Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI era digital ini, besarnya dukungan publik di media sosial kepada peserta pemilihan umum bisa direkayasa dengan menggunakan ujung jari. Berita palsu, caci-maki, atau cerita baik yang dilebih-lebihkan tentang satu kandidat bisa diciptakan dengan mudah. Facebook, Twitter, Path, blog, dan YouTube, untuk menyebut beberapa, merupakan medium yang dapat menampung semua kabar—tak peduli benar atau abal-abal. Dengan sedikit otak-atik algoritma, informasi lancung pun bisa bertengger di tempat teratas pada mesin pencari di Internet. Dengan cara ini, berita yang tak jelas riwayat kebenarannya dapat memanen pembaca dalam jumlah besar.
Semua kandidat Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan tim pemenangannya kini berlomba menguasai dunia maya. Mereka membentuk tim cyber, mengerahkan penggaung alias buzzer, dan membuat aneka tanda pagar untuk mengejar trending topic.
Media sosial memang telah mengubah cara orang bercakap-cakap, termasuk komunikasi untuk tujuan politik. Lewat media ini, khalayak dalam jumlah besar dapat dengan mudah diraih. Mereka yang memiliki banyak pengikut—tak peduli pengikut sungguhan atau sekadar robot— dapat menjadi selebritas dunia maya. Para seleb ini pada gilirannya dapat menjadi penggaung untuk mempromosikan kandidat.
Merebaknya jumlah telepon pintar meningkatkan kekuatan media sosial. Sejumlah riset menyebutkan sebagian besar masyarakat perkotaan mengakses informasi melalui gawai. Kecenderungan ini membesar pada kelompok usia 25-40 tahun, yang merupakan jumlah terbesar pada pemilih Jakarta untuk pemilihan gubernur 15 Februari 2017.
Walhasil, bagi tim pemenangan kandidat Gubernur Jakarta, media sosial merupakan ladang yang penting direbut. Apalagi berbagai topik yang menjadi pembicaraan ramai di media sosial sering diambil menjadi bahan berita oleh media konvensional. Dunia maya ini pada gilirannya bisa mempengaruhi psikologi pemilih, terutama mereka yang belum punya preferensi hingga hari pencoblosan.
Kekuatan media sosial memang bukan cerita baru. Media ini terbukti mempengaruhi demokratisasi di sejumlah negara Arab, gejala yang dikenal sebagai Arab Spring. Ketika itu seruan demokratisasi menggaung lewat jutaan cuitan Twitter, beratus gigabita konten video YouTube, dan lewat kata-kata di ribuan blog. Efek media sosial telah melampaui batas negara: menumbangkan kepala negara di sejumlah negara di Timur Tengah.
Di Indonesia, dunia maya juga menentukan kemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada pemilihan presiden 2014. Tim pemenangan pasangan ini bahkan melibatkan selebritas internasional semacam Sting dan Jason Mraz untuk membuat pesan positif tentang mereka di media sosial menjelang hari pemilihan.
Di Amerika Serikat, media sosial juga mempengaruhi hasil pemilihan presiden. Kemenangan Donald Trump dari Partai Republik boleh dikatakan merupakan hasil kerja tim kampanye yang menyebarkan "kabar tak akurat" di media sosial. Tren itu kini terjadi pula di Jakarta.
Berita abal-abal, yang disebarkan melalui situs tidak jelas, dengan aneka judul bombastis, memadati media sosial—pada umumnya dari akun anonim. Mungkin untuk menyamarkan identitas pemiliknya, banyak situs namanya dimirip-miripkan dengan portal berita resmi dan berdomain luar negeri. Sulit diverifikasi kebenarannya, akun-akun itu menyebarkan berita bohong untuk menyerang kandidat lawan.
Sudah sepatutnya para calon tidak memanfaatkan cara kotor seperti itu. Mereka selayaknya menggunakan media sosial buat menyebarkan gagasan dan program untuk memajukan Jakarta. Komisi Pemilihan Umum daerah telah meminta semua kandidat melaporkan akun resmi media sosial masing-masing. Mereka seharusnya tidak menggunakan akun lain untuk operasi gelap menyebarkan kampanye busuk.
Pasukan dunia maya para kandidat seharusnya memenuhi ranah media sosial dengan konten positif. Masyarakat seyogianya bersikap skeptis terhadap informasi yang beredar di media sosial. Mereka perlu mengecek ulang semua kabar, terutama yang berasal dari situs atau akun yang tak jelas juntrungannya. Memang ini bukan perkara mudah, mengingat kecenderungan banyak orang untuk sekadar membaca judul—bukan keseluruhan informasi—lalu cepat-cepat menyebarkannya ke media sosial.
Media sosial membuka peluang untuk memperkuat demokrasi sekaligus punya kesempatan untuk merusaknya. Ketiga kandidat—Agus Harimurti, Basuki Tjahaja Purnama, dan Anies Baswedan—serta tim pemenangannya selayaknya menggunakan media sosial untuk menguatkan demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo