BERKAT Porkas, banyak orang kini tak cuma kenal Persib (Bandung) atau Persija Uakarta). Para penggemar kupon berhadiah itu sekarang mau tak mau dipaksa tahu nama kesebelasan dari pelosok daerah yang selama ini hampir tak pernah dikutip koran. Lihat misalnya Persatu (Persatuan Sepak Bola Tuban), Jawa Timur. Atau Perseam (Persatuan Sepak Bola Amuntai), Kalimantan Selatan, yang bersama sederet nama kesebelasan lainnya tak disangka-sangka tampil di panggung nasional. Persatu, misalnya, Sabtu lalu, bertanding melawan Perseba (Persatuan Sepak Bola Bangkalan) Jawa Timur. Pertandingan yang diporkaskan untuk periode ke-28 itu berlangsung di Desa Bancaran. Inilah desa yang terletak sekitar 1 km dari Bangkalan (Madura). Pertandingan di "udik" itu diwarnai oleh permainan kasar. "Wasit tai", "Kubur saja wasit itu," terdengar dari mulut penonton. Pertandingan berakhir seri, 1-1. Tapi hasil itu, apa boleh buat, dianggap tidak ada oleh penyelenggara Porkas. Yayasan penyelenggara Porkas memilih mengundinya, Ahad malam lalu. Hasilnya? Perseba menang. Perseba turun dengan kostum kaus kuning dan celana putih. Warnanya telah memudar. "Ya, kostum ini sudah setahun lebih tak diganti," ujar Sigit, seorang pemain Perseba. Akan halnya Persatu, turun dengan seragam merah-putih. Warnanya cemerlang, karena baru dibeli. Dan pertandingan ke luar kota seperti ini menyenangkan pemainnya. "Ada Porkas atau tidak, kalau keluar kota seperti ini kami mendapat uang saku Rp 2.500," kata Andi, kapten kesebelasan Persatu. Perseam, kesebelasan dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kal-Sel, pun berkemas karena diporkaskan. "Kami baru saja membeli kostum baru," ujar Rustam Effendi, pembina Perseam. Para pemainnya berumur rata-rata di bawah 30. Mereka adalah pemuda-pemuda yang berasal dari Kabupaten Hulu Sungai Utara. Para pemuda itu bangga, dengan kostum dan sepatu yang baru, karena diporkaskan, "Akan bertanding di ibu kota provinsi," kata Rustam lagi. Ternyata, semua itu harus berakhir dengan kekecewaan. Bertanding itu dibatalkan, karena penyelenggara Porkas cukup dengan mengundinya saja. "Padahal, kami sudah berlatih tiap hari," tambah Rustam. Pengurus Putra Perkanti, Jimbaran, Bali, suatu hari, kaget. Awal Juli lalu, mereka menerima sepucuk surat dari Komda PSSI Bali. Isinya: meminta Putra Perkanti bersedia ikut diporkaskan. "Kami memang gemar olah raga -- tanpa Porkas pun kami sudah berlatih secara teratur," kata Kadek Darma, pelatih Putra Perkanti. Memang, Putra Perkanti telah berdiri sekitar 1970. Inilah perhimpunan olah raga di Desa Jimbaran -- sekitar 17 km dari Denpasar. Tak hanya sepak bola yang digalakkan oleh perhimpunan ini, tapi hampir semua cabang atletik. Prestasi atletik itu, memang, tak menonjol. "Cuma bisa diperhitungkan untuk tingkat kecamatan," kata Wayan Serep, seorang atlet. Tapi cabang sepak bola rupanya menanjak terus. Nama Putra Perkanti lantas melejit, ketika dalam kompeisi tahun silam menduduki tempat ketiga pada Divisi I Perseden (Persatuan Sepak Bola Denpasar). Inilah contoh bagaimana suatu desa berhasil mengembangkan olah raga -- dengan kemampuan keuangan mereka sendiri. Para warga Desa Jimbaran sangat fanatik pada Putra Perkanti. Ke mana pun bertanding mereka turut serta berbondong-bondong. Karena itu, uang selalu saja mengalir dari warga untuk membiayai Putra Perkanti. "Banyak donatir, dan dana tidak masalah," ujar Kadek Darma, pelatih lulusan Sekolah Guru Olah Raga (SGO). Putra Perkanti sendirilah yang menanggung biaya pertandingan, ketika melawan Persegi (Gianyar). Inilah pertandingan yang diporkaskan, berlangsung 5 Juli, dengan kemenangan Perkanti (1-0). "Kami sendiri yang meneleks hasilnya ke Jakarta -- dan dengan uang kami sendiri," kata Kadek Darma. Putra Perkanti sangat bangga, karena dengan Porkas itu namanya tercatat di Jakarta. Putra Perkanti tak pernah memberi uang saku pada pemainnya. Para pemain yang masih muda-muda -- 30 orang berumur di bawah 26 -- belum mengenal perangsang uang. Warga desa itu, "Hanya senang olah raga, dan tidak perlu honor," kata Kadek Darma. "Tapi, pemain kami beri kacang hijau dan telur." Porkas boleh jadi salah satu cara untuk menghidupkan berbagai kesebelasan lokal. Misalnya, orang menjadi tahu bahwa ada Persikup (Persatuan Sepak Bola Kulon Progo, Yogya). Berdiri 1978, Persikup bukanlah klub yang menonjol di DIY. "Klub kami ini klub kampung," kata Suyono, 36, pelatih Persikup. Juga tak menonjol adalah Persebi (Persatuan Sepak Bola Boyolali?, Ja-Teng. Persebi bertanding proforma dengan Persikup, Ahad lalu. Artinya, pertandingan itu, hasilnya tak dipakai oleh penyelenggara Porkas. Persebi tak pernah menjadi juara, baik di tingkat rayon maupun divisi. Ini berbeda misalnya dengan Persjku (Persatuan Sepak Bola Kudus). Persiku pernah menjadi juara II kompetisi PSSI Komda Jawa Tengah. Tahun lalu, kesebelasan ini merebut piala Pangdam Diponegoro. Memang, saban tahun kesebelasan dari kota kretek ini mengadakan kompetisi antarperserikatan di bawah naungannya. Terdapat 36 perserikatan yang dibina Persiku. Persiku telah empat kali bertanding untuk Porkas. Antara lain melawan kesebelasan terkemuka yang terabung dalam alatama, yakni Niac Mitra, dan Perkesa 78. Dan, alhamdulillah, dana Porkas yang menjadi hak Persiku seluruhnya telah diterima. Besarkah arti Porkas ini bagi klub-klub tak dikenal secara nasional ini? Perkesit (Persatuan Kesebelasan Indonesia Cianjur), misalnya, merasakan benar manfaat dana Porkas. "Lumayan, kami bisa membeli sepatu dan kostum baru, dan bisa pula memberi honor pemain Rp 3.500," kata H. Anwar, Sekretaris Umum Perkesit. "Sayang, kami baru sekali diporkaskan," tambahnya. Yang mengagetkan ialah, ternyata, Perkesit ini sudah berdiri pada 1953. Berumur 33, tapi baru kini orang tahu di Cianjur ada kesebelasan sepak bola -- yang tahun silam menjadi juara kedua di Jawa Barat. S.H., Laporan Biro-Biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini