Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amerika macam apakah sekarang yang di barat itu, yang terbentang antara paranoia dan optimisme, antara entropi dan khayalan, dengan Donald Trump memusuhi siapa saja, dengan teriakan “Let’s make America Great Again” yang mirip rekaman yang makin retak dan kresek-kresek?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salman Rushdie datang dengan sebuah novel; ia tak menjawab pertanyaan yang kini sering muncul itu. Tapi kita bisa mengintip di dalamnya sebuah impian Amerika yang buncah—persisnya impian Ismail Smile, seorang salesman yang alamatnya hanya deretan nama losmen dari Pantai Barat ke Pantai Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jalan adalah rumahnya, mobil ruang tengahnya, bagasi lemari pakaiannya....”
Di belakang setir Chevy Cruze metal abu-abu yang menyeberangi Arizona menuju New York itu, sang tokoh novel duduk: ia seorang Amerika, tapi juga seorang Bombay dengan tubuh cokelat yang tipis, bujangan jangkung berumur 70 tahun, lelaki pendiam sejak kecil, imigran yang tak punya teman, meskipun ia murah senyum.
Ingatannya separuh rusak terkena stroke. Yang utuh hanya kenangan hidupnya di Mumbai, India. Setelah itu: sejumlah memori lepas-lepas—dibangun dari apa yang dilihatnya di TV berjam-jam di kamar motel: film seri, acara pagi acara siang, talk show malam, sinetron, cerita detektif, cerita vampir, drama rumah tangga, lomba masak, lomba lucu, kickboxing....
Pernah ia berkata, “Televisi adalah tuhan yang terus-menerus memberi.”
Lewat layar rata itulah ia kenal Salma R, seorang bekas bintang Bollywood yang pindah ke Amerika dan jadi host acara bincang-bincang di satu stasiun TV New York.
Smile jatuh cinta. Tak lagi bisa membedakan yang “nyata” dari yang “khayal”, yang “benar” dari yang “dibikin-bikin”, ia menyebut dirinya “Quichotte” dan mengirimkan surat cinta (ditulis halus gaya generasi lama) kepada Salma, pacar imajinernya. Dan dengan hati tetap ia menuju New York.
Novel Quichotte Salman Rushdie tentu saja sebuah saduran novel Miguel de Cervantes, Don Quixote: seperti dalam cerita kocak Spanyol abad ke-17 itu, tokohnya seseorang yang majenun karena terlalu banyak baca fiksi, mengubah diri jadi seorang kesatria dongeng ketika dongeng dan kesatria tak ada lagi.
Tentu saja Rushdie bukan membuat reproduksi. Dalam karya Cervantes, si pengiring Don Quixote, Sancho, seorang petani buta huruf. Dalam novel Rushdie, ia remaja yang secara ajaib muncul setelah Quichotte meminta dikaruniai seorang anak ketika di langit ia lihat bintang jatuh.
Sejak itu, Sancho mengiringi Quichotte ke mana-mana, meskipun orang lain tak bisa melihatnya. Ia remaja yang cerdas, petah lidah dalam bicara, dan dengan akrab bertukar pikiran dengan “ayah”-nya.
Dari sini, beda makin menjauh dari karya Cervantes. Novel Spanyol abad ke-17 itu mirip olok-olok, dengan pengantar yang kocak karena pura-pura serius, sementara novel Rushdie terasa ingin tampak pintar, sadar akan kelihaiannya bercerita dan pamer informasinya yang bagaikan Google. Rushdie tak hanya mentransfer Don Quixote, tapi juga membawa masuk Pinokio dengan jangkriknya, mengumpamakan bentuk badan Ismail dengan patung Giacometti, menyebut opera Jules Machenette dan kucing Schrödinger dalam eksperimen Mekanika Quantum.
Kecenderungan pamer “aku-tahu” ini bisa meletihkan. Tapi mungkin karena dalam Quichotte ia ingin menampakkan Amerika abad ke-21 dengan perspektif seorang imigran yang linglung di luar pagar. Dari ujung ke ujung, Amerika adalah “melting pot” yang palsu. Ismail tetap seorang pejalan. Di tiap kota ia hanya muncul sebagai pendatang, asing, dan—setelah teror 11 September 2001—cepat dicurigai karena warna kulitnya. Padahal Rushdie menggambarkan identitas yang bukan-identitas: Smile dan Ismail, “Brother” dan Sam DuChamp—partikel dan gelombang sekaligus, yang bergerak terus dan apa artinya selalu hanya sebuah probabilitas.
Orang berharap Salma R, yang tiap Senin membaca ribuan surat penggemar, akan memperoleh gambaran tentang masyarakat Amerika. Tapi kesimpulan yang didapat hanya sebuah klise: Amerika adalah bangsa yang kian makmur tapi bersama itu kian miskin secara rohani.
Dengan kata lain, tak banyak wawasan baru. Rushdie, sejak novelnya Midnight’s Children, bisa memukau dengan bahasa yang pintar, terkadang liris, tak jarang bisa bikin kita tersenyum, penuh kejadian-kejadian ganjil—apalagi Quichotte, yang berlangsung di “Zaman-Apa-Saja-Bisa-Terjadi”. Tapi dalam novel ini, “realisme magis” itu terasa hanya teknik menarik perhatian, bukan sugesti tentang Amerika yang membingungkan.
Mungkin justru dari Sancho kita lihat gambaran yang lebih pas. Di satu sisi Amerika adalah paranoia. Bangsa ini yakin ada janji kebahagiaan dalam sejarah tapi yang terus-menerus disembunyikan. Sebab itu, selalu ada “mereka” yang dicurigai mengancam. Di lain sisi ada kecemasan entropi bahwa Amerika kian lama kian mengerdil. Untuk itu perlu usaha membesar-besarkan. Untuk itu perlu Donald Trump.
Quichotte berakhir dengan kematian yang spektakuler. Teknologi supermodern akan membawa Ismail dan Salma keluar dari bumi. Tapi fatalismenya kuno: yang akan hilang pasti hilang, dengan harapan siapa tahu ada kehidupan lain.
Goenawan Mohamad