Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Amuk Buaya dan Banteng Ketaton

26 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN Joko Widodo nyata-nyata tak peka akan peribahasa lama: kesalahan kecil adalah ibu kesalahan besar. Karena itu pula ia tak sadar betapa proses keputusannya yang lelet dalam hal penunjukan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia pengganti Jenderal Sutarman berbuntut panjang dan kini mengancik ke stadium mengkhawatirkan.

Semuanya bermula dari pengajuan calon tunggal Kepala Kepolisian RI, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjalani uji kelayakan dan kepatutan. Masalah langsung muncul karena Presiden Jokowi mengajukan calon tunggal ini menjelang Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian RI itu ditetapkan sebagai tersangka oleh komisi antikorupsi.

Aneh bin ajaib, proses di parlemen berlangsung kilat. Baik di forum Komisi Hukum maupun di forum pleno, Komisaris Jenderal Budi Gunawan meluncur mulus. Kurang dari sepekan, Dewan telah menyetujui pencalonan Budi Gunawan sebagai Kepala Polri. Dalam proses pencalonan Jenderal Sutarman pada 2013, Dewan memerlukan waktu 20 hari. Baru kali ini pula dalam sejarahnya Dewan meloloskan seorang calon yang berstatus tersangka.

Pada titik inilah Presiden Jokowi menghadapi tantangan berat sebagai negarawan. Pihak yang menolak pencalonan Budi Gunawan tentu ingin menyaksikan komitmen presiden terpilih itu terhadap pemberantasan korupsi. Pihak yang setuju, khususnya kelompok yang berseberangan dengan Jokowi selama proses pemilihan presiden, sebetulnya ingin membuktikan bahwa bekas saudagar mebel yang "mendadak presiden" itu memang tak becus memerintah.

Presiden Jokowi, akhirnya, menempuh "jalan tengah seolah-olah", yakni menunda pelantikan Budi Gunawan dan menunjuk Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti sebagai "pelaksana tugas Kepala Polri". Esoknya, muncul penjelasan dari Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto bahwa Badrodin bukan pelaksana tugas Kapolri, melainkan Wakil Kapolri yang melaksanakan tugas Kapolri. Pada titik ini bermulalah serangkaian kebelepotan.

Penunjukan Badrodin segera menimbulkan "dinamika" di tubuh Kepolisian. Kepala Badan Reserse Kriminal Polri langsung diganti dengan latar belakang yang tak terlalu jelas. Dalam pergantian ini, melintas nama Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno, yang dalam banyak pernyataannya tanpa tedeng aling-aling mengecam Komisi Pemberantasan Korupsi—yang disebutnya "bukan dewa".

Dalam perkembangan berikutnya, "dinamika" itu maujud menjadi semacam "polarisasi" dan "institusionalisasi", dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian RI sebagai pihak yang berhadapan. Segera setelah penunjukannya sebagai pelaksana tugas Kapolri—atau apalah—Komisaris Jenderal Badrodin Haiti mengumpulkan delapan mantan Kepala Polri di Markas Besar Polri.

Melalui "mobilisasi" ini, Badrodin—yang juga disebut dalam kasus rekening gendut para jenderal polisi yang sedang diusut Komisi Pemberantasan Korupsi—menyatakan Budi Gunawan tetap dipertahankan sebagai Kepala Lembaga Pendidikan Polri. Keadaan ini berbeda dengan kasus mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo, pada 2012, yang tidak "dipertahankan" ketika mengajukan pengunduran diri dari jabatannya sebagai Gubernur Akademi Kepolisian.

Meski berkali-kali dibantah pihak Kepolisian, sulit sekali menghindari ingatan tentang konflik "cicak versus buaya", ketika Komisi Pemberantasan Korupsi berhadapan dengan Komisaris Jenderal Susno Duadji—waktu itu Kepala Badan Reserse Kriminal Polri—pada 2009. Bedanya hanya terletak pada dimensi dan magnitude-nya. Kali ini sang "buaya" tidak berjuang sendirian. Ia didukung—kalau tak bisa disebut didorong—oleh kekuatan politik yang lumayan besar, yang dipresentasikan oleh partai berlambang banteng moncong putih, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Tampilnya pelaksana tugas Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, dengan tuduhan "permainan politik" yang dilakukan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad, tak bisa dilepaskan dari skenario perlawanan Budi Gunawan, ajudan (Presiden) Megawati Soekarnoputri 2001-2004. Sebagai "hanya" pelaksana tugas sekjen, sulit membayangkan Hasto bergerak tanpa arahan ketua umum. Sulit pula melepaskan dimensi kronologis tuduhan itu dengan penangkapan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto, keesokan harinya, oleh Badan Reserse Kriminal.

Kali ini Presiden Jokowi tak bisa berlepas tangan. Ia harus tegas bersikap: menegakkan hukum dan keadilan. Kasus Budi Gunawan tak bisa dijadikan "pelembagaan" konflik antara KPK dan Kepolisian, apalagi jika dijuruskan ke ranah politik sempit. Kasus "cicak versus buaya" tak boleh terulang, apalagi jika melibatkan "banteng moncong putih"—yang belakangan ini terkesan bagai "banteng ketaton".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus