Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Indonesia, kebebasan beragama pertama-tama dikoyak oleh aparat pemerintahnya sendiri. Contoh yang terbaru adalah penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat. Persekusi terhadap mereka tak akan terjadi seandainya pelaksana tugas Bupati Sintang dan anak buahnya tak memberi angin kepada kelompok intoleran.
Pelaksana Bupati Sintang malah mengakomodasi ultimatum Aliansi Umat Islam Sintang untuk menutup paksa masjid Miftahul Huda milik jemaah Ahmadiyah pada pertengahan Agustus lalu. Setelah diberi hati, Aliansi meminta jantung. Mereka menuntut masjid itu dirobohkan. Pada Jumat pekan lalu, mereka akhirnya merusak masjid dan membakar sebuah bangunan di dekatnya.
Polisi memang telah menetapkan belasan orang sebagai tersangka penyerangan. Tapi ini tindakan setelah kejadian. Semestinya polisi mengantisipasi konflik meletup sejak awal. Apalagi tanda-tanda bakal ada penyerangan sudah tampak. Sejak beberapa pekan sebelumnya, kelompok intoleran menyampaikan ancaman. Kepala Kepolisian RI harus mengevaluasi anak buahnya di sana yang gagal mencegah penyerangan terjadi.
Kejadian di Sintang menunjukkan buruknya toleransi beragama di negeri ini. Toleransi yang kita kenal sesungguhnya semu belaka karena tidak diletakkan dalam kerangka kebebasan dan perlindungan individu. Atas nama menjaga keharmonisan, pemerintah kerap hanya mengakomodasi kelompok mayoritas meskipun hal tersebut bertabrakan dengan konstitusi. Akibatnya, penindasan terhadap kaum minoritas seolah-olah mendapat pembenaran.
Sudah berkali-kali persekusi terhadap kelompok jemaah Ahmadiyah terjadi, seperti di Cikeusik, Pandeglang, Banten; dan Parakansalak, Sukabumi, Jawa Barat; dan kini di Sintang. Pemerintah harus menyadari bahwa mereka ikut bertanggung jawab atas persekusi tak berkesudahan terhadap Ahmadiyah. Alih-alih menyelesaikan persoalan, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung Tahun 2008 tentang Ahmadiyah malah menjadi landasan bagi sekelompok orang untuk terus mempersoalkan para pengikut Mirza Ghulam Ahmad itu.
Keberadaan SKB yang diskriminatif di sebuah negara demokratis sungguh tak bisa diterima. Sudah seharusnya aturan yang tak menghormati hak asasi manusia tersebut dicabut. Apalagi, kebijakan itu sudah terbukti membawa banyak mudarat. Jika sungguh-sungguh ingin merawat kebebasan beragama dan melindungi warga Ahmadiyah, pemerintah harus menghapus SKB tersebut.
Sangat disesalkan jika pemerintah lebih menuruti fatwa Majelis Ulama Indonesia yang menganggap Ahmadiyah sesat ketimbang memegang kukuh undang-undang dasar. Pada 2005, MUI meminta pemerintah mencegah penyebaran Ahmadiyah, membekukan organisasinya, dan menutup semua aktivitasnya. Sebagaimana MUI pusat, MUI di daerah pun kerap menekan pemerintah setempat untuk mengambil kebijakan yang merugikan Ahmadiyah.
Pemerintah tak boleh tunduk kepada tekanan kelompok agama mayoritas dan para pemukanya. Tak ada pihak yang berhak memberikan label Islam atau bukan Islam kepada Ahmadiyah. Setiap pemaksaan dalam berkeyakinan adalah pelanggaran serius terhadap konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo