Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Mengadili Kejahatan Radikal

Carlos Santiago Nino, Radical Evil on Trial, Yale University Press, New Haven (1996)

28 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Immanuel Kant memberi cap ”abnormal” pada apa yang disebutnya ”kejahatan radikal”. Menurut Kant, perbuatan kejahatan semacam itu berlangsung begitu luas, memaksa, dan teratur sehingga penilaian moral saja tidak memadai. Almarhum Carlos Santiago Nino, pengacara dan penasihat Presiden Raul Alfonsin dari Argentina pada 1980-an, tentang bagaimana mengadili anggota militer yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di masa Perang Kotor, menelaah masalah ini.

Pada masa itu berkobar pertikaian antara kaum kiri dan kaum kanan di Argentina, yang dimulai oleh milisia kanan ekstrem dalam memburu dan membunuh para aktivis kiri, dilanjutkan dengan teror militer yang disponsori negara. Bagaimana cara menghukum mereka yang melakukan pelanggaran berat atas hak asasi manusia?

Militer Argentina kalah dalam Perang Malvinas. Presiden Alfonsin muncul setelah rezim militer terpuruk. Ia memanfaatkan suasana ”patah hati” angkatan bersenjatanya untuk menjalankan beberapa kebijakan hukum dan mengambil serangkaian tindakan yang tak mungkin ”selamat” jika militer masih kuat. Rezim militer Argentina berhasil mengegolkan undang-undang, sebelum mereka mundur ke barak, yang memaafkan semua ”dosa” mereka selama Perang Kotor.

Armenia Sampai Argentina

Sepanjang abad ke-20, terjadi banyak pelanggaran hak asasi manusia secara masif, tapi hingga kini belum ditemukan cara yang menyeluruh untuk menghadapinya. Hampir di setiap benua terjadi kekejian terhadap kemanusiaan. Pembantaian 600 ribu orang Armenia telah dimulai sejak 1914 oleh Pemuda Turki. Nazi membunuh jutaan orang pada Perang Dunia II. Rezim Stalin membantai 17 juta sampai 20 juta orang karena alasan politik. Pembantaian oleh tentara Amerika Serikat di Mailai pada Perang Vietnam mencatat sampai 400 orang yang dibunuh, diperkosa, dan disiksa.

Ada pembantaian terhadap penduduk muslim di Bosnia, ada pembunuhan massal terhadap suku Tutsi di Ruanda, dan ada Ladang Pembantaian di Kamboja, yang disiram darah manusia oleh Khmer Merah. Diktator militer Argentina membunuh ribuan orang yang menentangnya pada masa yang disebut Perang Kotor pada dasawarsa 1970. Daftarnya panjang. Akhirnya tak kunjung tampak.

Di Argentina, kekejian dimulai dengan kudeta militer terhadap Isabel Peron, pada 24 Maret 1976, ketika korupsi merajalela, ekonomi sangat berat, dan kekerasan menjalar ke mana-mana antara golongan kiri dan kanan. Junta militer yang merampas kekuasaan terdiri atas Jenderal Videla, Laksamana Massera, dan Brigjen Agosti. Jenderal Videla jadi presiden. Junta melancarkan gelombang kekerasan tak bertara. Penculikan, penyiksaan, dan eksekusi di tempat orang-orang yang dianggap subversif meruyak.

Kekerasan seperti ini sering kali mencakup ”menerjunkan” orang-orang yang dianggap subversif dari kapal terbang ke laut, memerkosa perempuan di depan keluarganya, menyengat dengan listrik, dan bentuk-bentuk siksaan lainnya. Perang Kotor, yang konon dilancarkan terhadap gerilyawan kiri, tidak lama kemudian diarahkan pada setiap orang yang menentang rezim, bahkan pada segala bentuk perlawanan. Pada 16 September 1976, delapan anak belasan tahun diculik dan dibawa ke kamp tahanan rahasia. Di sana mereka disiksa, lalu dieksekusi. Kejahatan mereka: terlibat dalam kegiatan sekolahnya menuntut harga khusus ongkos bus untuk pelajar.

Tentara Terpaksa?

Salah satu pembelaan pokok para pendukung rezim militer di Argentina adalah bahwa mereka berperang melawan musuh yang tak kelihatan, dan tidak mematuhi aturan-aturan perang tradisional. Maka, terpaksalah militer menggunakan cara-cara serupa.

Masalah pelik yang harus dihadapi suatu pemerintahan dalam transisi ke arah demokrasi adalah memutuskan sampai di mana, baik dalam soal waktu maupun besar-kecilnya lingkungan pelanggar berat hak asasi. Ini masalah moral. Tak mungkin pelanggaran hak asasi dapat berlangsung masif kalau tidak dibiarkan oleh orang banyak. Bila seorang wartawan melakukan sensor pribadi atas peristiwa yang diliputnya dan tidak melaporkan pelanggaran berat hak asasi, bukankah itu berarti membiarkan terjadinya pelanggaran hak asasi secara masif? Ataukah harus dipertimbangkan bahwa seluruh lapisan masyarakat diliputi oleh rasa takut? Bukankah ”mencari selamat” adalah naluri manusia yang paling hakiki?

Keadilan harus dibagi rata secara konsisten: menghukum semuanya yang bertanggung jawab, atau tidak menghukum sama sekali. Di manakah letak garis pemisah antara yang bertanggung jawab dan yang tidak?

Suatu rintangan yang harus diatasi adalah pertimbangan ”daripada mengungkit masa lalu yang melibatkan begitu banyak orang, apakah tidak lebih baik memusatkan pikiran dan upaya pada pembangunan”? Timbul pula kecemasan akan hilangnya dukungan lapisan masyarakat yang cukup besar dan berpengaruh. Menyelenggarakan keadilan dapat mengancam hari depan lembaga-lembaga demokrasi suatu negara. Penuntutan kejahatan terhadap kemanusiaan selama Perang Kotor di Argentina oleh pemerintahan Alfonsin sangat ditentang oleh pihak militer, dan tak jarang muncul situasi ”matang” untuk kudeta. Menggunakan hukuman sebagai pencegah terulangnya pelanggaran hak asasi di hari depan membuat pemerintah transisi berpikir tentang kemungkinan terancamnya demokrasi itu sendiri oleh para pelanggar yang dituntut.

Ada pula rintangan yuridis. Siapa yang berhak menurut hukum untuk mengadili para pelanggar hak asasi kalau pelanggarnya adalah seorang tentara? Pengadilan biasakah, atau mahkamah militer? Atau, apakah harus didirikan mahkamah ad hoc, artinya untuk setiap pelanggaran yang mencakup suatu wilayah, setiap kali diadakan pengadilan khusus? Dari sekian banyak masalah yuridis yang muncul, soal perlakuan hukum secara surut adalah yang paling serius.

Sebagian besar ketentuan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran berat hak asasi termuat dalam konvensi-konvensi internasional. Banyak negara yang turut menandatanganinya, tapi banyak pula yang belum. Tapi, penandatanganan konvensi saja tidak cukup. Banyak traktat atau konvensi yang mewajibkan negara penanda tangan untuk menyesuaikan undang-undangnya yang sudah ada, atau bahkan menghapuskan undang-undang yang bertentangan dengan ketentuan konvensi.

Bila langkah terakhir ini tidak dilakukan, tak jarang terjadi benturan antara ketentuan hukum internasional dan undang-undang dalam negeri. Jika benturan itu dibawa ke muka pengadilan dalam negeri, hampir dapat dipastikan bahwa hakim yang memutus akan memilih menerapkan undang-undang dalam negeri ketimbang undang-undang internasional, yang belum berlaku secara sempurna di dalam negeri.

Manuver Militer

Pada 1980, rezim militer Argentina merasa bahwa dukungan rakyat sudah melemah. Orang sudah agak lama tak percaya lagi bahwa kekerasan digunakan untuk membasmi ”bahaya kiri”. Masyarakat tidak mudah lagi dibuat cemas dengan sinyalemen bahwa ”ada upaya memecah-belah bangsa” atau ”ada golongan tertentu yang mau mengganggu persatuan dan kesatuan”.

Rezim militer yang posisi kekuasaannya terancam berupaya menegakkan kembali dukungan rakyat dengan membangkitkan semangat nasionalistis. Itu sebabnya pada 1982 Argentina menginvasi Pulau Malvinas, yang sejak 1830 berada di bawah kekuasaan Inggris. Militer Argentina kalah perang, dipaksa menyerah, dan dipermalukan di depan forum dalam negeri ataupun dunia. Rezim yang menanggung malu itu pun terpuruk, dan itu menandai awal berakhirnya diktator militer di Argentina.

Mereka terpaksa mengadakan pemilu, dan masuklah Raul Alfonsin, yang dalam kampanye sudah memberi isyarat akan menegakkan hak asasi manusia jika ia terpilih. Alfonsin menang dan dilantik menjadi presiden pada Desember 1983. Namun, sebelum mundur, rezim militer masih sempat secara terburu-buru mengegolkan undang-undang amnesti yang memaafkan semua tindak kekerasan selama Perang Kotor, baik yang dilakukan oleh kaum kiri, kaum kanan, maupun militer.

Patokan Presiden

Alfonsin memulai perjalanan panjang menegakkan hak asasi dengan membagi pelanggar berat menjadi tiga kategori, yaitu mereka yang merencanakan perbuatan kekerasan dan memerintahkan pelaksanaan rencana itu; mereka yang bertindak di luar batas apa yang diperintahkan dan terdorong oleh ketamakan, kekejaman, dan kepribadian yang menyimpang; dan mereka yang hanya mematuhi perintah. Dalam anggapan Alfonsin, kategori ketiga patut direhabilitasi, sedangkan kategori pertama dan kedua harus dituntut.

Dalam menjalankan kebijakannya, Alfonsin berpegang pada beberapa patokan, antara lain bahwa hak asasi menjamin tidak diperalatnya manusia untuk tujuan kolektif, bahwa pelanggaran hak asasi dapat melalui perbuatan ataupun kelalaian bertindak, bahwa legitimasi suatu pemerintahan erat berkait dengan kebijakan melindungi dan memajukan hak asasi, dan bahwa pembelaan hak asasi tak mengenal batas teritorial suatu negara.

Pengadilan yang dapat mengadili kasus pelanggaran berat hak asasi manusia oleh tentara dibebankan pada mahkamah militer, tapi dengan hak banding yang luas ke pengadilan sipil. Dukungan masyarakat terhadap pengaturan pengadilan ini lumayan, walaupun baik militer maupun aktivis hak asasi mengecamnya. Militer cemas bahwa yang diadili akan mencapai ratusan serdadu, sedangkan aktivis khawatir bahwa akhirnya hanya beberapa gelintir tentara yang akan terjaring.

Kenyataan membuktikan bahwa yang terjerat belasan perwira. Posisi Alfonsin menjadi sangat kuat ketika ia menyatakan ketakberpihakannya dalam bentuk penuntutan terhadap teroris, baik teroris negara maupun teroris kiri. Sadar bahwa tidak mungkin dapat mengadili semua orang, ia juga membatasi waktu jalannya pengadilan sedemikian rupa sehingga antusiasme dukungan masyarakat akan dapat dipertahankan pada taraf yang tetap tinggi.

Yang benar-benar mendapat dukungan antusias dari rakyat adalah pembentukan Komisi Nasional untuk Orang Hilang (Conadep) dan penugasan agar dalam waktu 180 hari menyelidiki dan melapor kepada presiden tentang keberadaan orang-orang yang hilang selama berlangsungnya Perang Kotor. Conadep menerima 50 ribu halaman kesaksian tentang 7.000 kasus orang hilang. Kumpulan kesaksian ini kemudian dijilid seperti buku dengan judul Nunca Mas (Agar Tak Terulang), yang akhirnya menjadi bestseller terlaris di Argentina, dan diterjemahkan ke berbagai bahasa. Conadep-lah yang banyak menyajikan bukti awal kepada pengadilan.

Presiden baru Argentina memproklamasikan program ”melihat ke masa depan” dan ”melihat ke masa lalu”. Yang pertama mencakup pembatalan Undang-Undang Subversif dan menggantinya dengan undang-undang yang memperkokoh demokrasi, membuat undang-undang yang menyatakan penyiksaan sebagai kejahatan yang diancam dengan hukuman sama dengan pembunuhan. Ia juga mendorong ratifikasi berbagai konvensi tentang hak asasi, dan merombak hukum militer sehingga kejahatan biasa yang dilakukan selagi menjalani dinas militer tidak lagi berada dalam yurisdiksi pengadilan militer.

Dalam program ”masa lalu”-nya, presiden berhasil membatalkan Undang-Undang Amnesti, dengan argumen bahwa undang-undng itu bertentangan dengan ketentuan konstitusi, dan bahwa keabsahan merupakan konsep yang terkait dengan moralitas. Undang-undang militer diubah begitu rupa sehingga walaupun keberadaannya diperkokoh, putusan-putusannya dapat dibanding ke pengadilan sipil federal. Begitu pula ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Militer, yang memberi kekebalan hukum bagi perwira yang berdalih mematuhi perintah. Sejumlah keppres dikeluarkan untuk memulai penuntutan terhadap pimpinan gerilya kiri ataupun anggota junta militer.

Conadep

Jaksa menyatakan, sedikitnya 9.000 orang telah hilang selama militer merajalela. Terorisme negara oleh tentara telah gagal membebaskan negara dari gangguan subversi, justeru karena militer menggunakan cara tak etis yang serupa dengan subversi yang mau dibasmi.

Pembelaan bahwa tentara sekadar mempraktekkan bela diri yang sah ditolak oleh para jaksa karena aksi bela diri mereka jauh lebih destruktif daripada kerusakan yang mau dihindari. Perbuatan mereka juga tak sesuai dengan ketentuan hukum karena tidak ada hukum yang membenarkan tindakan mereka. Berlindung di balik perisai ”keadaan perang” pun tidak bisa karena tidak pernah ada pernyataan perang, dan kalaupun perang itu ada, niscaya para tertuduh akan diseret ke pengadilan sebagai penjahat perang.

Para pembela memusatkan serangan balik mereka pada upaya memperlemah dan menghancurkan bukti awal yang diajukan Conadep. Materi yang disampaikan Conadep sepenuhnya berupa kesaksian, dan mudah direkayasa. Lagi pula, pengadilan semacam ini bersifat politis, bahkan merupakan bagian dari konspirasi yang lebih besar untuk menghancurkan angkatan bersenjata. Para pembela juga berupaya membuktikan bahwa benar telah hadir suatu keadaan perang, dan perang itu telah dimenangi oleh militer. Seperti kata Jenderal Besar Napoleon Bonaparte: ”Penyelamat bangsa tidak melanggar hukum apa pun!”

Pada 9 Desember 1985, pengadilan mengumumkan putusannya. Perbuatan para tertuduh jauh melampaui batas yang diizinkan oleh hukum. Majelis hakim berpendapat, para tertuduh telah membantu perbuatan kejahatan dengan cara memberi arah dan memudahkan pelaksanaannya. Jenderal Videla dan Laksamana Massera divonis penjara seumur hidup, dan hak mereka untuk menduduki jabatan resmi dicabut. Sejumlah perwira lain dijatuhi beraneka ragam hukuman.

Tak seorang pun yang puas dengan hasil pengadilan tersebut. Satu-satunya yang tercapai adalah tergugahnya kesadaran moral yang mendalam di kalangan masyarakat Argentina. Ditinjau dari segi meluasnya perlawanan terhadap gelombang kekerasan yang dilancarkan oleh rezim militer, tampaknya kesadaran moral itu sudah mulai tumbuh subur jauh sebelum pengadilan digelar, bahkan sebelum Presiden Raul Alfonsin terpilih.

Tiga tahun kemudian, kaum Peronis menang pemilu di bawah pimpinan Carlos Menem, yang langsung diangkat menjadi presiden menggantikan Alfonsin. Menem segera meninjau hukuman-hukuman yang sudah dijatuhkan oleh pengadilan hak asasi. Pada 6 Oktober 1989, belum empat tahun berselang sejak hukuman dijatuhkan, Presiden Menem mengeluarkan tiga dekrit yang memberi amnesti kepada tak kurang dari 400 tertuduh.

Setahun kemudian, ia mengeluarkan serangkaian kebijakan serupa terhadap orang-orang yang sudah dijatuhi hukuman, termasuk Jenderal Videla dan Laksamana Massera. Sungguh mengherankan, tidak banyak protes terdengar terhadap tindakan Presiden Menem tersebut. Rakyat rupanya sudah letih dan bosan dengan proses pengadilan yang berkepanjangan.

Prospek

Menurut Carlos Nino, prospek pengadilan yang diadakan setelah robohnya rezim yang otoriter jauh lebih baik ketimbang pengadilan yang digelar oleh pemerintahan demokratis yang mendapat kekuasaan dengan cara berunding dengan rezim sebelumnya.

Kesinambungan suatu pemerintahan dengan pemerintah sebelumnya secara hukum juga mempersulit usaha menghadapkan para pelanggar berat hak asasi ke pengadilan. Sukses pengadilan lebih terjamin jika telah terjadi pemutusan hubungan fisik dan batin antara pemerintah baru dan pemerintah lama, seperti di Jepang dan Jerman setelah Perang Dunia II.

Kadar kekejian kejahatan yang dilakukan juga menentukan berhasil-tidaknya pengadilan. Makin keji sifat kejahatan, atau kian banyak korban, makin besar kemungkinan berhasilnya pengadilan hak asasi.

Masih banyak faktor yang mempengaruhi prospek suatu upaya pencarian keadilan. Jarak waktu antara pelanggaran hak asasi dan pengadilan, berkepanjangannya proses pengadilan, keberpihakan pengadilan—misalnya hanya mengadili kaum militer dan tidak mengadili lawannya –semua itu mempengaruhi berhasil atau gagalnya penyelenggaraan pengadilan hak asasi.

Dalam kasus pengadilan hak asasi di Argentina, yang terjadi adalah suatu upaya keras mempertahankan keseimbangan yang rawan antara faktor-faktor pembantu dan penghambat tersebut. Hasilnya terbatas bila ditinjau dari segi menghukum semua pihak yang melanggar hak asasi. Toh, upaya di Argentina itu agaknya berhasil membangun lembaga dan kesadaran masyarakat yang mutlak perlu untuk mencegah terulangnya pelanggaran berat hak asasi manusia di masa depan.

Oren A. Murphy

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus