Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Air mata jenderal sudirman

Pada zaman yang penuh dengan penyuapan, korupsi, manipula si, penyalahgunaan kekuasaan & kecurangan, misalnya mungkin perlu dibuatkan patung pahlawan jenderal sudirman. patung yang menangis melihat keadaan kini.

26 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BILA orang menjumpai seorang pegawai negeri mempersulit suatu urusan, atau menghalangi kelancaran pelaksanaan suatu peraturan, biasanya lalu terdengar komentar: "Ah, mudah, masukkan Pak Dirman ke dalam sakunya". Di kalangan sopir kendaraan umum lazim pula terdengar. "Udah, jangan bicara perkara hukum Jenderal Soedirman selembar akan membebaskan kamu dari kesulitan". Atau sering semacam keluhan: "Ia sebenarnya baik dan jujur, tetapi kalau sudah lihat gambar Pak Dirman .... ". Demikianlah sekarang ini sudah beredar, secara sadar atau tidak sadar oleh yang mengucapkan, iuatu "penghinaan" terhadap seorang pejuang besar. Gambar almarhum Panglima Besar Soedirman pada lembaran uang ribuan telah memerosotkan derajat Pahlawan Besar itu -- dalam masyarakat yang penuh dengan penyuapan, korupsi, manipulasi, penyalahgunaan kekuasaan dan kecurangan. Alhamdulillah, kini Pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia -- akan menarik lembaran uang tersebut dan menggantinya dengan seri baru -- bergambar Pangeran Diponegoro! Kita tidak tahu pasti apa alasan Bank Indonesia untuk mencantumkan gambar-gambar wajah pahlawan kita pada lembaran uang kertas. Keterangan resmi mengenal hal itu tidak pernah diberikan. Tetapi pemikiran yang tidak perlu mendalam akan menghasilkan pendapat, bahwa wajah-wajah pahlawan itu ditonjolkan selain hendak memperingati jasa-jasa, juga agar yang melihat tidak melupakan sifat-sifat baik serta cita-cita luhur dari pahlawan yang bersangkutan. Kita saksikan film India, Sujata, yang pernah beredar di Indonesia tahun 50-an. Film itu, yang menggambarkan kepincangan-kepincangan masyarakat India terutama jurang golongan kaya dengan golongan miskin, telah memperoleh sukses besar di Indonesia kala itu. Di kala gadis Sujata menghadapi saat-saat kritis sebagai akibat masyarakat yang tidak adil sampailah ia di tempat monumen Mahatma Gandhi di bawah curahan hujan lebat dan udara yang dingin. Pada saat itulah, kamera membidik air mata yang jatuh berderai-derai pada wajah Mahatma Gandhi . . . Setiap intelektuil,setiap politikus, setiap negarawan, walau mereka bukan bangsa India, pasti akan berdetak jantungnya menyaksikan "air mata" Mahatma Gandhi, yang nampak sedih melihat nasib India. Kita tidak tahu -- bila hantu plagiatisme tidak terlalu menakutkan -- apakah sutradara-sutradara Indonesia masih punya maksud untuk, sekali waktu, melukiskan patung monumen Jenderal Soedirman yang sedang menangis seperti Mahatma Gandhi -- pada saat di depan monumen itu terjadi adegan: "seorang pejabat yang terhormat sedang menerima suapan atau sogokan dari seorang cukong". Sedangkan jelas bahwa uang suapan itu bergambar Pak Dirman. Atau Pangeran Diponegoro.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus