Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Agar Tak Terulang

28 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Oleh: Nono Anwar Makarim

Banyak orang cemas bahwa pengadilan para jenderal yang dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur tidak akan membawa hasil memuaskan. Almarhum Carlos Santiago Nino, penasihat hukum Presiden Raul Alfonsin dalam penyelenggaraan pengadilan para jenderal di Argentina, berkata bahwa semakin lama jarak waktu antara perbuatan kejahatan dan penggelaran peradilan, makin kecil sukses pengadilan tersebut. Makin panjang proses pengadilan berlangsung, kian redup antusiasme dukungan masyarakat. Dukungan masyarakat juga banyak ditentukan oleh kesan tak berpihaknya pengadilan. Di Argentina, kesan bahwa pengadilan tidak berpihak tampak dalam kebijakan bahwa bukan hanya para jenderal yang diadili, melainkan juga pihak lawannya, gerilyawan kiri. Laporan penemuan KPP HAM tentang pelanggaran hak asasi di Tim-Tim harus diterbitkan.

Buenos Aires Bukan Dili

Dalam masalah pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur, struktur kasusnya berbeda dengan kasus Argentina. Skalanya berbeda, intensitasnya lain, lokasinya post-facto pun lain. Perbuatan yang dituduhkan tidak dilakukan di dalam yurisdiksi pengadilan dalam negeri yang diakui oleh hukum internasional. Dampak perbedaan ini sangat besar bagi dukungan masyarakat.

Pertama, ada perasaan tidak diperlakukan adil oleh dunia internasional. Skala dan intensitas pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur tidak sama dengan skala dan intensitas kejahatan di Bosnia, Kosovo, ladang pembantaian Kamboja, dan di seribu bukit Rwanda. Barangkali itu sebabnya pengadilan internasional tak terlalu didesakkan kepada pemerintah Indonesia. Kedua, ada kesan bahwa masyarakat internasional hanya ”berani” kepada negara kecil dan lemah.

Ketiga, di kalangan polity Indonesia, yaitu birokrasi pemerintahan, militer, jaksa, hakim, dan polisi, masih tebal keyakinan bahwa kaum militer diperlakukan tidak adil di negerinya sendiri. Mereka dianggap alat yang terus-menerus digunakan oleh pemimpin negara. Kalau terjadi kesalahan, yang dituding bukan pemimpin negaranya, melainkan alatnya. Kasus penahanan Augusto Pinochet di Inggris menunjukkan bahwa sekarang bukan zamannya lagi untuk mempertahankan kekebalan hukum kepala negara. Keempat, dukungan terhadap penyelenggaraan pengadilan para jenderal terlalu dikesankan sebagai tuntutan ”luar negeri”, sebagai ancaman ”kalau tidak, akan diadili di pengadilan internasional”. Ini tidak membantu upaya memperluas dukungan rakyat. Ia bahkan menimbulkan reaksi negatif di media kita ketika meliput kejadian-kejadian di Tim-Tim pra dan pascajajak pendapat. Laporan penemuan Komnas HAM harus diterbitkan.

Kelima, pengadilan para jenderal tidak bisa menunjukkan kesan tak berpihak. Sebab, pihak lawan para jenderal, yaitu mereka yang menyebabkan korban di kalangan TNI berjatuhan, tidak bisa diadili oleh pengadilan dalam negeri. Para pejuang Fretilin, Falentil, dan para aktivis CNRT bukan lagi warga negara Indonesia. Nunca Mas, buku laporan yang berisi kesaksian tentang 7.000 orang hilang, diterbitkan dan menjadi bestseller di Argentina. Laporan penemuan KPP HAM tentang pelanggaran hak asasi di Tim-Tim tetap harus terbit.

Mana Forumnya?

Bila nanti undang-undang baru tentang pengadilan hak asasi manusia disahkan DPR, jelas sudah pengadilan mana yang berhak mengadili para jenderal yang dituduh mendalangi pelanggaran hak asasi di Tim-Tim. Di Argentina, pengadilan terhadap Jenderal Videla, Laksamana Massera, dan pelanggar hak asasi yang berasal dari militer diserahkan kepada mahkamah militer dengan kebebasan sepenuhnya untuk naik banding ke mahkamah sipil. Konon, pemerintah Alfonsin menyesalkan kebijakan ini karena terbukti bahwa para hakim di mahkamah militer mendemonstrasikan secara mencolok keengganan mereka mengadili rekan-rekannya seangkatan.

Memang serba salah. Menyerahkan perwira tinggi militer kepada pengadilan sipil akan lebih jauh memurukkan militer, yang semangatnya sudah terperosok karena kalah perang Malvinas. Padahal, setiap negara berdaulat membutuhkan militer yang punya semangat tinggi. Jalan tengah yang ditempuh Presiden Alfonsin saya anggap mencapai hasil maksimal dalam keadaan yang serba sulit: pengadilan instansi pertama adalah pengadilan militer, lembaga bandingnya adalah pengadilan sipil. Bagi Indonesia, barangkali dapat dipertimbangkan suatu majelis hakim yang terdiri atas hakim militer dan hakim sipil.

Hendaknya tidak hanya berhenti di situ. Hukum yang digunakan juga selayaknya hukum sipil bila menyangkut kejahatan atau pelanggaran hukum yang diatur dalam hukum pidana kita. Perlu dicatat, hal itu bukan pertama kali dilakukan oleh suatu mahkamah militer di Indonesia. Mahkamah militer Belanda pada masa kolonial juga menerapkan hukum pidana dalam mengadili tak kurang dari 10 ribu kasus kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan tentara Belanda di Indonesia. Laporan berjudul Excessen Nota dalam hal ini sangat berguna untuk dipelajari oleh para pembela dan jaksa Indonesia dalam mengantisipasi kasus-kasus serupa di Indonesia. Dan laporan penemuan KPP HAM tentang pelanggaran kasar hak asasi di Tim-Tim harus dijadikan bacaan umum.

Mana Buktinya?

Pengadilan penjahat perang, pengadilan kejahatan terhadap kemanusiaan, apakah di Tokyo, di Nurenberg, di Den Haag, ataupun di Arusha, adalah peradilan pihak yang kalah perang oleh yang menang perang, peradilan pihak yang sudah bertekuk lutut oleh pihak yang berdiri tegak. Karena itu, setiap pembuktian yang menjatuhkan putusan ”bersalah” atas seorang tertuduh harus benar-benar meyakinkan, benar-benar bebas dari keraguan yang lumrah.

Dalam kasus Alfred Musema, ”Algojo dari Kibuye”, Rwanda, majelis hakim berkali-kali mengutip putusan-putusan mahkamah penjahat perang di Tokyo untuk membenarkan penafsirannya tentang apa yang merupakan evidence (bukti awal) dan proof (bukti). Penafsiran itu, dan saya duga ini sudah menjadi tradisi di pengadilan semacam itu, berat berpihak pada kesaksian para korban. Meski banyak kecurigaan terhadap mudahnya perekayasaan kesaksian untuk menjebloskan seorang terdakwa yang tak disukai ke penjara, saya tidak melihat jalan lain untuk menemukan keadilan bagi para korban kekejaman dan kekerasan.

Dalam penyiksaan, dalam pemerkosaan, dalam eksekusi di tempat, dalam pembantaian, tidak ada bukti tertulis, kecuali bila sang algojo membuat laporan tertulis dan laporan tersebut lupa dimusnahkan (seperti satu kasus di Brasil dan satu lagi di Yugoslavia). Yang ada hanya saksi mata, atau korban yang tidak terbunuh. Paling banter ada secarik laporan pemeriksaan dokter. Hal ini lumrah saja. Baru ketika kesaksian pihak korban dikonfrontasi dengan bukti tertulis pihak terdakwa dan majelis hakim memenangkan kesaksian, muncullah kontroversi yuridis yang mengguncangkan dunia hukum internasional. Alfred Musema, direktur pabrik teh di Rwanda, divonis oleh majelis hakim yang terdiri atas tiga orang: dua orang berasal dari sistem hukum Anglo-Amerika, seorang dari sistem Eropa kontinental.

Putusan tiga orang itu, yang berbuntut dalam dua pendapat yang menyimpang (dissenting opinion), cukup membuktikan kontroversi hukum yang timbul. Hakim dari negara ”Nordik” Eropa Utara tidak setuju dengan pengesampingan bukti tertulis oleh kesaksian. Hakim dari sistem Inggris, yang berpendapat berbeda dengan opini majelis, menganggap majelis terlalu toleran terhadap bukti tertulis.

Sistem Eropa kontinental lebih menekankan aspek formal dalam hukum acara tentang pembuktian. Sistem Inggris tidak demikian. Indonesia adalah ahli waris sistem kontinental. Dunia pengadilan kita lebih menyerupai birokrasi ketimbang tempat memohon keadilan. Birokrasi semacam itu menyeret aspek formal hukum kontinental ke sudut yang amat ekstrem. Siapa sarjana hukum yang bisa melupakan kasus seorang debitor bank yang diputus secara menggelikan oleh hakim pengadilan negeri kita? Yang diteliti oleh hakim bukanlah apakah benar telah terjadi utang yang wajib tetapi tidak dibayar, melainkan apakah semua syarat formal telah dipenuhi. Hakim memutus bahwa utang itu harus dianggap tidak ada karena perjanjian utang tidak didaftarkan pada instansi keuangan negara, titik.

Putusan hakim dalam kasus Alfred Musema mengkhawatirkan, bukan hanya karena ia mengesampingkan bukti tertulis, tapi juga karena ia pasti akan digunakan sebagai preseden dalam mengadili kasus-kasus lain di kemudian hari. Putusan para hakim di Jakarta mencemaskan karena formalitas sistem hukum yang dianutnya membuat diri mereka buta terhadap kebenaran dan keadilan. Tapi, laporan penemuan KPP HAM tentang Tim-Tim tetap harus terbit.

Bakar!

Keterlibatan anggota TNI dalam tindak kekerasan di Tim-Tim tampaknya sulit disangkal. Ada potret, ada film, dan ada kesaksian yang berlomba-lomba membuktikan bahwa anggota TNI turut melakukan aksi kekerasan. Kita mendengar, dalam setiap satuan militer di mana pun di dunia ada suatu sistem pertanggungjawaban yang dianut. Yang bisa dipertanggungjawabkan atas tindakan seorang anak buah adalah: pertama, anak-buah itu sendiri; kedua, atasannya langsung; dan ketiga, atasan langsung dari atasan langsungnya. Jadi, sampai dua pangkat di atas pelakunya. Ini tampaknya tak memuaskan bagi pencari keadilan di luar dan di dalam negeri.

Mereka bernafsu melihat para jenderal dijebloskan ke penjara. Untuk itu, sudah disiapkan skenario bahwa pembakaran dan pengungsian paksa setelah hasil jajak pendapat diumumkan adalah perbuatan yang dilaksanakan secara ”sistematis”, bukan sekadar reaksi spontan suatu kelompok masyarakat yang marah. Kata ”sistematis” berarti bahwa kebijakan ”bumi hangus” dan pengungsian paksa telah direncanakan dan diperintahkan pelaksanaannya oleh pimpinan TNI melalui garis komando TNI. Dalam skenario seperti ini, tradisi ”dua pangkat ke atas” tidak terpakai lagi. Hanya jenderal yang merencanakan dan memerintahkan yang mempunyai garis komando operasi. Sudah tentu skenario semacam ini harus dibuktikan.

Untuk menghadapi skenario ini, bisa diajukan kebiasaan kultural orang Indonesia, baik rakyatnya maupun tentaranya, untuk mengamuk. Dari Sabang sampai Merauke, pemarah Indonesia membakar rumah, gedung, lumbung, mobil, bahkan manusia. Sebagai lawan ”bumi hangus” yang sistematis, bisa dihitung berapa rumah dan gedung dibakar di Aceh, Sambas, Maluku, Papua, Kupang, Jakarta, Solo, Pekalongan, atau Tasikmalaya. Yang lebih penting lagi, perlu direkam siapa yang membakar.

Yang akan berhadapan di atas meja hijau nantinya adalah saksi lawan saksi. Bukti tertulis tentunya tidak ada, sudah dimusnahkan. Dan kalaupun ada, bukti itu dikatakan palsu. Tinggal saksi yang tersisa. Sungguh menarik membayangkan bagaimana sikap hakim dalam suatu pertarungan saksi.

TNI Korban Soeharto

Pada 14 Mei lalu, Letjen Agus Wijoyo bilang pada suatu seminar bahwa TNI telah menjadi korban suatu pemusatan kekuasaan di sektor sipil tanpa dibarengi perangkat checks and balances. TNI disalahgunakan oleh pemerintahan sipil. Dalam mengajukan teori-teori semacam ini, hendaknya diambil sikap hati-hati. Kalau benar ada keterlibatan TNI dalam kasus Tim-Tim, maka itu terjadi pada masa setelah Soeharto jatuh. Pembantaian terhadap Tengku Bantaqiah cs terjadi sesudah kejatuhan Soeharto. Kelambanan bertindak di Maluku pun berlangsung setelah Soeharto lengser. Habibie-kah yang bersikap ”habis manis sepah dibuang” terhadap TNI?

Tampaknya kurang masuk akal karena perwira muda pun bisa dan pernah mendebat presiden yang memberi opsi ”merdeka” kepada rakyat Tim-Tim itu. Saya kira memang ada sesuatu dalam hakikat manusia pemanggul bedil yang membuatnya cenderung melewati batas kelaziman dan menggunakan kekerasan yang tidak setimpal dengan bahaya yang dihadapi. Excessive force cenderung dipakai oleh orang bersenjata bila kawan sepertempurannya tewas di tangan pemberontak, bila menghadapi lawan yang persisten atau dianggap kurang ajar. Sikap menganggap diri sebagai korban pihak lain adalah sikap yang enggan mengakui cacat diri sendiri. Dari sikap demikian, tiada perubahan dapat diharapkan.

Bagi pemimpin yang bersikap begini, tiada pelajaran yang mungkin ditarik dari episode bersejarah yang sedang melindas kita semua. Bagi mereka yang tidak belajar dari sejarah, hanya tersisa nasib untuk terus mengulanginya.

Enaknya Diapakan?

Tidak ada satu pun kabar yang enak didengar dari pengalaman pengadilan hak asasi, walaupun tujuannya sudah sangat dipersempit dan tecermin dalam semboyan seperti ”Nunca Mas”, ”Never Again”, atau ”Lest We Forget”. Dari Yugoslavia kita membaca laporan bahwa sama sekali tiada pelajaran yang ditarik dari pengadilan kejahatan internasional di Den Haag, apalagi kesadaran bersalah. Dari Rwanda kita membaca laporan seorang wartawan Polandia yang mengatakan bahwa di sana kekejaman berlangsung silih berganti antara suku Hutu dan Tutsi—saling mendendam dan sama kejam. Di Argentina, ketika Presiden Carlos Menem memberi amnesti kepada semua tertuduh dan semua terhukum, hampir tak terdengar protes dari kalangan masyarakat. Padahal, baru empat tahun berlalu sejak hukuman mulai dijatuhkan.

Lalu, enaknya diapakan jenderal-jenderal yang sudah dihambur namanya di media massa itu, yang karirnya hancur sebelum penyidikan dimulai, sebelum pengadilan digelar, sebelum palu hakim diketukkan di atas meja bertaplak beludru hijau? Saya kira kita punya utang moral kepada mereka untuk meneruskan upaya pelaksanaan pengadilan yang bebas. Pengadilan itu mungkin berpihak pada Falentil, Fretilin, dan para aktivis CNRT, karena tiada seorang pun di antara mereka yang dapat diadili oleh pengadilan Indonesia.

Pengadilan itu mungkin akan jauh di bawah standar ICTR di Arusha dan ICTY di ’s Gravenhage. Pengetahuan kita tentang hukum jauh di bawah standar internasional. Pengalaman jaksa dan pembela kita juga masih jauh. Dan para hakim terlalu lama bergelimang dalam arogansi kekuasaan mereka dalam bersikap seperti Tuhan. Kekurangan ini, selain problematik sikap dan dukungan masyarakat terhadap upaya mencari keadilan, dan benturan antara sistem Inggris dan sistem Eropa kontinental dalam gagasan pembuktian, cukup mencemaskan. Namun, kita wajib melangkah ke arah pengadilan hak asasi, tanpa ilusi bahwa ia bisa berfungsi sebagai antibiotik bagi luka bangsa yang sudah bernanah.

Jalannya masih jauh. Perhatian masyarakat terus bergulir dari hari ke hari, direbut oleh sejuta kejadian yang menyangkut dirinya langsung. Ingatan akan perasaan takut di masa lalu kian menguap dalam keseharian. Barangkali, bila laporan penemuan KPP HAM tentang pelanggaran hak asasi di Tim-Tim diterbitkan sekarang, kita semua bisa diingatkan pada makna semboyan Nunca Mas, agar tak terulang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus