BILA orang menjumpai seorang pegawai negeri mempersulit suatu
urusan, atau menghalangi kelancaran pelaksanaan suatu peraturan,
biasanya lalu terdengar komentar: "Ah, mudah, masukkan Pak
Dirman ke dalam sakunya". Di kalangan sopir kendaraan umum lazim
pula terdengar. "Udah, jangan bicara perkara hukum Jenderal
Soedirman selembar akan membebaskan kamu dari kesulitan". Atau
sering semacam keluhan: "Ia sebenarnya baik dan jujur, tetapi
kalau sudah lihat gambar Pak Dirman .... ".
Demikianlah sekarang ini sudah beredar, secara sadar atau tidak
sadar oleh yang mengucapkan, iuatu "penghinaan" terhadap seorang
pejuang besar. Gambar almarhum Panglima Besar Soedirman pada
lembaran uang ribuan telah memerosotkan derajat Pahlawan Besar
itu -- dalam masyarakat yang penuh dengan penyuapan, korupsi,
manipulasi, penyalahgunaan kekuasaan dan kecurangan.
Alhamdulillah, kini Pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia --
akan menarik lembaran uang tersebut dan menggantinya dengan seri
baru -- bergambar Pangeran Diponegoro! Kita tidak tahu pasti apa
alasan Bank Indonesia untuk mencantumkan gambar-gambar wajah
pahlawan kita pada lembaran uang kertas. Keterangan resmi
mengenal hal itu tidak pernah diberikan. Tetapi pemikiran yang
tidak perlu mendalam akan menghasilkan pendapat, bahwa
wajah-wajah pahlawan itu ditonjolkan selain hendak memperingati
jasa-jasa, juga agar yang melihat tidak melupakan sifat-sifat
baik serta cita-cita luhur dari pahlawan yang bersangkutan.
Kita saksikan film India, Sujata, yang pernah beredar di
Indonesia tahun 50-an. Film itu, yang menggambarkan
kepincangan-kepincangan masyarakat India terutama jurang
golongan kaya dengan golongan miskin, telah memperoleh sukses
besar di Indonesia kala itu. Di kala gadis Sujata menghadapi
saat-saat kritis sebagai akibat masyarakat yang tidak adil
sampailah ia di tempat monumen Mahatma Gandhi di bawah curahan
hujan lebat dan udara yang dingin. Pada saat itulah, kamera
membidik air mata yang jatuh berderai-derai pada wajah Mahatma
Gandhi . . . Setiap intelektuil,setiap politikus, setiap
negarawan, walau mereka bukan bangsa India, pasti akan berdetak
jantungnya menyaksikan "air mata" Mahatma Gandhi, yang nampak
sedih melihat nasib India.
Kita tidak tahu -- bila hantu plagiatisme tidak terlalu
menakutkan -- apakah sutradara-sutradara Indonesia masih punya
maksud untuk, sekali waktu, melukiskan patung monumen Jenderal
Soedirman yang sedang menangis seperti Mahatma Gandhi -- pada
saat di depan monumen itu terjadi adegan: "seorang pejabat yang
terhormat sedang menerima suapan atau sogokan dari seorang
cukong". Sedangkan jelas bahwa uang suapan itu bergambar Pak
Dirman. Atau Pangeran Diponegoro.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini