Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ambivalensi Universitas dan Negara

Banyak dosen dan mahasiswa dihukum karena mengajukan protes. Kebebasan akademik Indonesia jatuh ke titik nadir. Kenapa?

11 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Latar belakang maraknya pemidanaan mahasiswa dan dosen.

  • Otonomi kampus kita menjadi pertaruhan.

  • Campur tangan negara dalam kebebasan akademik.

DUNIA akademik Indonesia sedang mengalami kemerosotan parah. Berita-berita hari ini menebalkan kecemasan bahwa kebebasan akademik universitas kita sedang merapuh, melorot, bahkan ambruk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Aceh, dosen Universitas Syah Kuala, Saiful Mahdi, masuk penjara hanya karena menulis pesan sederhana di grup WhatsApp fakultasnya. Di Makassar, seorang dosen di Universitas Islam Negeri Alauddin, Ramsiah Tasruddin, dilaporkan ke polisi karena mengkritik kebijakan pimpinan fakultas yang menutup radio kampus. Rektor Universitas Negeri Semarang menonaktifkan dosen Sucipto Hadi Purnomo karena menggugah keluhan yang mengkritik pemerintah di Facebook.

Di Universitas Negeri Jakarta, beberapa tahun lalu, rektor melaporkan sejumlah dosen ke polisi karena mengkritik kebijakannya di salah satu grup WhatsApp. Di beberapa kampus Sumatera, sejumlah mahasiswa mendapat sanksi akademis hingga pemecatan karena mengkritik rektor. Di Ternate, beberapa mahasiswa tak hanya dipecat, mereka dipidanakan karena protes atas masalah Papua. Kontroversi paling heboh adalah perubahan statuta Universitas Indonesia tanpa persetujuan penuh Dewan Guru Besar hanya agar rektor universitas paling tua ini bisa merangkap jabatan sebagai komisaris bank negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari banyak kasus itu kita bisa merenungkan ada yang genting dalam kehidupan kampus di Indonesia. Apa yang membuat keadaan ini terjadi?

Di atas kertas, semua universitas mengakui pentingnya otonomi kampus dan kebebasan akademik. Dalam praktik, mati-hidupnya universitas sangat bergantung pada kehendak dan keputusan pemerintah cum para politikus yang menjabat di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.

Untuk universitas negeri, rektor pada dasarnya adalah jabatan yang memerlukan restu pemerintah sebagai pemilik hak 35 persen voting block. Artinya, secara politis dan aturan, rektor di Indonesia bukan jabatan akademis murni. Ia bisa tergolong jabatan semipolitis. 

Dari segi ini, tingkat otonomi dan kebebasan akademik di suatu kampus pada akhirnya sangat bergantung pada sifat-sifat kekuasaan pemerintah dan bagaimana para rektor menerjemahkannya ke dalam kebijakan kampus. Ironisnya, di universitas-universitas yang menyandang status kasta tertinggi sebagai perguruan tinggi negeri-badan hukum—dalam kampus ini calon rektor diusulkan oleh majelis wali amanat yang mengesankan semacam derajat otonomi lebih tinggi—jebakan kooptasi justru muncul lebih jelas.

Di kampus-kampus itu, selain pengusaha, biasanya selalu ada seorang pejabat pemerintah aktif yang menjadi anggota majelis wali amanat. Tak mengherankan apabila antara birokrat kampus dan negara kerap terjalin relasi ekonomi-politik yang telanjang, sebagaimana terjadi dalam kontroversi Rektor UI. 

Relasi rektor dengan negara pada akhirnya berkembang dari yang semula bersifat hubungan birokratis menjadi hubungan birokratis-klientelistik. Di sana jabatan birokratis menjadi hadiah dengan pertukaran imbal balik kontrol dan pengendalian. Salah satu faktor yang memperkuat relasi birokrasi-klientelistik sekarang adalah kebutuhan yang lebih besar dari negara untuk mengendalikan kritik dari dunia kampus.

Ini pula yang membedakan rektor di masa kini dengan rektor di masa Orde Baru, yang di dalam jabatannya tecermin 100 persen kekuasaan negara. Dalam relasi kini, negara memerlukan orang yang bisa menyediakan kontrol dan bekerja sama untuk mengendalikan universitas. Di sisi lain, bagi sebagian pejabat, posisi rektor menjadi semacam resource yang diberikan negara, sehingga perlu dijaga dengan loyal. Relasi rektor-negara semacam ini sebenarnya sudah berlangsung sejak awal masa reformasi, tapi warna klientelistik makin menguat dan vulgar dalam beberapa tahun terakhir. 

Klientelisme-birokratik di universitas ini yang mengakibatkan sejumlah regresi dalam kehidupan akademik. Pertama, makin kentalnya politisasi jabatan rektor hingga warna dan karakter akademik luntur. Kedua, kuatnya pengaruh dan logika kekuasaan membuat kultur akademik di universitas merosot.

Modus aktivitas universitas makin hari makin bergeser, dari pranata keilmuan menjadi pranata ekonomi dan politik. Perubahan ini yang menjadi landasan histeria pemakaian kuasa dalam pelbagai kriminalisasi oleh pimpinan kampus terhadap dosen ataupun mahasiswa yang mengajukan kritik.

Para birokrat kampus pun makin mempersonifikasi kekuasaannya dengan menghadapi kritik serta protes sebagai serangan personal. Tradisi akademik yang mengedepankan dialog, kritik, dan perdebatan luntur, tergantikan oleh pendekatan kuasa dan pemakaian ancaman hukum.  Kriminalisasi terhadap dosen dan mahasiswa di pelbagai kampus belakangan ini menunjukkan ironi bahwa kultur akademik melemah justru ketika posisi politik rektor di kampus-kampus menguat.  

Akibat lain dari klientelisme-birokratis adalah mengerasnya gejala anti-intelektualisme di perguruan tinggi. Birokratisasi dunia pendidikan yang telah mengubah kultur akademik membuat banyak akademikus terjebak dalam rutinitas kepegawaian sehingga proses pembelajaran dan aktualisasi pekerjaan lebih sebagai ekspresi kedinasan, yang secara ketat disupervisi para atasan.

Dengan cara kerja seperti itu, para akademikus lebih memandang dirinya sebagai pegawai ketimbang agen yang berpikir. Kompetensi akademik makin diukur oleh ketaatan dan loyalitas, dengan akibat kehidupan intelektual yang surut. Lebih dari itu, ketakutan akan mendapat sanksi dan hukuman diam-diam menyuburkan budaya ketakutan di kalangan akademikus.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa relasi semacam ini memang tak terhindarkan dan sudah semestinya terjadi di universitas-universitas negeri yang semua sumber dayanya berasal dan dari negara. Belum lagi, secara legal, kampus-kampus di Indonesia terikat oleh Pasal 65 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang menetapkan bahwa otonomi diberikan secara selektif oleh menteri kepada universitas.

Begitu pula Pasal 66 ayat 1-3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang mengatur bahwa statuta perguruan tinggi negeri (PTN) ditetapkan melalui peraturan menteri, statuta PTN badan hukum melalui peraturan pemerintah, dan statuta perguruan tinggi swasta oleh surat keputusan badan penyelenggara. 

Cara pandang instrumental ini mungkin bisa berlaku untuk bidang-bidang pemerintahan lain, tapi tidak boleh berlaku untuk universitas. Sebab, universitas hanya akan hidup sebagai universitas apabila ia memiliki kebebasan akademik—sebuah konsep yang lahir di Eropa pada abad ke-12.

Kebebasan akademik adalah konsekuensi logis dari suatu negeri yang mencanangkan moto “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai tujuan kebangsaannya. Kebebasan akademik adalah privilese yang sedari awal harus dikukuhkan universitas agar ia tumbuh sebagai universitas, yakni persemaian ilmu dan pengetahuan. Tak mungkin ada kecerdasan tanpa kebebasan.

Derajat kebebasan akademik suatu negara akan berkorelasi dengan kondisi demokrasi dan tipe-tipe rezimnya. Makin demokratis suatu negara, makin luas privilese yang dinikmati universitas-universitasnya. Makin buruk demokrasi suatu negeri, makin payah kebebasan akademiknya. Persis sebagaimana diktum Dewey yang menegaskan bahwa, karena pendidikan mensyaratkan kebebasan, ia hanya mungkin berada dalam masyarakat yang menjunjung demokrasi.

Kaum terdidik di Indonesia memiliki tradisi kuat dan sumbangan yang besar untuk kemerdekaan dan kemajuan, termasuk di masa pandemi ini. Banyaknya tekanan dan represi terhadap akademikus hari-hari ini menunjukkan amnesia atas peran historis mereka untuk Indonesia.

Pada 1957, di Universitas Indonesia Bung Hatta berpidato: “...kaum inteligensia Indonesia mempunyai tanggung jawab moral terhadap perkembangan masyarakat. Apakah ia ada, duduk di dalam pimpinan negara dan masyarakat atau tidak, ia tidak akan terlepas dari tanggung jawab. Sekalipun berdiri di luar pimpinan, sebagai rakyat-demokrat, ia harus menegur dan menentang perbuatan yang salah dengan menunjukkan perbaikan menurut keyakinannya....” 

Dengan mengambil tanggung jawab publik yang luas seperti seruan Hatta ini, kebebasan akademik tidak bisa ditafsirkan secara sempit sebagai keleluasaan dosen sekadar mengajar dan meneliti di universitas. Kebebasan akademik mengharuskan dosen terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan dan kemanusiaan, melampaui partisi dan domestifikasi kampusnya.

Sudah saatnya rezim politik di Indonesia lebih percaya diri dan menghadapi kritik kaum akademikus dengan cara yang lebih santai dan terbuka. Lebih dari itu, Indonesia harus berniat mengubah model institusional universitas yang klientelistik dan birokratis ke arah otonomi yang lebih luas dengan menegakkan kembali kebebasan akademik. Baru dari situ kita bisa berharap suatu saat Indonesia menyumbangkan sesuatu pada peradaban dunia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Robertus Robet

Robertus Robet

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus