluarkan undang-undang tentang undian uang negara. Pada 1954, ditetapkan UU No. 22 Tahun 1954 tentang undian -- yang antara lain bertujuan agar undian yang menghasilkan hadiah itu tak menimbulkan keburukan-keburukan sosial. Porkas juga lahir dengan cantolan hukum yang ditelurkan 32 tahun lalu itu. Ada berbagai macam bentuk undian yang pernah merasuki masyarakat. Pada 1968, misalnya, pemerintah daerah Surabaya pernah diizinkan mengeluarkan Lotre Totalisator (Lotto) PON Surya. Inilah mengadu peruntungan murni, tak berdasarkan pertandingan olah raga. Ia berdasarkan undian. Izin ini dikeluarkan bagi kepentingan penghimpunan dana buat PON VII yang diselenggarakan di Surabaya (1969). Di masa 60-an memang banyak benar muncul lotre. Yang tersohor adalah lotre buntut. Inilah lotre yang sampai menyebabkan Presiden Soekarno mengeluarkan Keppres No. 133 Tahun 1965. Isinya? Lotre buntut merusakkan moral bangsa dan digolongkan sebagai subversi. Apa nasib Porkas setelah sejumlah ekses, dan kritik bertubi-tubi? Menteri Sosial Nani Soedarsono berpendapat Porkas justru berhasil menggeser masa kejayaan judi buntut. Keadaan ini disebut oleh Menteri sebagai perubahan kesadaran masyarakat -- yang lebih baik. "Melalui Porkas," katanya, "akan bisa dihimpun dana sebanyak-banyaknya untuk kepentingan olah raga nasional itu lebih baik, "daripada sejumlah uang rakyat itu jatuh ke alamat judi yang dikelola oleh pribadi-pribadi" Berbieara di depan para wartawan di Banjarmasin 10 Juli lalu, Mensos mengakui ada kekurangan-kekurangan Porkas. Tapi yang diekspos oleh pers itu, katanya, "kekurangan kecil yang terlalu dibesar-besarkan." Pemerintah berjanji akan mengevaluasi Porkas setelah setahun. Yang jelas, bulan Agustus ini pula, Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial, pemegang lisensi Porkas, akan membangun berbagai loket penjualan Porkas secara permanen untuk seluruh Indonesia. "Ini agar penjualan Porkas lebih tertib," kata Abraham Toding, Staf Ahli Mensos, yang juga merangkap Sekretaris YDBKS Dalam pada itu, hari-hari ini, dua tokoh sepak bola, Sigit Soeharto dan Nabon Noor, berada di Eropa. "Mas Sigit dan Pak Nabon berkeliling, untuk mencari jadwal pertandingan klub profesional di Eropa," kata Wahab Abdi Ketua Bidang Perserikatan PSSI. Artinya, ada kemungkinan pertandingan sepak bola di Eropa itulah yang akan lebih banyak diporkaskan. Saur Hutabarat, Laporan Biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus