Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Katak dalam tempurung tampak konyol karena takabur, ilmu dalam tempurung akan mati. Di pertengahan abad ke-9, di Bagdad, Al-Kindi menegaskan sikap yang menentang tempurung itu: "Kita tak harus malu mengagumi atau memperoleh kebenaran, dari mana pun asalnya. Bahkan kalaupun ia datang dari negeri-negeri yang jauh dan dari bangsa asing."
Sebenarnya menarik bahwa ia perlu menegaskan hal itu dalam bukunya, Fi al-Falsafa al-Ula ("Tentang Filsafat Pertama")—sementara semua orang Islam kenal petuah Nabi agar tak gamang mencari ilmu "sampai ke negeri Cina", alias negeri yang berbeda, yang di abad ke-20 oleh Sayyid Qutb akan digolongkan dalam dunia "jahiliah".
Memetik sesuatu dari pemikiran "jahiliah" itu tak ditampik Al-Kindi, tapi agaknya ia harus menghadapi tekanan, mungkin juga kecemasan, di sekitarnya. Ada rasa takut akan hilangnya kemurnian, ada rasa curiga kepada arus dari "luar," ada sangkaan bahwa yang berlaku di sini dengan sendirinya tak berlaku di sana.
Al-Kindi sendiri tentu tak perlu cemas. Ia, yang lahir sekitar tahun 800 dan wafat pada usia 70 tahun, datang dari keluarga aristokrat Arab. Nenek moyangnya salah satu sahabat Nabi. Sebagai filosof di Bagdad, ia hidup di bawah lindungan dua khalifah, Al-Mu'tasim dan Al-Ma'mun.
Tapi ia sadar akan kuatnya pandangan kaum tradisionalis (terutama di bawah pengaruh Ibnu Hambal) dan kemungkinan para penguasa untuk bertindak sewenang-wenang. Al-Kindi sering dikaitkan dengan pemikiran "rasionalis" kaum Mu'tazilah—kedua khalif di Bagdad adalah pelopornya—tapi hubungannya dengan istana tak selamanya mesra. Pada tahun 833, atas nama iman yang "rasional", sebuah pembersihan yang kejam, Mihnah, dilancarkan terhadap mereka yang tak sepaham. Beberapa tahun kemudian Al-Kindi sendiri mengalami nasib buruk: dua orang ilmuwan menghasut Khalif al-Mutawakkil agar menyita perpustakaan sang filsuf, dan bahkan Al-Kindi dianiaya secara fisik.
Untung, perpustakaan yang kaya itu kemudian dikembalikan. Tapi seorang pemikir di zaman itu tak mudah hidup tenteram.
Selintas, Bagdad di abad ke-9 adalah zaman keemasan pemikiran. Buku dari pelbagai arah, terutama dari para pemikir Yunani, diterjemahkan. Al-Kindi hidup hampir persis sezaman dengan penerjemah utama zaman itu, Hunayn bin Ishaq, seorang cendekiawan Kristen. Ia sendiri memimpin grup yang mengalihbahasakan karya Aristoteles, Alexander dari Aphrodisias, Plotinus, dan Proclus.
Tapi orientasi kepada Yunani ini bukan satu-satunya corak masa itu. Peter Adamson, dalam Al-Kindi (2007), yang meriwayatkan dunia intelektual penulis kitab Fi al-Falsafa al-Ula itu, menyebutkan bahwa abad ke-9 juga masa berkembangnya ilm al-kalam, telaah theologis dalam Islam. Kita tahu, di mana pun theologi bukan teman yang selalu diinginkan (dan menginginkan) filsafat. Para pakar theologi, kaum mutakallimun, memberi rasionalisasi kepada dasar-dasar agama. Filsafat mempertanyakan semuanya dari dasar.
Al-Kindi memang hidup di masa ketika pengaruh Yunani yang kuat—baik melalui tafsir atas Plato maupun atas Aristoteles—menegaskan pentingnya telaah nalar dalam kehidupan. Ia tak mempertentangkan filsafat dengan agama. Tapi jelas, baginya filsafat pemegang peran penting dalam menemukan Kebenaran.
Lebih mencolok lagi apa yang kemudian dikatakan Alfarabi (850-950). Bagi filosof yang dielu-elukan sebagai "Guru Kedua" ini (sang Guru Pertama: Aristoteles), filsafat bahkan "mendahului" agama. Filsafat memaparkan asas-asas yang paling dasar yang dicerap oleh intelek. Agama menjelaskannya dengan imaji-imaji dan perumpamaan. Intelek aktif manusia, yang kadang disebut aql al-fa'al, menerima terusan Intelek Pertama. Dengan kata lain, Tuhan tak langsung bertindak ke dalam kehidupan di bumi.
Bagi kaum mutakallimun—dan tak hanya bagi mereka—pandangan seperti ini terlalu jauh mengembara di negeri asing. Maka ketika kemudian di abad ke-11 Al-Ghazali menulis karya polemisnya yang termasyhur, Tahâfut al-Falâsifa yang menyerang beberapa argumen dalam filsafat Ibnu Sina (980-1037)—yang sejalan dengan pendahulunya, Alfarabi—banyak kaum tradisionalis yang bertepuk: filsafat layak mati.
Tapi filsafat tak mati-mati—meskipun percobaan pembunuhan terhadapnya terjadi berkali-kali. Al-Ghazali bukanlah orang yang antifilsafat. Bahkan siapa yang dengan cerdas membaca Tahâfut al-Falâsifa akan tertarik untuk mempersoalkan kembali hal-hal yang dibahas filsafat. Misalnya masalah dari mana terjadinya sebab dan akibat—persoalan yang tak bisa dijawab begitu saja dengan doktrin agama.
Yang ditentang Al-Ghazali adalah kecenderungan rasionalisme yang kuat dalam pemikiran para penerus Plato dan Aristoteles di dunia Islam itu. Dalam hal ini ia mengingatkan kita akan para pemikir di Eropa abad ke-19 yang mengakui kapasitas dari yang "irasional". Al-Ghazali berbicara tentang "misteri kalbu", tentang perlunya bahasa yang "tanpa aksara dan suara". Menjauh dari rasionalitas, manusia—dengan intuisi paria al-arifun—dapat menangkap secara langsung pantulan Al-Lauh al-Mahfuz, "sabak yang terawat kekal" yang disebut secara puitis dalam Quran.
Dengan kata lain: ada pengalaman religius yang hanya tersimpan dalam sunyi. Ia tak terjangkau al-falsafa. Tapi ia juga tak bisa digunakan para pendekar agama untuk mobilisasi massa dan derap politik.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo