Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUSAH dipercaya, pelecehan etika itu berlangsung di depan mata orang ramai, oleh orang "terhormat" dan dilindungi hukum. Setya Novanto kali ini menunjukkan kemampuannya melakukan itu semua—kendati ia tak seorang diri.
Diakui atau tidak, rencana memalukan untuk mengembalikan Setya Novanto ke posisi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat ini merupakan buah kerja sama antara Fraksi Golkar dan ketua umum partai berlambang pohon beringin itu. Gejala ini tidak hanya memperlihatkan kelihaian Setya, tapi juga menandakan bahwa macetnya kaderisasi kepemimpinan di antara elite partai itu memang disengaja.
Kabar buruk itu muncul manakala kita mempertanyakan lagi kesahihan putusan Mahkamah Konstitusi yang menganggap rekaman percakapan Setya, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, dan pengusaha Riza Chalid tidak cukup kuat dijadikan bukti. Sidang Jessica Wongso beberapa bulan lalu lantas seakan-akan mengoreksi ketetapan sebelumnya itu, seraya menggunakan rekaman CCTV sebagai barang bukti.
Dalam sidang Mahkamah Konstitusi, hakim mengabulkan sebagian permohonan Setya dengan menambahkan ketentuan bahwa rekaman elektronik harus dibuat penegak hukum. Atas dasar ini pula Mahkamah Kehormatan Dewan memulihkan nama baik Setya. Pemulihan nama baik itu sungguh aneh karena kasus Setya masuk ranah etik, sedangkan putusan Mahkamah Konstitusi masuk ranah hukum, yang hanya berkaitan langsung dengan proses penegakan hukum. Koreksi terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak otomatis pula menghapus ketentuan serupa dalam aturan yang menyangkut kode etik.
Hingga kini Dewan juga belum mengoreksi Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan. Pasal 27 huruf d peraturan itu jelas memasukkan rekaman elektronik sebagai alat bukti. Aturan ini mendeskripsikan jenis alat bukti, yakni informasi yang dapat dibaca, dilihat, atau didengar. Informasi ini tertuang dalam benda fisik apa pun selain kertas, termasuk yang terekam secara elektronik.
Memang, kejanggalan demi kejanggalan terjadi dalam pemeriksaan skandal "Papa Minta Saham" itu. Kejanggalan dimulai dari Setya yang tiba-tiba mengundurkan diri pada saat-saat terakhir pemeriksaan, sehingga Majelis Kehormatan Dewan tidak dapat menjatuhkan vonis pelanggaran etika. Dalam perkembangan kemudian, semakin jelas bahwa upaya mengembalikan Setya ke kedudukan semula juga melibatkan tokoh di luar partai. Pertemuan Setya dengan Presiden Joko Widodo memperlihatkan bahwa pengusaha yang berkawan dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump ini merupakan orang yang diperhitungkan dalam memecahkan masalah nasional.
Bagaimanapun, Setya Novanto memiliki bargaining power. Bukankah Setya yang begitu menjadi ketua partai langsung menyatakan Golkar sebagai partai pendukung pemerintah, kendati dalam Pemilihan Umum 2014 partai ini berada di belakang Prabowo Subianto? Yang terang, di bawah kepemimpinannya kini Golkar seperti memudarkan pengaruh PDI Perjuangan terhadap Jokowi.
Memang, Presiden Jokowi pernah marah besar kepada Setya lantaran namanya dicatut dalam skandal "Papa Minta Saham". Namun pertemuan Presiden dan Setya di Istana Merdeka baru-baru ini menunjukkan betapa kemarahan itu hanya riak kecil jika dibandingkan dengan kepentingan Jokowi, yang sedang merasakan tekanan dari kalangan Islam, untuk memastikan dukungan dari Golkar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo