Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ada dukun di belakang kamerun?

Peta kekuatan sepak bola piala dunia di italia terjungkir balik. umumnya pemain bintang tak bermain di negaranya. piala dunia jadi arena jual-beli pemain. muncul sistem pressure football.

30 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOLA memang bundar. Dan ke mana bola akan bergulir, susah diramalkan. Semua ini terbukti dalam perebutan Piala Dunia kali ini. Peta kekuatan sepak bola dunia terjungkir balik. Siapa nyana, Kamerun -- yang kini digelari "singa Afrika" bisa menjadi tim pertama yang meloloskan diri ke babak seperempat final? Bukan tidak mungkin Kamerun -- yang selalu tampil konsisten -- akan bisa merebut salah satu tempat di partai semifinal. Kamerun agak aneh. Kalau salah seorang pemainnya, Roger Milla, belum masuk, mereka sepertinya tak mau bikin gol, seakan-akan mereka puas dengan hasil draw di babak pertama. Semua kesebelasan yang bermain lawan Kamerun seperti mengha- dapi lawan berat. Padahal permainan Kamerun tak berkembang, seragamnya pun tak menarik. Ada dukun di belakangnya? Kekalahan Belanda dan Brasil atas Jerman Barat dan Argentina juga mengejutkan. Brasil dan Belanda sebenarnya layak tampil dalam semifinal. Tapi, apa boleh buat, bola memang bundar. Italia jadi favorit karena dia tuan rumah, bukan karena faktor tim. Kalau Italia bukan tuan rumah, mungkin sudah tersingkir, karena mainnya monoton, tak bervariasi, tradisional. Tapi ketika menang 2-0 atas Ceko-Slovakia, kelemahan-kelemahan itu seakan lenyap. Sebenarnya, saat ini Italia bisa membentuk dua tim dengan kualitas yang sama karena banyaknya pemain bagus yang mereka miliki. Mengenai Inggris, ini tim yang baik dengan manajer buruk. Pemain Inggris sebenarnya bagus, tapi karena hubungan pelatihnya, Robson, dengan pemain buruk, maka apa yang dimaui Robson sulit terwujud. Karena tak ada koordinasi itulah, tak bisa diharapkan prestasi yang maksimal dari negeri asal-muasal sepak bola ini. Adapun Belanda, ternyata merupakan petasan besar yang letusannya kecil. Kelihatannya pelatih Belanda Leo Beenhakker tak cocok dengan pemain-pemainnya, terutama dengan Marco van Basten. Atau memang persiapan pemain yang kurang. Terbukti kemudian sang juara Eropa ini harus cepat-cepat angkat kopor karena didepak Jerman Barat Senin dini hari lalu. Rata-rata para bintang yang diunggulkan, seperti Maradona, Gullit, Van Basten, Careca, tak bermain di negaranya sendiri. Apakah faktor ini yang dominan kali ini? Dalam kejuaraan kali ini terasa betul bahwa begitu banyak pemain bintang yang tak bermain di negaranya sendiri, mulai dari Maradona, Careca, Lothar Matthaeus, dan Klinsmann. Ini tampaknya termasuk strategi. Italia, misalnya, seperti sengaja membeli para pemain top dengan dua sasaran. Pertama, meningkatkan mutu permainan untuk menghadapi kejuaraan. Kedua, untuk mengetahui pola permainan para pemain top itu sendiri. Mengapa pemain yang tak bermain di negeri sendiri berpeng- aruh terhadap permainan tim? Mereka jarang menyertai tim nasional, sehingga iramanya terasa kurang kompak. Pemain yang dikontrak oleh kesebelasan negara lain tak bisa seenaknya diminta oleh negara asal Jadi, mereka kurang berlatih bersama, kurang komunikasi dengan pelatih, tim jadi kutang kompak. Inilah antara lain dampak industri sepak bola. Lihatlah para pemain Eropa Timur. Dalam kejuaraan paling besar ini tampaknya mereka lebih banyak berusaha masuk dalam bursa persepakbolaan. Mereka berusaha keras bermain baik agar diincar klub-klub terkemuka. George Hagi dikabarkan akan dikontrak sebuah klub Spanyol. Sedang Skhuravy, pemain nomor 10 dari Ceko-Slovakia, kini sedang bernegosiasi dengan klub Queen Park Rangers dari Inggris. Memang Piala Dunia ini merupakan bursa jual-beli pemain dan manajer atau pelatih. Pelatih Brasil Lazaroni kabarnya akan dikontrak klub Fiorentina di Italia seusai Piala Dunia. Lobanovski, manajer tim Uni Soviet itu, konon sedang tawar-menawar dengan Lazio, salah sebuah klub di Italia juga. Yang patut dicatat, tak satu pun bintang sepak bola dunia seperti Maradona dan Rudd Gullit mampu menempatkan diri sebagai top scorer. Yang muncul justru nama-nama baru, seperti Michel (Spanyol), Roger Milla (Kamerun). Tim Asia punya kelemahan sendiri, dalam hal kompetisi. Kompetisi di sini biasanya banyak dilakukan di dalam negeri saja. Lain dengan pemain Afrika yang rata-rata bermain untuk klub antarbenua, hingga sikap mereka juga lain. Delapan dari sebelas pemain Kamerun bermain di Prancis. Brasil, 50% pemainnya bermain di Portugal atau Italia. Uruguay dan Argentina juga begitu. Yang mencolok dari kejuaraan dunia kali ini ialah hilangnya ciri khusus dari suatu kesebelasan. Dulu kita kenal Italia dengan cattenaccionya, tapi sekarang hal itu tak nampak lagi. Belanda dengan total footballnya, sekarang tak kelihatan lagi. Kemudian, Inggris dengan kick and rush, sekarang sudah menunjukkan pola permainan yang lain. Team worknya kelihatan seperti pola permainan kesebelasan terkemuka negeri itu, Liverpool. Sementara itu, Brasil kini membuat revolusi dengan punya pemain libero. Hilangnya ciri khusus itu, menurut saya, antara lain karena industri sepak bola sekarang ini sudah sangat maju. Jadi, hubungan klub dengan fansnya sangat kuat. Kesebelasan yang baik akan digemari para fans. Pemain harus menunjukkan atau membuat skor yang baik. Hal itulah yang menjadi trend sehingga seorang pemain dituntut untuk mempunyai keterampilan yang baik. Dengan demikian, produktivitasnya juga akan tinggi. Agar memiliki produktivitas yang tinggi, mau tak mau, mereka harus mempunyai pola permainan ofensif. Begitu, logikanya. Dan industri sepak bola itulah yang menata seorang pemain menjadi seperti seorang Gullit. Agar klub semakin besar dan digemari, berarti dapat mengeruk keuntungan bagi kas perusahaan Era sekarang adalah football is industry. Perubahan pola permainan itu karena pelatih terpengaruh oleh tipe permainan dua tiga tahun belakangan ini. Kita lihat, counter attack sekarang ini sudah tak menarik lagi. Malah sekarang tim cenderung bermain 11 orang. Serangan setiap kesebelasan itu dibangun dari bawah. Dan mereka tak mau menahan bola terlalu lama. Sekarang memang zaman sepak bola ofensif. Inggris pernah melakukannya dengan menambah biji kemenangan menjadi tiga (bukan dua seperti lazimnya) dalam kompetisi sehingga orang terangsang menyerang, dan enggan bermain imbang. Maka, mazhab yang paling menonjol saat ini ialah killing football, atau pressure football. Pokoknya, pemain harus mengejar dan mendapatkan bola. Sekali menyentuh bola, jangan lepaskan. Siapa mendapat bola dialah yang bakal menang. Kalau kita perhatikan, rata-rata kesebelasan yang memakai pola killing football tak mundur kalau diserang. Dia coba dulu mencegat sedini mungkin. Pola ini membuat pertandingan jadi lebih enak ditonton. Dan inilah yang "menyihir" kita dalam beberapa pekan terakhir ini. * Pengamat dan komentator sepak bola

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus