LOCKHEED diperkarakan oleh Departemen Kehakiman Amerika Serikat. Perusahaan itu dituduh menjual pesawat ke pemerintah RI dengan jalan menyogok pejabat. Yang menerima komisi 3 persen pertama-tama adalah perusahaan Dasaad-Musin Concern. Dasaad adalah pengusaha.
Apakah pengusaha yang menerima komisi harus dianggap melakukan korupsi? Bagaimana kalau penerima komisi adalah pengusaha yang punya pengaruh terhadap pemerintah? Bagaimana kalau Lockheed disuruh oleh pejabat tinggi RI untuk menunjuk Dasaad sebagai perantara? Apakah itu korupsi? Siapa yang korupsi: Lockheed, si pejabat, atau Dasaad?
Lockheed kemudian menyingkirkan Dasaad sebagai perantara dan langsung berhubungan dengan militer Indonesia. Komisinya meningkat menjadi 5 persen, dan dimasukkan ke rekening yayasan janda dan yatim ABRI. Apakah ini termasuk korupsi? Uang siapa sebenarnya yang 5 persen itu? Uang ABRI? Uang pemerintah? Bukankah ABRI bagian dari pemerintah? Kalau begitu, mengapa tidak dialokasikan dana dari anggaran belanja pemerintah saja?
Korupsi memang masalah kompleks. Ia berakar dan bercabang di seluruh masyarakat. Dalam arti luas, korupsi mencakup praktek penyalahgunaan kekuasaan dan pengaruh. Bentuk korupsi yang paling umum adalah "suap" atau "sogok", yaitu memberi sesuatu kepada pejabat agar ia melakukan sesuatu yang sebenarnya wajib dilakukannya secara cuma-cuma. Pemberian bisa berbentuk uang, mobil, tanah, perhiasan, rumah, seks, makanan dan minuman, emas atau perak, saham, perangkat golf?pendeknya hal-hal yang disukai oleh si pejabat.
Pembenaran suap beragam coraknya. Ada yang berpendapat, suap sebenarnya sekadar hadiah di antara kawan, kemurah-hatian yang tak ada hubungan dengan jabatan si penerima, imbalan pengganti tenaga dan pikiran yang telah diberikan oleh si pejabat. Arti suap masa kini merupakan hasil evolusi yang panjang.
Sebagai hakim di pengadilan banding Circuit 9 yang ahli seluk-beluk suap, John Noonan, guru besar ilmu hukum di Universitas California, meneliti berbagai kasus. Kesimpulannya, tidak ada jabatan resmi yang bebas dari korupsi, apakah pejabatnya itu Firaun, Sri Paus, atau politisi.
Timbal Balik
Asas timbal balik atau resiprositas adalah norma dasar yang dianut setiap kebudayaan di sepanjang masa. Lazimnya, penerima hadiah merasa berutang pada pemberi. Menolak hadiah, atau menerimanya tapi kemudian tidak membalas, dianggap sebagai sikap permusuhan.
Namun, memberi hadiah kepada pejabat juga dinilai negatif, yaitu sebagai upaya menjilat, menjalin hubungan, atau mempengaruhi. Seorang penguasa yang menerima sogokan dan tidak membalasnya dengan jasa dianggap tidak bijaksana, tidak adil.
Sejarah suap dibagi dalam empat periode. Dari tahun 3000 SM hingga 1000 M, penguasa pada umumnya merangkap hakim. Di sini sudah muncul ketegangan antara norma yang menganggap hadiah kepada penguasa sebagai hal yang wajar di satu sisi, dan kerinduan akan putusan hakim yang tak berpihak di sisi lain. Di Mesir Kuno dan Mesopotamia, kerinduan semacam ini sudah mulai dirasakan. Ketegangan seperti ini biasanya berakhir dalam putusan-putusan hakim yang tidak adil.
Pada zaman Romawi ketegangan ini terus berlangsung. Istilah "suap" belum muncul, dan penegakan moral antisuap jarang terjadi. Perhatian dan hujatan hampir sepenuhnya ditujukan kepada hakim dan pengadilan. Kemungkinan korupsi di kalangan pembuat undang-undang masih belum terbayang. Menerima uang, tapi kemudian memberi putusan yang salah, sudah mulai dikecam. Tapi menerima hadiah kecil-kecilan dianggap wajar saja.
Yang dikecam adalah penerima suap, sedangkan pemberi suap bebas dari \kutukan masyarakat. Seorang penyuap yang kecewa atas putusan hakim dapat menuntut si hakim ke pengadilan untuk mengembalikan suap yang telah diterimanya.
"Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak niscaya korup," kata Lord Acton. Adagium ini juga berlaku pada gereja. Ketika Kaisar Constantine memeluk agama Kristen, organisasi gereja dan Imperium Romawi menyatu dan kekuasaan Gereja Katolik Roma mulai menggusur bentuk-bentuk kekuasaan yang lain. Mulailah terjadi jual-beli jabatan gereja.
Dimulai sekitar tahun 1000 dan berakhir pada 1550-an, periode kedua ditandai dengan penyebarluasan etika antisuap melalui karya tulis keagamaan, sastra, dan ilmu hukum. Gelombang reformasi mengupayakan penegakan moral antisuap. Kenyataannya, praktek komersialisasi agama terus berkembang dan bahkan menemukan bentuk-bentuk baru.
Saat Perang Salib (1092-1270) umat Nasrani Eropa diwajibkan menempuh perjalanan jauh ke Yerusalem dan mengkristenkan para pemeluk agama lain. Tapi, mereka yang enggan atau tidak sanggup boleh menggantinya dengan membayar sejumlah uang ke kas gereja. Banyak yang menganggap komersialisasi agama seperti ini sama dengan pemerasan dan penyuapan. Reaksi terhadap praktek semacam inilah yang akhirnya memuncak dalam gerakan reformasi.
Dari abad ke-16 sampai ke-18, di Inggris muncul pengarang seperti Geoffrey Chaucer dan William Shakespeare, yang mulai menggunakan kata bribe (suap) dalam tulisan mereka. Bribe diberi arti "memberi hadiah secara korup". Tapi peningkatan kesadaran akan keburukan praktek suap jarang diiringi dengan penuntutan terhadap kasus suap.
Deklarasi kemerdekaan AS pada hakikatnya merupakan protes terhadap korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan Raja Inggris, George III. Raja George senantiasa menetapkan pengangkatan, pemberhentian, dan besar-kecilnya gaji hakim. Itu sebabnya, perintis kemerdekaan AS memisahkan lembaga pengadilan dari kekuasaan pemerintahan. Para hakim diberi gaji cukup besar agar mereka tidak tergoda untuk menambah penghasilannya dari suap. Hakim juga dilarang memangku jabatan lain, sipil ataupun militer, untuk mencegah munculnya sikap purbasangka atau benturan kepentingan.
Dalam periode keempat ini, sekali lagi perhatian terpusat hampir sepenuhnya pada hakim dan pengadilan. Pemerintah dan pembuat undang-undang masih terlepas dari perhatian para perintis kemerdekaan. Padahal, korupsi oleh pembuat undang-undang sudah sering terjadi. Contoh yang mencolok adalah kasus penawaran saham cuma-cuma kepada para senator untuk mengegolkan undang-undang yang menguntungkan jaringan kereta api Union Pacific. Tawaran diterima, dan undang-undang yang menguntungkan Union Pacific disahkan.
Reformasi
Pertengahan abad ke-20 mencatat kemajuan dalam perundangan antikorupsi dan suap. Undang-undang yang menetapkan bahwa pejabat dan karyawan partai politik pun dapat dipidana suap diberlakukan pada 1962. Undang-undang ini kemudian diubah dan diperluas. Setiap orang yang melakukan jual-beli pengaruh politik sehubungan dengan pengangkatan jabatan atau transaksi pemerintah dapat dituntut sebagai pelaku tindak pidana penyuapan. Istri, anak, dan bahkan kekasih juga dapat didakwa bila mengomersialkan pengaruh mereka.
Setelah tahun 1980 bukan hanya si penerima suap, si pemberi pun dapat dipidana karena tindakannya menyabot proses pemerintahan yang sah. Pemerintah memperluas jangkauan perundang-undangan antikorupsi dengan mempertajam gigi undang-undang antimafia dan kejahatan terorganisasi lainnya. Hobbes Act 1946 ditujukan untuk membasmi pemerasan. Undang-undang itu memidana seseorang jika ia memperoleh harta orang lain, walaupun dengan persetujuan orang itu, jika persetujuan tersebut didapatnya dengan menyalahgunakan kekuasaan atau ancaman penggunaan kekuasaan, atau kekerasan, atau dalam suasana kesewenangan jabatan.
Racketeering, Influence, and Corruption Organization (RICO) Act ditujukan untuk membasmi perdagangan gelap. Definisi RICO untuk racketeering adalah "setiap perbuatan yang menyangkut pembunuhan, penculikan, perjudian, pembakaran, perampokan, penyuapan, pemerasan, atau perdagangan narkotik, dan barang lain yang berbahaya".
Dengan diperluasnya jangkauan undang-undang tersebut, para senator, anggota Kongres, polisi, dan bahkan presiden AS pun dapat dituntut berdasarkan undang-undang yang sama untuk menuntut mafia. Terdakwa yang bersalah menurut RICO Act wajib mengembalikan seluruh hasil kejahatannya ditambah bunga terhitung sejak saat tindakan kejahatan tersebut. Orang yang dirugikan karena perbuatan kejahatan RICO harus diberi ganti rugi tiga kali lipat oleh si terhukum.
Antara tahun 1970 dan 1977 lebih dari 400 pejabat pemerintah dan kepolisian diadili atas tuduhan korupsi. Hampir semuanya divonis bersalah. Akhirnya, politisi dan polisi tak lagi kebal hukum.
Tahun 1977 Kongres AS memperluas jaringan undang-undang antikorupsinya dengan mengesahkan Foreign Corrupt Practices Act. Kebetulan, bersamaan dengan itu muncul beberapa skandal tingkat tinggi yang melibatkan perusahaan besar AS di luar negeri, antara lain skandal Lockheed.
Masa Depan Korupsi
Sejarah manusia mengenal perbudakan yang pada awalnya ditentang oleh ajaran moral dan agama, kemudian diperkuat alasan "perlu secara ekonomis", tapi akhirnya menimbulkan amarah moral bangsa-bangsa sehingga kini ditentang secara universal.
Sebaliknya, riba, yang oleh semua agama dikecam, diberi pembenaran sosial-ekonomis yang kuat sehingga berlangsung terus di sektor perbankan (disebut "bunga") dalam batas-batas yang sebagian ditetapkan oleh pasar dan sebagian lagi diawasi oleh undang-undang. Apakah korupsi kelak akan mengikuti jejak perbudakan atau malah memperoleh pembenaran sosial-ekonomis seperti "bunga" bank?
Korupsi dan suap agaknya akan terus dikecam lingkungan yang makin luas karena merupakan tindakan yang memalukan secara universal. Suap menimbulkan ketidaksamaan bukan berdasarkan nilai orangnya, melainkan nilai hartanya. Suap juga merupakan pengkhianatan atas amanat jabatan umum dan kekuasaan, sehingga setiap kebudayaan, Barat atau Timur, Eropa atau Asia, mempunyai undang-undang yang menyatakan korupsi dan suap-menyuap sebagai tindak pidana. Dari sudut pandang agama, memberi dan menerima suap merupakan dosa.
Seperti membersihkan kotoran rumah, begitulah upaya pembersihan keburukan akhlak. Tak kenal lelah, tak kenal lengah bagi kaum "warga pengawas".
(Oren A. Murphy, Nono Anwar Makarim)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini