Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Ada Bebek di Gedung Wakil Rakyat

Pengunjuk rasa di Jakarta membawa sebelas bebek untuk mengejek anggota DPRD DKI Jakarta yang masih mencalonkan Sutiyoso.

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGUNJUK rasa sekarang ini semakin kreatif. Rabu pekan lalu, Forum Antar Warga Kota menyampaikan aspirasinya ke Gedung DPRD DKI Jakarta dengan membawa sebelas bebek yang sudah dikalungi dasi. Bebek itu dimaksudkan untuk mengejek anggota DPRD yang cuek bebek ketika ada tekanan dari atas untuk mengegolkan pencalonan Sutiyoso sebagai Gubernur DKI Jakarta untuk masa jabatan yang kedua. Lewat bebek itu, pengunjuk rasa juga menyindir anggota dewan yang hanya membebek (ikut begitu saja) dan tidak punya pendirian. Mungkin para pengunjuk rasa telah letih dengan cara-cara biasa: membawa poster, berorasi dengan berteriak-teriak, dan sejenisnya. Keletihan itu melahirkan ide dengan membawa binatang yang sebenarnya banyak dijadikan simbol baik, simbol toleransi dan kesabaran untuk selalu antre kalau berjalan. Penggunaan simbol binatang untuk aksi unjuk rasa memang sudah sering dilakukan sebelumnya. Misalnya, untuk menyindir sebuah institusi yang lemah, pengunjuk rasa membawa ayam betina—sebuah simbol yang sempat diprotes kaum wanita yang berjuang tentang kesetaraan gender. Pekan lalu, mahasiswa Institut Pertanian Bogor juga membawa tikus—selain tahi sapi—ketika berunjuk rasa ke Gedung MPR. Persoalannya: apakah sudah menjadi kenyataan para anggota DPRD DKI Jakarta cuek bebek atau hanya membebek ketika nama Sutiyoso disodorkan sebagai calon gubernur? Sampai saat ini, pemilihan gubernur belum berlangsung. Sutiyoso memang menjadi calon unggulan yang diajukan Fraksi PDI Perjuangan, sebagai fraksi yang terbesar di DPRD DKI, lalu didukung Fraksi Golkar dan Fraksi PPP—meski dengan pasangan wakil gubernur yang berbeda. Tapi jalan Sutiyoso belum lapang. Laporan pertanggungjawaban sebagai gubernur di masa jabatannya yang pertama baru pekan ini diputuskan oleh dewan, apakah diterima atau ditolak. Jika pertanggungjawaban itu ditolak, pupuslah harapannya untuk melenggang ke masa jabatannya yang kedua. Jika diterima, itu pun belum memastikan Sutiyoso bakal dengan mudah menduduki jabatan kursi gubernur lagi. Beberapa anggota dewan dari Fraksi PDIP menyatakan bahwa pencalonan Sutiyoso oleh fraksinya belum mencerminkan dukungan semua anggota. Kalau benar itu yang terjadi, pemilihan gubernur bisa menghasilkan hal yang tidak terduga, yaitu calon dari sebuah fraksi tidak didukung oleh anggota fraksinya sendiri. Urusan membelot ini bisa positif jika anggota dewan itu menuruti hati nuraninya sendiri dan mendasarkan pilihannya pada aspirasi yang berkembang di masyarakat. Tapi belot-membelot ini bisa juga dalam konteks negatif, misalnya anggota dewan itu terkena suap. Apa sanksi terhadap pembelotan ini? Tidak ada, karena sistem recall tidak ada lagi di kalangan DPRD ataupun DPR. Pada tingkat pemilihan bupati, pembelotan seperti ini sudah sangat lazim. Di Bali, dua pemilihan bupati yang terakhir sama-sama dengan pembelotan. Bupati Jembrana yang terpilih bukanlah jago yang diusulkan Fraksi PDI Perjuangan. Begitu pula Bupati Buleleng. Padahal calon yang diusulkan Fraksi PDI Perjuangan ini sudah dengan tekanan gencar dari para pemimpin PDIP di Bali, bahkan sudah dengan restu PDIP di pusat dengan tanda tangan Ketua Umum Megawati Sukarnoputri. Tapi, ketika terjadi pemilihan, anggota Fraksi PDI Perjuangan yang mendominasi dewan memilih calon yang diajukan fraksi lain. Terlepas apakah itu dalam konteks yang positif atau ada unsur suap, yang jelas persoalannya lancar-lancar saja. Tak ada sanksi recall. Yang diminta mundur adalah Ketua PDI Perjuangan setempat karena tidak berhasil "menekan" anggota fraksinya. Apakah hal seperti ini tak mungkin terjadi di DPRD DKI Jakarta? Kemungkinan itu bisa saja terjadi dan kewajiban elemen masyarakat Jakarta untuk meyakinkan anggota dewan kalau memang ada calon yang lebih baik dari Sutiyoso. Jadi, masih ada jalan, dengan atau tanpa membawa bebek.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus