Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NEGERI dengan selaksa persoalan seperti Indonesia barangkali memang butuh pemimpi. Tapi ada pemimpi yang mengejar cita-cita dengan kerja ilmiah yang bisa dibuktikan, ada pula yang sekadar berilusi.
Untuk yang pertama kita teringat Rudolf Christian Karl Diesel. Di usia 35 tahun, pada 1893, dia menemukan mesin minyak, perkakas yang bisa bekerja dengan bahan bakar nabati—minyak kacang, ganja, atau buah jarak. Temuan ini mengubah paradigma para ahli ketika itu, yang berpikir mesin hanya bisa digerakkan dengan bahan bakar fosil seperti bensin. Atas jasanya, mesin minyak lalu diubah namanya menjadi mesin diesel.
Lahir di Paris, Prancis, dari keluarga perajin kulit asal Jerman, sejak kecil Rudolf dikenal jenius. Pada usia 20, ia menerima medali dari Société Pour L’Instruction Elémentaire, atas beberapa karya ilmiahnya. Sempat tak lulus sekolah teknik mesin dan dirawat di rumah sakit jiwa, ia membuat mesin uap dengan efisiensi tinggi, mesin pembuat es bening, dan mesin penyerap amoniak.
Dalam pidatonya yang terkenal ketika menerima hak paten atas mesin diesel ciptaannya, ia menegaskan pemakaian minyak nabati sebagai bahan bakar saat itu mungkin tidak berarti. Tapi suatu saat, ketika orang berteriak tentang harga minyak dunia yang membubung, minyak nabati akan dicari sebagaimana minyak bumi dan batu bara. Jauh di kemudian hari, ucapan Rudolf terbukti benar.
Untuk yang kedua, sulit untuk tak menyebut Joko Suprapto. Pria 48 tahun ini bermimpi membuat bahan bakar minyak dari air. Seperti apa proses pembuatannya, tak jelas betul. Yang pasti, ia berhasil meyakinkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan kalangan Istana. Adalah Presiden sendiri yang memberi nama (calon) produk ajaib itu ”Minyak Indonesia Bersatu”—sesuatu yang, aha, mengingatkan kita pada slogan kampanye.
Strategi lalu disiapkan: miliaran rupiah dikumpulkan, belasan hektare lahan dibentangkan. Target dipatok: membuat blue energy, nama lain ”minyak persatuan”, bisa diproduksi secara massal. Joko lalu memberikan janji yang membuat Presiden bungah: pada Mei 2008, tepat seabad usia Kebangkitan Nasional, lelaki yang tak jelas pendidikannya itu akan memulai proyek mimpinya.
Kita tahu cerita selanjutnya. Joko menghilang. Desas-desus beredar: ia diculik. Orang dekat Yudhoyono curiga ia disekap mafia minyak dunia yang terancam bisnisnya oleh temuan Joko. Mereka mungkin teringat Rudolf Diesel yang tewas secara misterius ketika berlayar dari Prancis ke Inggris pada 1913. Kabarnya, ia terjatuh ke laut dan tenggelam. Lima hari kemudian jasadnya baru ditemukan. Ada yang menduga Rudolf mati karena persaingan bisnis otomotif. Istana barangkali tak ingin kisah Rudolf terulang: mereka mengirim Detasemen Khusus Antiteror untuk mencari Joko. ”Sang penemu” ternyata tengah tergolek di rumah sakit.
Dengan akal sehat kita bisa mengatakan, proyek ”minyak persatuan” itu hanya bualan. Secara teori, energi memang bisa diperoleh dengan memecah unsur hidrogen dan oksigen di dalam unsur air. Tapi proses pemisahan membutuhkan energi lain yang tak murah. Gas hidrogen yang dijual di pasar tak diperoleh dari proses elektrolisa tapi melalui pemanasan gas alam seperti propana, metana, dan etana.
Rupanya, Istana telanjur terpukau. Setelah huru-hara raibnya Joko, Presiden kabarnya masih memberikan kesempatan agar proyek itu dilanjutkan hingga Agustus 2008. Harapannya, siapa tahu, abrakadabra, energi biru muncul pada Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Mungkin saja optimisme itu dipelihara karena Presiden prihatin dan ingin mencari solusi atas melambungnya harga minyak dunia. Sekalian: jika proyek ini berhasil, jangankan rakyat di dalam negeri, dunia pun akan menoleh kepadanya. Di tengah rongrongan hebat kelompok ”oposisi” akibat keputusan menaikkan harga bahan bakar, ”minyak persatuan” agaknya diharapkan Istana menjadi senjata pamungkas untuk merebut hati rakyat.
Punya mimpi tentu tak ada salahnya. Tapi pemerintah punya cara-cara elegan untuk mewujudkan mimpi itu. Dalam kasus ini, Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, sejumlah ahli, patut diminta meneliti kebenaran proyek berbau sulap itu. Tidak semua urusan mesti ditangani langsung oleh Presiden. Dengan meminta para pembantunya meneliti dulu berbagai proposal, ia bisa terhindar dari kemungkinan tertipu proyek yang tak jelas juntrungannya. Presiden pilihan rakyat itu mesti diselamatkan dari rayuan para pembisik tak bertanggung jawab.
Presiden pun mestinya tidak terburu-buru memberikan simbol— minyak persatuan, kebangkitan nasional, sumbangan Indonesia pada dunia—untuk sesuatu yang masih di awang-awang. Satu prinsip dasar yang mesti dipercayai siapa pun: tak ada penemuan besar yang dasarnya hanya sulapan.
Setiap zaman punya keedanannya sendiri. Krisis minyak dunia yang dilawan dengan simsalabim dan abrakadabra mungkin salah satunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo