Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KADANG kala, kemudaratan besar muncul dari mimpi yang luhur.
Di Kamboja, tiga dekade silam, tepatnya pada 1979, Pol Pot menancapkan sebuah pancang raksasa. Dari sebuah titik nol itu, ia dan kawan-kawan Khmer Merahnya mau menguburkan masa lalu yang korup, busuk, dan kotor. Membangun masyarakat baru yang adil-makmur, dengan kelas buruh taninya yang bebas dari segala eksploitasi.
Di Afganistan, pada 1996, Kabul jatuh ke tangan Taliban. Sejak itu, Taliban yang berkuasa tak mengalihkan pandangannya dari satu model: masyarakat islami, lepas dari Barat yang materialistis, egoistis, eksploitatif, dan hedonistis. Membebaskan masyarakat Afganistan dari penyakit-penyakit sosial, buah peradaban kapitalistis modern, seraya mengembalikan nilai-nilai lama. Dan itu bisa ditempuh melalui jalan apa pun: dari yang sifatnya superfisial hingga yang fatal.
Maka, di Afganistan, Taliban cepat memerangi para penentang ide itu, menggerakkan polisi moralnya untuk mengawasi perempuan membungkus tubuhnya baik-baik, melarang perempuan kuliah di universitas, dan memaksa lelaki memelihara jenggot. Di Kamboja, Khmer Merah mendirikan panggung mengerikan atau killing fields—tempat mereka membantai orang yang tidak sehaluan atau yang dianggap menghalangi niat luhur itu. Dan di Indonesia, di Bali, sekelompok orang meledakkan klub malam pada 2002, menewaskan 202 orang turis dan warga sendiri. Lantas berturut-turut giliran Hotel Marriott (2003), Kedutaan Besar Australia (2004), dan Bali lagi (2005).
Memang mereka bukan Khmer Merah yang sebentar lagi akan diadili di Kamboja, dan mungkin tak persis sama dengan Taliban yang masih bergerilya di Afganistan Selatan. Yang menyatukan mereka hanyalah keyakinan bahwa dunia harus diubah secara drastis.
Dunia tempat kita berteduh menyimpan banyak ketidakadilan. Tapi itulah dunia yang tidak pernah sepi dari eksperimen mendirikan masyarakat yang ideal serta menyingkirkan segala hal yang dianggap busuk. Dari penyelidikan selama ini, pelakunya bisa siapa saja, bisa berpenampilan sangar, bisa lemah lembut. Ia ada di antara kita dengan aneka profesi, dari tukang jahit, tukang servis elektronik, hingga guru mengaji. Dan tentang Abu Dujana serta Zarkasih—dua tokoh penting organisasi Jamaah Islamiyah—yang membedakan mereka dari anggota masyarakat lain adalah hal yang bersembunyi dalam pikirannya: mereka orang yang hidup dengan mimpi luar biasa itu.
Abu Dujana atau Ainul Bahri dikenal sebagai orang yang baik dan santun. ”Dia juga pendiam dan sabar,” kata pamannya. Tapi polisi punya catatan lain. Dujana diyakini ikut merancang Bom Bali I dan menjalani latihan militer di Afganistan. Pengalaman internasionalnya pun luas: ia pernah menjadi instruktur di Peshawar, Pakistan, dan di Mindanao, Filipina Selatan. Dujana pandai berbahasa Inggris dan Arab. Yang terang, ia diyakini menempati posisi istimewa setelah kematian Azahari Husin dalam suatu tembak-menembak dua tahun lalu.
Zarkasih alias Nuaim juga punya pengalaman internasional yang luas. Tiga tahun ia menjadi instruktur di Afganistan dan melatih di Mindanao, Filipina Selatan. Sepulang ke Indonesia, ia menjadi salah satu sesepuh Jamaah Islamiyah. Belakangan, Zarkasih terpilih sebagai Amir Darurat Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara. Sama dengan Dujana, oleh tetangganya di Ngaglik, Sleman, Zarkasih dikenal sebagai pedagang roti yang ramah.
Mungkin kita dapat meraba situasi macam apa yang diciptakan dan kemudian dihadapi Abu Dujana, Zarkasih, dan kawan-kawan. Sekelompok orang berhasil menemukan akar keangkaramurkaan, lalu segalanya berhenti di situ. Mereka menumpahkan segenap kesalahan dan keburukan di muka bumi ini pada hal itu, sehingga tak ada lagi ruang buat mengetahui kesalahan sendiri. Padahal dunia tidak akan berubah seandainya kita juga tidak pintar mengkritik diri sendiri. Buku biografi Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, bisa bercerita banyak untuk menjelaskan fenomena ini.
Kini banyak pujian ditujukan kepada tim antiteror kepolisian, setelah dua pentolan jaringan Jamaah Islamiyah Asia Tenggara, Abu Dujana dan Zarkasih, dapat ditangkap. Tentu saja ini merupakan kemajuan hebat dibanding saat pertama kali Indonesia menghadapi teror bom, tahun 2002. Ya, setelah Bom Bali II, 2005, polisi berhasil menangkap beberapa tokoh penting Jamaah Islamiyah.
Dan sejauh ini, polisi juga telah membuktikan bahwa perang melawan teroris bukan saja perang menaklukkan, tapi juga menyadarkan. Persuasi melalui kerabat dekat dan tokoh lokal karismatis mungkin tak akan berarti bagi sosok seperti Abu Dujana dan Zarkasih. Namun itulah instrumen yang efektif mengembalikan mereka yang terbuai mimpi bahwa hidup lebih baik setelah musuh dilumpuhkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo