Ada beberapa "bom waktu ekonomi" yang mengancam Indonesia, dua di antaranya berupa masalah pengangguran dan buruh migran. Dalam kaitan ini, musibah yang menimpa ratusan ribu tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia sepanjang pekan silam hanyalah awal dari rentetan ledakan yang sangat mungkin terjadi di masa depan yang dekat. Hal ini perlu dikemukakan—bukan untuk menakut-nakuti, melainkan sekadar memastikan apakah kita sudah bersiap-siap untuk meredam ledakan itu atau tidak.
Dalam bentuk konsep, persiapan itu tampaknya belum ada. Departemen Perindustrian dan Perdagangan memang berencana membentuk crisis center, tapi kerangkanya belum jelas benar. Di sektor riil, juga belum terlihat pembukaan lapangan kerja yang menjanjikan. Kelesuan swasta tentu bisa dikembalikan pada sikap ketat sektor perbankan dalam menyalurkan pinjaman. Tapi ketidakcekatanan pemerintah dalam menangani pengangguran berikut ledakan TKI ilegal di Malaysia sungguh sangat merisaukan kita. Paling tidak, itulah yang dirasakan oleh sekitar 1,6 juta pekerja Indonesia di Malaysia—70 persen di antaranya ilegal—yang diharuskan meninggalkan negeri itu di bawah ancaman hukuman cambuk, hukuman penjara, berikut denda 10 ribu ringgit.
Sebagaimana luas diberitakan sepanjang pekan silam, pemulangan itu terjadi ketika Akta Imigrasi No. 115 Tahun 2002 diberlakukan di Malaysia. Penerapannya ditunda satu bulan (1 September 2002). Namun, akta tersebut sempat menghadiahkan sejumlah kesengsaraan bagi TKI, baik ketika masih berada di Malaysia maupun setelah tiba di Indonesia. Ketika Presiden Megawati Sukarnoputri dan PM Mahathir Mohamad berunding di Istana Tampaksiring, Bali, Kamis pekan lalu, pada waktu itu juga masih tersisa ribuan TKI gelap yang berusaha pulang ke Indonesia. Tampaknya mereka tidak siap untuk pulang—mungkin karena upahnya belum dibayar penuh. Namun, yang pasti mereka harus menghindar dari penjara, cambuk, dan denda. Pilihan lain tak ada, kecuali bila mereka dibekali dokumen resmi dan skill yang oleh pihak sana memang sangat dihargai.
Anehnya, justru persyaratan dokumen itu dijadikan alasan utama oleh Mahathir untuk menolak usul Indonesia agar 300 ribu TKI gelap yang masih tersangkut di Malaysia tak perlu dipulangkan, sedangkan statusnya segera diputihkan (diberi izin kerja). Proses pemutihan pernah dilakukan sebelumnya. Jadi, itu bukan hal baru bagi Malaysia. Namun sampai di sini, perundingan itu terasa berubah menjadi antiklimaks, tak lain karena Mahathir tidak sudi beranjak sedikit pun dari persyaratan dokumen, sementara Indonesia hanya bisa gusar, kecewa, dan tidak berdaya.
Konflik Indonesia vs Malaysia seputar TKI gelap sudah meletup berkali-kali sejak 1982, tapi "pengusiran di bawah ancaman cambuk" memang baru pertama kali ini terjadi. Mengapa Mahathir berubah sikap—setelah 20 tahun "tutup mata" akan kehadiran TKI gelap—agaknya bisa dikembalikan ke laju pertumbuhan ekonomi Malaysia, yang tahun ini cuma 1 persen, sedangkan pengangguran naik 3,7 persen. Di bawah tekanan yang riil ini, upaya mengusir TKI ilegal memang solusi paling mudah dan pasti sukses.
Apa pun masalahnya, Indonesia harus bisa menerima penjelasan Mahathir—diucapkan dengan penuh kesungguhan dalam konferensi pers—sebagai pernyataan yang tulus dari seorang sahabat. Kita sepatutnya menelan pil pahit pengusiran TKI ini dengan legawa dan instrospeksi. Masih terlalu banyak pekerjaan rumah yang dihadapi, mulai dari mengurus kepulangan ratusan ribu TKI ke rumahnya masing-masing, menyusun RUU Buruh Migran yang benar-benar dirancang untuk melindungi TKI, sampai menyiapkan jawaban bagi masalah ledakan pengangguran yang sudah sangat mendesak itu. Kita telah sampai pada momentum yang tepat untuk melakukan semua secepatnya. Dan di bawah ancaman "bom waktu pengangguran", jelas kita tidak punya alasan untuk menunda-nunda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini