Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAKIM sering kali diibaratkan wakil Tuhan dalam menegakkan keadilan di masyarakat. Itu disebabkan dalam putusan hukum yang dibuatnya, hakim menyebutkan atas berkat Tuhan. Artinya, putusan itu sepenuhnya murni dari keyakinan hakim atas kesalahan atau tidak salahnya seseorang. Tak ada intervensi dari mana pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lalu bagaimana para hakim mencari keadilan untuk perjuangan hidup dan keluarganya? Hakim “manusia juga” dan mereka pun perlu makanan yang sehat, rumah tinggal yang memadai, serta membina keluarganya di tempat tugas. Seperti halnya manusia biasa yang lain. Maka kita pun berhak atas keadilan buat para pemutus keadilan. Salut dan hormat kepada para hakim yang mencari keadilan itu dengan cara yang simpatik. Mulai besok, mereka melakukan aksi “gerakan cuti massal” untuk memperjuangkan nasib mereka. Acara berlangsung hingga Jumat mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juru bicara aksi solidaritas gerakan ini, Fauzan Arrasyid, menyebutkan ribuan hakim serentak cuti itu bukanlah mogok kerja. Mereka sudah memperhitungkan selama aksi massa tidak ada persidangan yang mendesak. Sebagian dari mereka ke Jakarta juga dengan biaya sendiri. Jadi tak ada sesuatu yang dirugikan. Apa tuntutan mereka? Kenaikan gaji hakim dan tunjangan yang selama 12 tahun tak pernah ada perbaikan.
Fauzan menambahkan, “Akibat tunjangan yang tidak mengalami penyesuaian selama 12 tahun, kini banyak hakim yang tidak mampu membawa keluarganya ke daerah penempatan kerja. Jika harus membawa semua anggota keluarga, hakim memerlukan biaya yang cukup besar, yang tidak dapat ditanggung dengan penghasilan mereka saat ini.”
Gaji dan tunjangan hakim selama ini mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim di Bawah Mahkamah Agung. Artinya, selama Presiden Joko Widodo berkuasa, para hakim tak pernah berubah pendapatannya. Apakah Jokowi, yang acap merasa kaget, kali ini juga kaget atas pembiaran ini?
Negara ini berdasarkan hukum. Itu kalimat yang sering kali terdengar. Lalu landasan dasar keadilan adalah hukum dengan segala perangkatnya, apakah itu undang-undang, peraturan, dan seterusnya. Seharusnya mengagetkan jika selama Jokowi berkuasa, masalah hukum ternyata amburadul seperti ini. Terlepas dari Jokowi alpa memperhatikan soal hukum atau memang ada faktor lain yang mempengaruhi. Misalnya, hukum hanya dipakai sebagai alat kekuasaan.
Terlalu banyak disebutkan bagaimana rezim Jokowi mempermainkan hukum. Selalu dengan dalih memperkuat hukum, tapi kenyataannya sebaliknya. Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, misalnya. KPK justru dimasukkan ke kelompok eksekutif sehingga independensinya hilang. UU Cipta Kerja yang disahkan grasah-grusuh sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, tapi tak juga diperbaiki. Justru diterbitkan peraturan pengganti undang-undang.
Uniknya, MK membuat putusan, baru mengubah bunyi undang-undang tentang syarat calon presiden dan wakil presiden yang memungkinkan Gibran Rakabuming Raka lolos menjadi calon wakil presiden. Kalau Jokowi benar mau memperkuat negara hukum, seharusnya dia bereaksi terhadap keputusan MK yang (saat itu) dipimpin oleh adik iparnya. Atau melarang Gibran, putra sulungnya, ikut ambil bagian dalam pencalonan wakil presiden karena ini jelas merusak konstitusi. Tapi semua itu tidak dilakukan Jokowi. Terlalu sulit membantah bahwa memang hukum digunakan untuk kepentingan kekuasaan.
Kembali ke gaji dan tunjangan kerja hakim, apakah pembiaran ini ada dalam wilayah kesengajaan atau sekadar lupa? Tidak ada penjelasan apa pun, sementara kita tahu bahwa hakim adalah garda terdepan dalam mencari keadilan. Kalau hakim sampai memperjualbelikan hukum—sesuatu yang acap pula terjadi—negara ini akan runtuh. Yang berlaku adalah hukum rimba, hukum yang dipegang penguasa untuk sesukanya.
Untuk itu, kita salut dan hormat pada aksi gerakan cuti massal para hakim se-Indonesia ini karena mereka mengajarkan bagaimana menuntut keadilan dengan cara damai.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo